Oleh : Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Guru& Pemerhati Pendidikan, Anggota AMK Kalimantan Selatan)
Wajah pendidikan nampak semakin kelam. Hari demi hari peristiwa yang diluar batas kewajaran terjadi. Di tengah persoalan kurikulum pendidikan yang belum tuntas dan bahkan diragukan keberhasilannya, persoalan guru tentu menambah suram dunia pendidikan di negeri ini. Layaknya, Pahlawan tanpa tanda jasa semestinya mendapatkan penghargaan yang luar biasa. Sebab, guru adalah ujung tombak keberhasilan pendidikan. Jiwa-jiwa mulia tak lagi mendapat penghargaan yang layak.
Demo guru honorer,kini kembali terjadi. Sekitar 74.000 guru honorer yang berasal dari 34 provinsi di Indonesia melakukan unjuk rasa di depan istana negara. Mereka menagih janji presiden untuk memperbaiki nasib mereka, mengangkat mereka menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Demi mewujudkan tuntutannya, mereka bahkan rela menginap di seberang istana negara sejak selasa hingga Rabu sore (31/10/2018). Bagaimana tidak, para guru honorer selama ini digaji jauh dari kata layak, yakni 400-500rb/bulan. Bahkan di beberapa daerah lainnya ada yang lebih kecil lagi dari jumlah tersebut.
Pada faktanya, Presiden Jokowi tak bersedia memberikan tanggapan terhadap aksi tersebut. Sebagaimana di lansir oleh kompas.com bahwa beliau ditemui wartawan seusai menghadiri Sains Expo di ICE, BSD, Tangerang Selatan, Kamis (1/10/2018), Jokowi hanya tersenyum kecil dan berjalan meninggalkan wartawan saat ditanya soal guru honorer. Akhirnya mereka harus pulang dengan menelan kekecewaan atas ketidakjelasan nasib mereka. Sungguh ini adalah fakta yang mengiris hati, ada dua macam guru dan karyawan di negeri ini, yaitu guru dan karyawan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ada honorer. Yang mana mereka memiliki perbedaan yang mencolok bak anak kandung dan anak tiri dalam segi finansialnya. Untuk gaji PNS sendiri berkisar 3 atau 4 juta perbulan plus berbagai tunjangan dari negara. Sementara untuk guru PNS sertifikasi mendapatkan gaji total berkisar 6- 8 juta. Sedangkan kalau guru honorer hanya berkisar 200-300 ribu rupiah saja per perbulannya dengan beban kerja yang sama (SD), itupun biasanya kerap kali molor dari tanggal penerimaannya.
Sementara guru honorer tingkat SMP dan SMA sederajat menyesuaikan jumlah jam yang diperoleh. Misalnya, mendapat 5 hari penuh, dengan 10 jampel/hari dengan gaji tiap 1 jampel Rp. 30.000, maka gaji guru dengan kerja 5 hari penuh mulai pukul 07.00 sd 15.30 adalah 50 jampelnya @Rp.30.000 = 1,5 juta. Sedangkan pegawai honorer mendapat gaji mulai 200 ribu - 1.2 juta dengan beban kerja yang sama dengan pegawai PNS. Sungguh terpaut jauh gajinya.
Maka tidak heran jika hari ini begitu banyak para guru yang kehilangan idealismenya. Tak dipungkiri banyak dari para guru yang akhirnya tidak fokus mengajar siswa karena harus memenuhi kebutuhan hidupnya yang mendesak.
Mereka tak hanya mengajar, tetapi bekerja sampingan entah sebagai pedagang, dll. Itu kalau mereka memiliki kemampuan dari sisi tenaga dan waktu. Kalau tidak, mereka akhirnya harua rela menerima nasib mereka dengan gaji yang tak mencukupi.
Selain itu, masalah ini juga erat kaitannya dengan pandangan dan gaya hidup sang guru dan masyarakat umumnya. Sistem kapitalis mencetak manusia berpandangan kapitalistik. Tak bisa dipungkiri, sebagian besar mereka (guru) mengajar lebih didorong oleh kepentingan ekonomi ketimbang moral mendidik. Tidak banyak guru yang mau digaji dengan murah, apalagi tinggal dan hidup di masyarakat yang jauh dari hingar bingar kemajuan. Sistem sekuler kapitalis telah menggeser fungsi mulia guru menjadi alat pengeruk sejumlah uang.
Sungguh, negeri ini sudah masuk pada darurat pendidikan. Di tengah tingginya jumlah guru honorer yang terus berharap mendapatkan pengakuan sebagai ASN, pemerintah masih belum berhasil menjadikan para guru bebas dari beban-beban persoalannya. Mereka tidak saja harus berjibaku menghadapi sulitnya kehidupan ekonomi karena minimnya honor. Namun, juga beratnya menghadapi tantangan kehidupan peserta didik zaman sekarang yang tidak mudah.
Jika pendidikan masih menghadapi problem guru, maka kualitas pendidikanlah taruhannya.
Kondisi ini layak dicatat sebagai bagian dari penyumbang kegagalan proses pendidikan. Tak heran jika masih banyak anak sekolah yang tawuran, pacaran hingga hamil, berbuat kriminal, menjadi korban kemajuan teknologi, dan sebagainya. Itu semua tentu tak lepas dari faktor guru. Tentu tak ada yang menghendaki generasi ini rusak. Oleh karena itu, persoalan ini harus segera dituntaskan.
Berbeda dengan potret guru hari ini. Guru pada masa kepemimpinan Islam begitu disejahterakan oleh negara. Mengapa? Sebab guru merupakan pilar penting dalam mewujudkan wajah peradaban di masa mendatang. Jika gurunya tak sejahtera, bagaimana mungkin mereka dapat fokus mendedikasikan dirinya di sekolah. Ternyata ada masanya saat nasib guru tak merana, yakni masa saat kepemimpinan Islam ada di tengah-tengah umat. Jika kita menengok sejarah, sungguh akan kita dapati bahwa pada masa Khalifah Umar bin Khatab, guru di gaji sebesar 15 dinar. Adapun 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas. Maka berarti 1 dinar setara dengan Rp 2.258.000,-. Artinya, pada masa khalifah Umar, gaji guru mencapai Rp 33.870.000,-.
Berbeda halnya yang terpotret manakala Islam diterapkan dalam institusi pemerintahan. Guru sejahtera, generasi berkualitas. Begitulah adanya. Sejarah peradaban Islam mencatat banyaknya para cendikiawan dan intelektual yang lahir di masa kejayaan Islam. Contohnya Ibnu Rusydi, beliau menguasai ilmu fikih, ilmu kalam, sastra Arab, matematika, fisika, astronomi, kedokteran, dan filsafat.
Ada juga Al-Ghazali, ulama besar yang sangat berpengaruh. Karya beliau terkenal hingga hari ini yakni buku Ihya Ulumuddin, yakni membahas masalah-masalah ilmu akidah, ibadah, akhlak, dan tasawuf berdasarkan Alquran dan Hadis. Ada juga Al-Farabi, beliau menekuni berbagai bidang ilmu pengetahuan antara lain logika, musik, kemiliteran, metafisika, ilmu alam, teologi, dan astronomi. Dan masih banyak cendikiawan muslim yang lain yang lahir dari rahim peradaban Islam.
Hal tersebut sekaligus menjadi bukti bahwa sistem Islam mampu mencetak generasi berkualitas, yakni berkat adanya dua faktor penunjang: guru dan sistem pendidikan yang berkualitas. Adapun kualitas guru, salah satunya tercipta manakala kehidupannya telah terjamin hingga sejahtera.
Maka sungguh kesejahteraan guru adalah hal yang tak bisa ditawar lagi. Selain sebagai bentuk penghargaan terhadap jasanya, juga sebagai wujud pemeliharaan negara terhadap nasib rakyatnya. Lebih-lebih rakyat yang memiliki peranan vital dalam membangun peradaban bangsa.
Adapun mewujudkan berbagai tuntutan guru untuk memperoleh gaji yang layak bukanlah hal yang sulit jika negara mampu mengelola Sumber Daya Alam (SDA) dengan benar. Sehingga hasilnya dikembalikan kepada rakyat, termasuk untuk memberikan kesejahteraan kepada para guru. Sudah saatnya pemerintah berbenah diri, memikirkan nasib rakyat yang menjadi amanah atasnya, bukan malah sibuk memperhatikan kesejahteraan asing dan asing. Ironisnya, himpitan ekonomi akibat sistem kapitalis juga dialami para guru, sehingga mereka pun menggadaikan idealisme mendidik dengan sejumlah materi untuk menutupi kesulitannya itu. Demikianlah, problem kekurangan guru ini hakikatnya adalah problem sistemik.
Sejatinya guru adalah profesi yang sangat mulia. Karena dengannya lah tercipta para generasi terdidik untuk membangun masa depan bangsa. Namun mirisnya, nasib mereka terabaikan. Sudah semestinya pemerintah memperhatikan nasib para pendidik generasi, meski berstatus guru honorer. Bagaimana pun juga, jasa mereka tak berbeda dengan para guru berstatus PNS. Mereka sama-sama mengabdi untuk menciptakan generasi intelektual untuk masa depan.
Sistem pendidikan mencakup dua aspek, paradigma dan teknis. Paradigma pendidikan meliputi tujuan pendidikan, kebijakan negara, politik pendidikan dan dasar/asas pendidikan yang dibangun. Detil operasionalnya terwujud dalam aspek teknis meliputi kurikulum, manajemen, fasilitas dan guru. Sistem kapitalisme memliki paradigma pendidikan yang rusak. Pendidikan dianggap sebagai salah satu ‘jasa industri’ yang ditangani dalam neraca untung rugi. Kisruh ketidaksejahteraan guru hanyalah satu dari sekian banyak tumpukan masalah pendidikan yang muncul.
Sedangkan dalam Islam, paradigma yang dibangun dalam kerangka ibadah. Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim (HR Baihaqi). Detil operasional pendidikan dalam Islam menganut prinsip “Seorang Imam (khalifah/ kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bertolak belakang dengan kapitalisme yang menyerahkan pendidikan pada pasar bebas (korporasi), dalam Islam negara harus berperan penuh dalam urusan negara. Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat.
Dalam masalah kepegawaian, termasuk guru khalifah berkewajiban memberi upah yang layak sehingga bisa mengerjakan tugas yang diamanahkan kepadanya. “Barangsiapa yang diserahi tugas pekerjaan dalam keadaan tidak memiliki rumah maka hendaklah ia mendapatkan rumah. Jika ia tidak memiliki isteri maka hendaklah ia menikah. Jika ia tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mendapatkannya. Bila ia tidak memiliki hewan tunggangan hendaklah ia memilikinya. Dan barang siapa yang mendapatkan selain itu maka ia telah melakukan kecurangan” (HR. Abu Daud).
Untuk merealisasikan terwujudnya kesejahteraan guru, maka Islam menyelesaikan permasalahannya yaitu,
Pertama, pendidikan merupakan kebutuhan dasar warga menjadi tanggung jawab negara, baik sarana prasarana, pengelolaan, penggajian guru dan karyawan. Kalau swasta-warga membantu negara dalam pendidikan, maka sekedar membangun gedung saja, yang kemudian pengelolaan-pelaksanaannya menjadi tanggung jawab negara atau swasta-warga dibolehkan membantu membangun dan mengelolanya sendiri, maka harus menenuhi standar negara-termasuk penggajiannya.
Kedua, semua guru digaji oleh negara atau memenuhi standar penggajian negara (jika pendidikan dikelola swasta-warga).
Ketiga, guru dalam Islam dan negara khilafah memilik posisi yang penting dan mulia. Karena guru dengan ilmunya memiliki tugas untuk mengajar, mendidik, dan mencetak kader atau generasi yang harus memiliki kemampuan dan cerdas akademik, keterampilan life skill, dan lebih penting mencetak generasi berkepribadian islam. Sehingga kondisi negara 10 tahun mendatang bisa diprediksi dengan kualitas output pendidikannya.
Keempat, telah terbukti secara empirik dan historis, bahwa sejarah telah mencatat tentang gaji guru dalam naungan Khilafah yang menerapkan syari'at Islam secara total, guru mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya.
Jadi, hanya dengan syari'at Islam yang diterapkan oleh negara khilafah saja, orang berilmu (guru, ulama') sejahtera, dan ilmu serta karyanya dihargai dengan mahal.
Bagaimana dengan pembiayaannya? Ini pentingnya integrasi sistem pendidikan dengan sistem lain yang kompatibel. Sistem pendidikan Islam hanya kompatibel dengan sistem ekonomi Islam sebagai penyokong dana.
Sedangkan penjaminan mekanisme ekonomi Islam yang dijalankan ada pada sistem pemerintahan yang dianut, yakni sistem pemerintahan Islam (khilafah). Itulah mengapa Islam tidak bisa diambil hanya sebagian hukum saja, tapi harus kaffah (menyeluruh).