Yang hidup di era 90-an tentu pernah menyaksikan serial Dark Justice. Masih lekat di ingatan quote melegenda dari film besutan Hollywood tersebut.
“Justice may be blind but it can see in dark. “ Penggalan kalimat itu selalu diucapkan hakim Nicholas Marshall, sang lakon utama tepat sebelum terdakwa yang dibebaskannya melenggang dari ruang sidang. Film tersebut berkisah tentang lumpuhnya sistem legal di ruang sidang. Entah karena faktor tekanan, uang maupun sebab gagapnya perangkat hukum yang tersedia untuk menjerat para pesakitan. Itu yang mendorong Hakim Marshall nekat memilih jadi pengadil dalam ‘gelap.’ Menyusun sendiri keping-keping keadilan yang terserak dengan mengeksekusi para terdakwa yang sebelumnya telah divonis bebas. Jadilah di siang hari, ia mengenakan toga, berdandan klimis, berkacamata, dan memegang palu di ruang sidang. Namun, di gulita malam, ia mengurai rambut gondrongnya, mengendarai moge di jalanan, dan memburu targetnya.
Berkaca kini, akankah imajinasi di atas menjelma nyata? Tentu tidak. Sebab selain fiktif, dark justice alias main hakim sendiri tak lain hanya cermin sikap putus asa dan tidak berdaya menegakkan keadilan di hadapan hukum.
Namun peristiwa yang terjadi baru-baru ini tak disangkal mencederai rasa keadilan. Sebut saja kasus Baiq Nuril Maknun yang kini viral. Seorang mantan guru honorer di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Namanya mendadak hangat dibincangkan usai dijatuhi vonis bersalah menyebarkan rekaman bermuatan kesusilaan. Hukuman enam bulan penjara serta denda Rp500 juta sebagai putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) pun siap memerangkap.
Ikhtisarnya, Baiq Nuril, korban perundungan lewat media gawai mengadukan pelaku. Lengkap dengan barang bukti, rekaman percakapan asusila. Tanpa setahu Nuril, rekaman tersebut tersebar di media sosial. Dengan berdalih berlindung di balik UU ITE pelaku justru balik melapor. Alih-alih ingin bikin jera si pelaku, Nuril kini yang pilu. Ia dijerat dengan pasal 27 ayat (1) junto Pasal 45 UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) nomor 19 tahun 2016. Pasal ini menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi elektronik dengan muatan yang melanggar kesusilaan dikenakan pidana. (cnnindonesia.com,16/11)
Aneh tapi nyata. Palu diketukkan namun tidak untuk pelaku melainkan korban. Padahal Nuril sebelumnya telah dinyatakan bebas oleh Pengadilan Negeri Mataram sebab tak terbukti sebagai pihak pengunggah dan penyebar. Siapa sangka kasasi justru mengamputasi kebebasan Nuril. Jadi ambigu, yang mana korban mana sebenarnya pelaku.
Pasal Karet
Sudah tersandung tertimpa tangga. Sudah dirundung, didakwa pula. Jelas Nuril jadi korban pasal karet UU ITE. Hal ini dinyatakan Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menamakan dirinya Internet Lawyer Network (ILawNet). Mereka memandang beleid dalam UU ITE punya celah memberangus kebebasan berekspresi. Untuk itu mereka mendesak pemerintah dan parlemen merevisi Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). "Khususnya berkaitan dengan ketentuan-ketentuan karet yang ada di dalamnya yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi agar tidak memakan lebih banyak korban ke depannya," demikian bunyi pernyataan tertulis ILawNet. (cnnindonesia, 16/11/18).
Salah seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah, Baiq Diyah Ratu Ganefi saat menyikapi vonis ini juga menilai UU ITE sangat rentan. Ia akan meminta Dewan Perwakilan Daerah untuk memberikan pandangan atas kasus yang menjerat Nuril, sekaligus meninjau ulang Undang-Undang ITE.
Terlebih kasus yang menjerat Nuril sangat tidak adil bagi perempuan yang menyuarakan kebenaran atas pelecehan verbal yang dialaminya. Padahal seharusnya negara menjamin agar perempuan bebas dari berbagai bentuk pelecehan seksual. (viva.co.id, 15/11/18).
Terang benderang sudah, UU dan semua produk hukum buatan manusia hanya lahirkan keluh kesah. Bukannya menjamin keadilan melainkan rawan kezaliman. Sebab tak setiap manusia sepadan. Adil bagi sebagian belum tentu yang lainnya. Maka mengapa tak kembali pada Yang Maha Adil lagi Maha Pencipta?
Adil hanya dengan Islam
Realita tersaji manusia diciptakan bervariasi. Dengan ragam suku, ras dan agama. Juga dengan kecenderungan selera yang berbeda-beda. Tiada sama satu dengan yang lain meski kembar serupa. Perselisihan antara manusia jadi sunnatullah adanya. Maka bila terdapat dua pihak berselisih mutlak harus ada hakim sebagai pemutus perkara. Namun jika semua masih sama manusia, yang lemah dengan ego rawan menerpa lantas dengan apa keadilan tercipta?
Sungguh Maha benar Allah swt. dengan jawabannya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Terjemahan QS Al-Maidah:8).
Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai peringatan untuk menegakkan kebenaran semata karena Allah. Semata berdasarkan perintah dan larangan Allah. Bebas dari unsur sudi, benci apalagi iming-iming materi. Setiap orang dipandang sama statusnya di hadapan syariat Allah. Maka keadilan pada gilirannya akan teraih. (ibnukatsironline.com, Juz 6).
Tambahan lagi menurut Imam Ibnu Taimiyah, keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, “Kullu ma dalla ‘alayhi al-kitab wa as-sunnah,” baik dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah as-Syar’iyah, him. 15).
Dengan demikian saat Islam hadir kaffah di tengah masyarakat, implikasinya keadilan akan terwujud. Terbukti sejarah mencatat dengan tinta emas bagaimana keadilan tegak dengan hebat. Di antaranya adalah kisah sengketa baju besi Khalifah Ali bin Thalib ra. dengan seorang laki-laki Yahudi. Diriwayatkan oleh Imam al-Hakim, bahwa baju besi Ali ra. hilang pada Perang Jamal. Ali ra. ternyata mendapati baju besinya di tangan seorang laki-laki Yahudi. Khalifah Ali ra. dan orang Yahudi lalu mengajukan perkara itu kepada hakim bernama Syuraih. Ali ra. mengajukan saksi seorang bekas budaknya dan Hasan, anaknya. Syuraih berkata, “Kesaksian bekas budakmu saya terima, tetapi kesaksian Hasan saya tolak.”
Ali ra. berkata, “Apakah kamu tidak pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda bahwa Hasan dan Husain adalah penghulu para pemuda penghuni surga?” Syuraih tetap menolak kesaksian Hasan, dan memenangkan si Yahudi. Syuraih lalu berkata kepada orang Yahudi itu, ”Ambillah baju besi itu.”
Namun, Yahudi itu lalu berkata, “Amirul Mukminin bersengketa denganku, lalu datang kepada hakimnya kaum Muslim, kemudian hakim memenangkan aku dan Amirul Mukminin menerima keputusan itu. Demi Allah, Andalah yang benar, wahai Amirul Mukminin. Ini memang baju besi Anda. Baju besi itu jatuh dari unta Anda lalu aku ambil. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah.”
Ali ra. berkata, ”Karena Anda sudah masuk Islam, kuberikan baju besi itu untukmu.” (Al-Kandahlawl Ash¬Shahabah, 1/146).
Terlihat walau yang bersengketa adalah seorang kepala negara dengan rakyat biasa yang non-Muslim, hakim Syuraih tak bergeming. Sebab syariat tegas menolak kesaksian seorang anak untuk bapaknya sendiri. (Ahmad Da’ur, Ahkam Al-Bayyinat, hlm. 23). Walhasil keadilan pun menjelma nyata. Hanya dengan Islam. Wallahu a’lam.
Wd. Deli Ana
(Praktisi Pendidikan)