Oleh: Japti Ardiani
(Pemerhati Generasi dan Anggota Revowriter)
Tidak hanya kompor masakan saja yang panas, ternyata “Dunia Perpolitikan” kini pun mulai memanas juga. Seperti yang diberitakan dan sangat ramai di dunia maya tentang memanasnya perang kata semisal “sontoloyo” dan “gendruwo”, kini muncul pula kata “tuli” dan “budek” yang diucapkan oleh Cawapres kita yaitu KH. Ma’ruf Amin. Seperti yang dilansir dalam (Liputan6.com,10/11/2018) tentang pernyataan atau ucapan Ma’ruf Amin yang pada intinya mengatakan bahwa orang-orang yang tidak bisa melihat hasil kinerja Jokowi dan prestasi yang telah ditorehkan berarti dia adalah orang-orang yang budek, tuli dan bisu. Dan dengan mencuatnya kabar tersebut tidak sedikit yang menyayangkan tentang ucapan yang keluar dari mulut yang notabene adalah seorang ulama yang disegani.
Melihat pro-kontra masyarakat di Negri ini, maka tanpa menunggu waktu yang lama KH. Ma’ruf Amin mengklarifikasi pernyataanya dan berusaha menjelaskan maksud dari ucapannya beberapa hari yang lalu. Seperti yang diberitakan oleh (Tribunnews.com,14/11/2018) bahwa Cawapres KH Ma’ruf Amin kembali mengklarifikasi maksud “tuli” dan “buta” yang pernah disampaikannya. “Buta itu bukan buta matanya, tetapi buta hati. Tidak mau melihat kebenaran, dan juga tidak mau mendengarkan yang baik-baik,” kata Ma’ruf dihadapan belasan para ulama dan habaib. Mendengar klarifikasi yang dilakukan oleh Ma’ruf Amin, kubu yang berlawanan pun tidak mau kehilangan momentum penting tersebut, mereka pun juga melontarkan ketidaksetujuan apapun alasan yang dikemukakan oleh Ma’ruf Amin.
“Perang kata” Jurus Memperoleh Suara
Melihat kondisi tersebut, sangat bisa diraba bahwa semakin dekatnya Pemilu maka semakin memanas pula kedua kubu tersebut untuk “perang opini” secara massif di dalam masyarakat. Mereka menganggap yaitu dengan saling menjatuhkan kubu lawan dengan opini yang negatif dengan jalan inilah suara akan cepat diperoleh dengan banyak. Dan sebagai masyarakat yang cerdas dan peduli akan nasib Bangsa ini kedepannya, kita harus bisa berfikir logis dan kritis. Apakah cukup dengan saling menjatuhkan lawan saat menghadapi Pilpres kedepan bisa membawa perubahan yang besar untuk Negri kita tercinta ini?. Secara tidak langsung dengan apa yang mereka lakukan baik dari kubu Paslon no 1 dan paslon no 2 tersebut semakin menunjukan persaingan yang tidak elegant dan tidak berbobot sama sekali.
Rakyat hanya disuguhi drama perpolitikan yang menggelikan saja dan semakin tidak mencerdaskan umat secara keseluruhan. Bagaimana tidak? Para elit politik pada saat ini hanya berfikir rendah saja, mereka hanya memikirkan bagaimana meraih kemenangan saat Pilpres tiba nanti. Padahal kalau kita lihat, dalam memimpin sebuah Bangsa tidak hanya membutuhkan dukungan banyak akan tetapi banyak factor juga yang harus kita perhitungkan mulai saat ini. Misalnya saja yang pertama: pengetahuan yang dimiliki, apakah mereka sudah benar-benar tahu dan memiliki jiwa dan cara berpikirnya seorang pemimpin untuk sebuah Bangsa yang besar?. Karena pengetahuan adalah sumber kemuliaan dan pijakan dalam suatu keputusan seorang pemimpin juga. Kedua: Kesehatan, dalam arti seorang pemimpin haruslah mempunyai jiwa yang sehat, yang tidak sakit-sakitan atau mempunyai penyakit yang sangat berbahaya bagi kesehatannya. Karena bagaimana bisa seorang pemimpin memimpin sebuah Negri apabila dirinya sendiri dalam kondisi yang sangat kurang baik dalam arti menyehatkan tubuhnya saja kesulitan bagaimana dia akan bisa mengurusi rakyatnya.
Ketiga: Problem solver, seorang pemimpin juga dituntut mampu membuat keputusan penting dan mencari jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapi Bangsa. Karena bagaimanapun seorang pemimpin tersebut haruslah cekatan dan gesit cara berpikirnya dalam mengentaskan permasalahan apalagi permasalahan yang sangat urgent. Nah, ketiga contoh kriteria menjadi seorang pemimpin diatas itu hanyalah sebagian kecil saja karena masih banyak sekali kriteria yang harus dipenuhi. Jadi secara tegas bahwa dalam pertarungan pilpres tahun depan tidak bisa kalau hanya dengan perang kata yang sangat menggelikan dan malah memberi kesan tidak berkualitas seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini. Karena kalau tetap seperti ini, lagi-lagi masyarakatlah yang akan menjadi korban akan keserakahan kekuasaan.
Bagaimana Seharusnya?
Dalam menghadapi dan menuju Kursi no 1 di Indonesia seharusnya kita menunjukan kwalitas kepemimpinan bukan kwalitas yang menjatuhkan. Dengan adanya saling menjatuhkan itu semakin menunjukan bahwa meraih kekuasaan dalam sistem Demokrasi saat ini hanyalah sikut menyikut saja dan yang terjadi hanyalah semakin banyaknya permusuhan yang telah terciptakan antara kubu yang saling berlawanan. Apabila itu terus berlanjut maka akan hanya menyuguhkan drama perpolitikan yang jauh dari syarat berkepemimpinan. Dan hanya pada Islamlah kita bisa berharap pada semuanya, baik dalam kepemimpinannya ataupun dalam mengatasi permasalahan yang ada. Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya: “Pemimpin suatu kelompok adalah pelayanan kelompok tersebut. Oleh karena itu, pemimpin hendaklahmelayani dan menolong orang lain untuk maju. (HR. Abu Naim Bahwa).
Maka pemimpin yang baik adalah kepemimpinan yang bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya serta bertanggung jawab terhadap pemimpinnya. Kepemimpinan ini yang juga mampu memberikan teladan yang baik kepada umatnya. Seorang pemimpin dalam Islam merupakan urgensi yang diwajibkan Islam dan umat harus menegakkannya. Sehingga sangat mustahil kalau nanti para pemimpin hanya akan memperhatikan kekuasaanya dan cara meraihnya. Akan tetapi di dalam Islam di ajari pula bahwasanya seorang pemimpin mempunyai pertanggung jawaban yang sangat besar di akhirat kelak nanti. Karena berhubungan dengan penghisaban maka standar kepemimpinan berupa halal dan haram, ridho atau tidak.
Sehingga apabila standar perbuatan saja sudah ditentukan, bisa dipastikan cara meraih kekuasaanya pun tidak hanya sekedar ingin berkuasa akan tetapi kekuasaanya nanti memang benar-benar dalam kekuasaan yang berkeadilan. Yang benar-benar bekerja untuk melayani rakyat bukan minta dilayani rakyat, yang seperti sekarang ini terjadi dalam Bangsa ini. Karena politik dalam Islam sejatinya adalah bagaimana dia bisa mengurusi kemaslahatan umat dan bisa membawa umat menuju kebangkitan sejati. Untuk itu harapan cerah itu akan datang apabila kita kembali kepada Islam, kembali kepada sistem Islam yang sudah jelas terbukti bagaimana islam bisa mensejahterakan. Kembali kepada Islam secara keseluruhan baik dari kepemimpinanya dan aturan yang diterapkannya, sehingga tidak akan ada lagi cara meraih suara atau kepercayaan umat dengan cara rendahan bahkan pembodohan semata.