MUI Berfatwa, Umat Bertanya-tanya

Oleh: Susi Maryam Mulyasari, S.Pd. I (Muslimah Pembelajar Islam Kaffah)



Sebagaimana yang di muat di CNN Indonesia bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperbolehkan bank syariah memakai dana nonhalal untuk kemaslahatan umat. Hal itu diputuskan dalam rapat pleno Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI di Ancol, Jakarta, pada Kamis (8/11) yang dipimpin Ketua MUI yang juga menjadi cawapres nomor urut 01 Ma'ruf Amin.

Menurut ketua komisi fatwa MUI bahwa dana nonhalal wajib digunakan dan disalurkan untuk kemaslahatan umat dan kepentingan umum yang tidak bertentangan dengan prinsip syariat. 

Bagaimana fakta sesunguguhnya dana haram yang dimaksud oleh MUI ini?

Dana nonhalal yang dimaksud MUI adalah segala pendapatan Bank Syariah yang bersumber dari kegiatan yang tidak halal.

Sebagai contoh pendapatan berupa denda saat nasabah terlambat mengembalikan pinjaman. Lalu pendapatan dari kegiatan menjual produk, seperti makanan dan minuman tidak halal.

Kalau kita perhatikan dari contoh sumber dana non halal yang diungkapkan oleh MUI, setidaknya ada 2 aspek penting yang harus kita kritis yaitu:

Pertama, bagaimana tinjauan syariat dalam penggunaan harta haram termasuk didalamya harta yang dihasilkan dari aktivitas muamalah ribawi,keduadilihat  dari tinjauan realita kehidupan kaum muslimin yang telah meninggalkan ketentuan agama di dalam mengatur kehidupan (sekulerisme), terutama peran ulama di dalam memutuskan fatwa. 

Kalau kita lihat dari aspek yang pertama, yaitu penggunaan harta haram dari aktivitas yang menyalahi ketentuan syariat termasuk di dalamnya adalah riba, jelas diharamkan oleh Allh swt.

Allah SWT berfirman  : “Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil. (QS al-Baqarah [2]: 188)”.

Artinya, janganlah kalian mengelola dan memperoleh harta kekayaan melalui jalan yang batil, yaitu jalan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Harta yang diperoleh melalui jalan yang batil antara lain adalah harta hasil perjudian, hasil pencurian, hasil perampokan, hasil pemalakan, hasil suap, hasil korupsi, hasil penggelapan, dan sejenisnya; atau hasil dari aktivitas ekonomi/perdagangan yang di dalamnya mengandung unsur penipuan, gharar, dan ketidakjelasan (majhul) dan segala praktek yang mengarahkan kedalam transaksi riba. Sebab, semua perolehan itu tidak disyariatkan.

Selain itu Rasul SAW menegaskan bahwa :

“Barangsiapa yang mengumpukan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya. (HR Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, dan al-Hakim).”

Hadis Rasul ini dengan tegas menunjukkan bahwa apa pun motivasinya, walaupun untuk kebaikan, harta yang diperoleh melalui jalan yang haram tetap kedudukannya (maupun penggunaannya) haram juga.

Dari aspek yang kedua, yaitu realita kehidupan kaum muslimin yang berada di dalam sistem sekuler yang jelas-jelas memisahkan agama dari kehidupan sangat mudah untuk merubah ketentuan syariat yang bersifat pasti menjadi sesuatu yang bertentangan dengan syariat.  Ditambah lagi menjelang pesta politik demokrasi yang akan bergulir tahun depan semuanya bisa terjadi, terutama sebagai upaya untuk merebut simpati rakyat.  

Sekulerisme telah mampu merubah paradigma berfikir kaum muslimin di dalam menjalankan kehidupan ini, semua orang bisa berubah termasuk didalamnya sikap para ulama di dalam memberikan pandangan kehidupan, walaupun kita susah mengatakan bahwa sebagian para ulama telah menggadaikan agamanya untuk kepentingan tertentu, namun fakta menunjukkan lain, bahwa upaya di dalam medistorsikan agama di dalam meraih kepentingan telah terjadi.

Oleh karena itu sudah saatnya kita berhijrah dari kehidupan sekuler yang tidak Islami menjadi kehidupan Islami, oleh karena itu yang bisa kita lakukan adalah berjuang bersungguh-sungguh dalam mewujudkan kehidupan yang Islami di dalam bingkai naungan kKhilafah berdasarkan Majhaz Nubuwwah.

Wallahu ‘alam Bi Shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak