Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 mengalami perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya. "Hingga 31 Agustus 2018, pemerintah mencatat defisit APBN sebesar Rp 150 triliun." Defisit total APBN kita sampai bulan Agustus 2018 Rp 150 triiun," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI di kompleks DPR/MPR RI, Jakarta, Senin (10/9/2018).
Nilai tersebut lebih kecil daripada defisit per Agustus 2017 sebesar Rp 220 triliun. Hal ini ditopang pertumbuhan penerimaan negara yang signifikan dibandingkan tahun lalu, yakni Rp 1.152,7 triliun, tumbuh 18,4 persen. Di sisi lain, belanja negara juga meningkat 8,8 persen dibandingkan tahun lalu yang hanya 5,6 persen. (kompas.com, Jakarta).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau yang disingkat APBN yang disusun pemerintah tiap-tiap tahun untuk memastikan kebijakan biaya (fiskal) yang sesuai dengan keadaan perekonomian satu negara. Pada dasarnya APBN negeri ini senantiasa mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu. Dalam kurun waktu 3 tahun terjadi peningkatan dari Rp.1.793,6 triliun menjadi Rp. 1.894.7 triliun di tahun 2018. Jumlah ini berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp. 1.618,1 triliun, Penerimaan negara Bukan Pajak sebesar Rp. 275,4 triliun dan Hibah sebesar Rp. 1,2 triliun. Dan salah satu upaya mencapai target tersebut pemerintah akan melakukan penguatan reformasi di bidang perpajakan. Sosialisasi melibatkan salah satu elemen masyarakat sadar akan pajak yaitu mahasiswa telah digulirkan. Mahasiswa dinilai memiliki peran strategis dalam menggenjot penerimaan pajak di masa depan. Melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mendorong pemahaman pajak di kalangan mahasiswa.
Peningkatkan pemahaman pajak di kalangan mahasiswa dituangkan dalam nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) antara DJP Kemenkeu dan Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menuturkan, mahasiswa miliki peran strategis karena merupakan calon-calon pekerja. Karenanya, pemahaman tentang pajak perlu ditanamkan sejak di perguruan tinggi. (Kompas.com, 28/3/2016).
Pengukuhan sosialisasi mahasiswa menjadi target wajib pajak dengan pemberian langsung berupa NPWP saat mahasiswa wisuda telah di targetkan oleh pemerintah. Dalam acara wisuda Mahasiswa Unmul, Menteri Keuangan Sri Mulyani berencana mewajibkan seluruh mahasiswa di Indonesia memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Wacana tersebut merupakan bagian dari kelanjutan kerja sama yang dilakukan Kementerian Keuangan dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. (prokal.co, Jakarta).
Pajak diandalkan tapi tidak pro rakyat
Selain dari utang, yang menjadi andalan pemasukan APBN setiap tahunnya adalah pajak. Pajak bahkan menjadi satu-satunya sumber pemasukan terbesar dalam APBN selama puluhan tahun. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak hingga per 31 Agustus 2018 mencapai Rp 799,47 triliun. Realisasi ini setara dengan 51,14 persen dari target penerimaan pajak pada APBN 2018 sebesar Rp 1.424 triliun. Direktur Jenderal Pajak, Robert Pakpahan menyatakan, jumlah tersebut cenderung naik sebesar 16,52 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2017, yang hanya mencapai 10,17 persen. (Liputan6.com, Jakarta) .
Meskipun mengalami peningkatan yang bisa menutupi APBN, namun setiap pengumuman RAPBN yang di lakukan Presiden selalu menuai kritikan, apakah kebijakan APBN Indonesia bisa disebut sebagai APBN yang pro rakyat?
Tentu tidak ! Pasalnya, penerimaan negara yang terbesar sebagian besar berasal dari pajak rakyat, baik melalui pajak langsung ataupun pajak tidak langsung yang dibebankan oleh perusahaan melalui tingginya harga barang, dimana kalangan pengusaha yang produknya terkena pajak pasti akan memgenakan tambahan biaya tersebut ke dalam harga produk yang dijualnya. Maka konsekuensi dari target APBN yang mengandalkan pajak membuat segala aktifitas rakyat akan terkena pajak. Hal ini tentu sangat membebani rakyat, karena pada akhirnya tak ada rakyat yang bebas dari pajak. Sayangnya, penerimaan pajak yang sangat besar itu tidak jelas arahnya. Padahal Pemerintah harusnya bisa memanfaatkan penerimaan pajak yang sangat besar itu untuk menggerakkan perekonomian rakyat. Tetapi justru pengeluaran anggaran negara subsidi untuk rakyat selalu menurun. Sementara anggaran untuk membayar utang Luar Negeri atau belanja birokrasi selalu meningkat. APBN 2018 yang besarnya Rp.2.220,7 triliun, ternyata 70% yaitu sebesar Rp. 1.454,5 triliun untuk anggaran Pemerintah Pusat dan sisanya di tranfser ke daerah senilai Rp.766,2 triliun.
Sumber APBN yang terlupakan
Indonesia sangat terkenal dengan kekayaan alam yang sangat besar. Sebut saja minyak mentah, gas alam, tembaga dan emas. Indonesia termasuk pengeskpor gas alam terbesar kedua di dunia. Indonesia memiliki 60 ladang minyak. 38 diantaranya telah dieksplorasi dengan cadangan sekitar 77 miliyar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Indonesia juga memiliki wilayah alam yang mendukung dengan tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Puluhan hektar Hutan dan kekayaan laut dengan jutaan ton ikannya, dan lain sebagainya. Namun anehnya, sumber pemasukan utama APBN kita bukan dari hasil-hasil kekayaan alam yang berlimpah-ruah tersebut, tetapi justru dari pajak yang sebagian besarnya dipungut dari rakyat.
Seharusnya seluruh potensi yang ada itu menjadi sumber-sumber pendapatan negeri ini. Untuk bisa membiayai seluruh kebutuhan negara dan rakyat.
Ironinya yang ada adalah kebijakan pemerintah yang tidak berubah , yaitu tetap kental dengan liberalisme. Salah satu contoh adalah peraturan Presiden No.111/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang tertutup dan Bidang Usaha yang terbuka dengan Persyaratan di Bidang Permodalan. Bahwa beberapa bidang usaha yang terkait dengan hajat hidup orang banyak seperti pertambangan, kesehatan, tanaman pangan, sahamnya boleh dimiliki asing hingga di atas 65%. Artinya, investor asing bisa mengelola SDA yang harusnya di usahakan oleh pemerintah. Inilah yang mengakibatkan aspek penerimaan atau pendapatan negara dari pengelolaan SDA semakin kecil.
Karena itu solusi nyata untuk pemasukan APBN sesungguhnya bukanlah dengan memalak rakyat atas nama pajak yang makin menyengsarakan rakyat. Solusinya tidak lain adalah dengan mengembalikan semua sumberdaya alam itu kepada umat sebagai pemiliknya yang sah, lalu dikelola oleh negara sesuai dengan tuntunan syariah Islam. Dengan dikelola oleh negara, seluruh hasil dari sumberdaya alam itu pasti akan dinikmati sepenuhnya oleh rakyat, bukan oleh segelintir pihak swasta dan pihak asing. Rakyat pun tidak terus-menerus dirugikan dengan berbagai macam pungutan pajak. Mengapa? Karena hasil-hasil dari sumberdaya alam milik rakyat itu lebih dari cukup untuk membiayai pengurusan rakyat, bahkan akan sanggup memakmurkan dan mensejahterakan mereka.
Terpenting, landasannya tegas bersandar pada sabda Nabi saw. yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Daud, "Manusia berserikat dalam tiga hal, air, padang yang luas dan api." Jelas menandakan bahwa seluruh sumber daya alam adalah milik masyarakat luas. Tidak diperkenankan dimiliki hanya oleh individu maupun segelintir golongan.
Pajak dalam timbangan syariat Islam
Dalam Islam APBN suatu negara memiliki sumber pendapatan tetap yang menjadi hak kaum Muslim dan ditempatkan di Baitul Mal. Yaitu : (1) Fai’ ; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Berbeda dengan pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.
Karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara. Pajak diberlakukan semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syariat. Negara juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain.
Selain itu, negara juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan terbaik. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk, tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara untuk memberikan pelayanan kepada rakyatnya.
Menjalankan amanah kepemimpinan, memang bukan hal mudah karena pertanggungjawabannya langsung kepada Allah. Cukuplah peringatan yang disampaikan Rasulullah saw. ketika beliau bersabda: “Tidaklah seseorang diserahi Allah memimpin urusan rakyat, lalu dia tidak menasihati rakyatnya, melainkan dia tidak mencium harumnya surga. " (HR al-Bukhari).
Wallahu a’lam bi ash-shawab
Ummu Fadhil
Praktisi Pendidikan