Oleh: Muna Juliana N
Alumni MAS Plus Darul Hufadz
Pada tanggal 21 Oktober 2018 untuk ke empat kalinya diperingati hari Santri Nasional. Tanggal 22 Oktober dipilih sebagai Hari Santri karena tanggal tersebut adalah waktu dimana lahirnya Seruan jihad yang dikeluarkan oleh Pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari. Tanggal itu merupakan tonggak sejarah lahirnya peristiwa perang pertama pasukan Indonesia, dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang juga pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah revolusi nasional Indonesia.
Seruan jihad memicu peristiwa heroik tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya yang menewaskan Jenderal Mallaby yang saat ini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Hari Santri ini diharapkan menjadi momentum kebangkitan santri serta bentuk apresiasi yang benar-benar ada atas peran santri terhadap perjuangan merebut kemerdekaan dan mempertahankan keutuhan NKRI.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengingatkan para santri bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah rumahnya sendiri. Ia menginginkan para santri menjaga rumah tersebut dengan baik. “NKRI adalah rumah sendiri yang perlu terus dirawat dan dijaga. Siapa yang jaga, salah satunya adalah para santri,
Tak bisa di hindari, Indonesia telah menjadi sasaran utuh kampanye nilai-nilai global yang berasal dari ide kufur kapitalisme dan dimpor dari Barat yang disebut sebagai tantangan global adalah persoalan terorisme, pergaulan bebas, LGBT. Secara khusus isu ISIS menjadi permasalahan yang dimainkan barat terutama AS untuk mencegah gerakan kebangkitan Islam yang disebut radikal. AS cukup pintar untuk menjadikan muslim sekuler, dan muslim liberal sebagai mitra AS dan Barat untuk memerangi “ekstremisme” islam.
Karena itulah, keistimewaan seorang Santri yang dididik dalam lingkungan Islam, dan ditanamkan ke dalam dadanya nilai-nilai khas Islam, akan mendapat warna baru yang bersumber dari nilai-nilai ala barat. Maka tidak mustahil jika para santri akan memiliki kepribadian yang lahir dari pemahaman global. Nilai-nilai global ini akan membentuk kepribadian ala Barat, yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang sempurna.
Mereka akan menjadi muslim sekuler yang dicita-citakan Barat. Muslim sekuler yang dimaksud adalah seseorang yang menyebarkan budaya demokrasi, menyetujui hak asasi manusia yang diakui secara internasional (termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beribadah), menghargai keberagaman, menentang terorisme dan bentuk kekerasan lainnya.
Para santri yang belajar di pesantren adalah calon ulama muda masa depan. Mereka akan menjadi rujukan di tengah masyarakat yang akan menerapkan dan menyebarkan nilai-nilai Islam, yaitu nilai-nilai yang diturunkan Allah SWT sebagai sang pencipta. Mereka menyadari benar bahwa aturan yang layak untuk diterapkan di dalam kehidupat manusia adalah aturan yang datang dari sang pencipta manusia itu sendiri. Mereka juga senantiasa mengajak masyarakat agar tunduk dan patuh kepada Allah SWT semata yang dilandasi dengan penuh kesadaran bahwa dirinya adalah hamba Allah, yang wajib berpegang teguh pada aturan Allah dan menjalankannya dalam kehidupan. Di sisi lain ia yakin bahwa kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kehidupannya di dunia. Mereka juga akan termotivasi setiap umat untuk berjuang menegakkan aturan Allah secara kaffah di muka bumi ini, dengan menegakkan syariah dan Khilafah.
Wallahu’alam Bi Shawwab