Oleh : Ruruh Anjar
“Orang yang kuat itu bukan orang yang selalu menang dalam bergulat. Orang yang kuat adalah orang yang bisa menguasai dirinya saat marah” (HR Al-Bukhari)
Di dalam pernak-pernik hidup, pernahkah kita merasakan atau menjumpai seseorang dalam keadaan marah? Tercurah begitu saja dengan emosi meledak tak terkendali. Bahkan wajahnya akan terlihat garang dan tak peduli kanan kiri. Maka Rasulullah menyiratkan dalam hadits riwayat Ahmad bahwa marah itu dari setan, setan itu diciptakan dari api, dan api (bisa) dipadamkan dengan air. Jika salah seorang dari kalian marah, berwudhulah.
Di dalam hadits lain yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasulullah memerintahkan orang yang terpicu amarah untuk mengucapkan ta’awudz. A’udzubillahi mina asy-syaithani ar-rajim (aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk).
Secara umum marah merupakan perbuatan tercela, terbakar nafsu, dan berasal dari setan. Hingga Rasulullah mengarahkan manusia untuk mengendalikannya. Di dalam hadits riwayat Bukhari dikisahkan bahwa seseorang pernah memohon kepada Nabi, “Berpesanlah kepadaku”. Nabi pun berpesan kepadanya, “Jangan marah”. Orang itu memohon berkali-kali, dan pesan Nabi selalu sama, “Jangan marah”.
Bahkan Allah berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang mendermakan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (Q.S. Ali Imran; 134).
Meski demikian, adapula marah yang terpuji, yaitu marah ketika aturan Allah dilanggar. Saat agamaNya yang mulia dilecehkan dan dinista. Rasulullah juga pernah marah untuk hal ini. Sebagaimana Bukhari yang meriwayatkan dari ‘Aisyah, “Ketika Rasulullah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk melakukan amalan, yang sebenarnya bisa mereka lakukan, namun mereka berkilah, ‘Kami tidak sepertimu, wahai Rasulullah, karena Allah telah mengampuni dosamu yang dulu dan akan datang.’ Wajah Rasulullah langsung berubah karena marah dan berkata, ‘Orang yang paling bertakwa dan paling mengenal Allah adalah aku!”
Ada pula yang diriwayatkan Muslim dari Abdullah ibn Amru, “Suatu hari, pagi-pagi buta, aku menemui Rasulullah. Saat itu terdengar suara gaduh dua orang yang berselisih pendapat tentang sebuah ayat. Dengan wajah penuh kemarahan, Rasulullah menemui kami dan berkata, “Orang-orang sebelum kalian binasa karena memperselisihkan kitab mereka.”
Selain Rasulullah, Nabi Musa juga pernah marah kepada kaumnya. “Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati, berkatalah dia, ‘Alangkah buruknya perbuatan yang kalian kerjakan sesudah kepergianku” (Q.S. Al-A’raf; 150).
Maka sudah seharusnya kaum muslimin menjadi manusia kuat, dengan mengendalikan amarah yang bersifat tercela. Namun jika marahnya karena Allah dan dalam kebenaran, maka ia tidak tercela meski harus disertai etika/adab sesuai tuntunan syara’ saat menyampaikannya.
Wallahua’lam bishshowwab