Oleh: Ana Nazahah
Apa kalian pernah jatuh cinta? Kata syair lagu sih, jatuh cinta itu bikin hati berbunga-bunga, membuat dunia menjadi berwarna. Sebaliknya putus cinta bikin hati remuk redam, menyesakkan, hidup jadi tak menentu dan jadi uring-uringan.
Ini masih berbicara putus cinta se-kala insan. Cinta yang sebenarnya tak patut untuk diperjuangkan jika belum halal. Lalu bagaimana dengan cinta sebenar cinta, bukan cinta kepada insan, tetapi cinta kepada Tuhan? Bagaimana jika kita dibuat marah, karena kekasih hati kita dinistakan?
Itulah yang terjadi akhir-akhir ini, pembelaan terhadap Kalimat Tauhid terus bergulir, seantero negeri, bahkan dunia. Mereka yang menjadi Muslim sejati, tak rela jika kalimat yang agung Laa Ilaha Illahllah, Muhammadu Rasulullah dinista. Mereka sakit hati. Maka mereka pun berusaha membela.
Memang ada sebagian yang mengatakan, "Kalo cinta kalimat Tauhid cukuplah di hati, tak perlu bersikap berlebihan. Karena cinta kita bukan berada pada selembar kertas, apalagi di selembar kain. Yang dihinakan itu hanya selembar kain, sementara Tauhid ada di hati."
Sekilas memang ada benarnya. Tapi bagi orang-orang yang memiliki hujjahnya, pastinya dia memiliki pemikiran sendiri. Tiba-tiba kita teringat dengan sebuah tulisan yang cukup viral di media elektronik beberapa waktu lalu. Cerita tentang seorang dosen dan mahasiswanya.
Alkisah, saat itu sang dosen sedang menanggapi kejadian yang cukup menghebohkan dunia Islam. Yaitu penistaan terhadap Alquran, dengan cara diinjak dan dibakar. Kata Si Dosen, kaum Muslim itu Ndeso, maksudnya kampungan. Katanya:
"Silahkan Alquran diludah, diinjak, dibakar. Toh Arquran sebenarnya itu ada di Lauhul Mahfuzh sana. Ada di hati-hati kita. Seharusnya kita cerdas dan tidak terpancing emosi karenanya."
Iya sih, jika sekilas dipikir benar juga. Seluruh mahasiswa pun sepakat dengan si Dosen ini. Ngapain juga pening, mikirin kertas yang dibakar. Pikir mereka.
Namun ternyata tidak semua mahasiswa berpikiran sama. Ada salah satunya yang tidak terima. Mahasiswa mendatangi si Dosen, dengan diktat si Dosen yang memang sedang dipegangnya. Lalu ia melakukan hal aneh. Diktat si Dosen dirobek, diinjak dan diludahnya. Di depan Dosen dan seluruh mahasiswa tentunya.
Tentu saja si Dosen marah besar. Bagaimanapun dia membuat Diktat itu dengan darah dan air mata. Dia kuliah mungkin dari uang dan keringat ayah dan ibunya. Berani sekali si Mahasiwa menghina diktatnya.
"Pak..! Begitulah perasaan kami kaum Muslim, saat melihat Alquran kami dinista. Alquran ini tiba ke kami dengan darah dan nyawa, para syuhada. Bagaimana mungkin bapak bilang kami Ndeso, di saat bapak juga marah saat diktat bapak saya nista." Si Mahasiswa tadi menjelaskan maksud perbuatannya.
Entah seperti apa ending kisahnya. Di media tidak dituliskan kelanjutannya. Entah kisah ini nyata atau hanya sekedar rekayasa. Namun begitu, makna tersurat di dalamnya terasa. Tak bermaksud agar kita mencontohkan aksi kurang sopannya mahasiswa. Ambil pelajaran dari sisi lainnya.Yaitu bersikap tegas saat Aqidah kita dihina.
Sebagai kaum Muslim, sudah seharusnya kita membela kehormatan dan wibawa Islam dan atributnya. Apalagi ini tentang Kalimat Tauhid, yang dengannya hidup mati kita. Sudah sepatutnya kita bela. Karena rasa cinta itu tidak di hati saja, tapi juga dibuktikan dengan lisan dan perbuatannya.
Wallahua'lam..