Oleh : Rosmita
Terbongkarnya kasus korupsi megaproyek Meikarta menjadi bukti bobroknya sistem sekuler kapitalisme yang dianut negara ini. Karena dalam sistem sekuler kapitalisme kekuasaan bersandar pada kekuatan modal pengusaha sehingga pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, sehingga berdampak pada banyaknya kebijakan yang tidak memihak pada kepentingan rakyat, tapi hanya kepada segelintir orang saja dan tunduk pada kepentingan pengusaha.
Seperti dilansir dari viva.co.id - Dalam kasus korupsi megaproyek Meikarta, KPK menetapkan sembilan tersangka, dua diantaranya yakni Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro.
Neneng Hasanah dan anak buahnya diduga menerima suap Rp 7 miliar dari Billy Sindoro. Uang itu diduga bagian dari fee yang dijanjikan sebesar Rp 13 miliar terkait proses perizinan Meikarta di Bekasi.
Selain keduanya, tujuh orang lain yang dijerat tersangka yakni pegawai Lippo Group Henry Jasmen, dua konsultan Lippo Group yaitu Taryudi dan Fitra Djaja Purnama. Kemudian Kadis PUPR Kabupaten Bekasi Sahat M Nohor, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati, serta Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi.
Sedangkan CEO Lippo Group James Riyadi hanya diperiksa sebagai saksi, KPK menyatakan tidak menutup kemungkinan untuk menjerat Lippo Group sebagai tersangka kasus dugaan suap izin pembangunan proyek Meikarta. Namun KPK mengakui bahwa proses ini tidaklah mudah. (Panjimas.com)
Dalam sistem sekuler kapitalisme sudah lumrah kalau para kapitalis atau mafia hitam menjadi orang yang tidak tersentuh hukum atau kebal terhadap hukum. Bahkan mereka menjadi orang yang menyetir penguasa dalam membuat kebijakan dan undang-undang. Biasanya para pengusaha dan penguasa berkolaborasi dengan berbagai kebijakan demi mencapai tujuan ekonomi dan politik guna meraih keuntungan pribadi.
Sehingga praktek suap-menyuap dan korupsi bukan hal aneh lagi, demi melancarkan proyek kapitalisme segala cara pun dihalalkan. Tidak peduli kebijakan tersebut menimbulkan efek negatif pada rakyat karena mereka (para penguasa) hanya mementingkan keuntungan pribadi dan tuannya.
Bahkan ketika praktek bisnis kapitalis menabrak etika dan undang-undang tapi tetap saja berjalan, ini menunjukkan ketidak adilan dan lemahnya penegakkan hukum di negeri ini. Hukum menjadi tajam kebawah tumpul keatas, keras terhadap rakyat kecil namun lemah terhadap kapitalis.
Sedangkan kekuasaan Islam dibangun dengan landasan ketakwaan dan pelayanan kepada umat. Seorang pemimpin diangkat melalui baiat bukan dengan demokrasi ala kapitalis yang sarat dengan politik uang. Sehingga pemimpin yang diamanahi kekuasaan bukanlah hasil dari perselingkuhan penguasa dan pengusaha.
Maka sudah pasti ketika pemimpin tersebut berkuasa ia akan fokus memikirkannya nasib rakyatnya. Bukan memikirkan bagaimana cara mengembalikan modal dan memperkaya diri dengan cara korupsi. Bahkan ia tak segan menerapkan sistem dan aturan Islam. Dan ketika ada pejabat publik yang melakukan korupsi maka diberikan hukuman sesuai hukum Islam sehingga menimbulkan efek jera bagi pelakunya dan yang lainnya agar tidak melakukan hal yang sama.
Hukum korupsi dalam Islam
Dalam sistem Islam, korupsi (ikhtilas) adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain. Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul, yakni tindakan mendapatkan harta secara curang atau melanggar syariah, baik yang diambil harta negara maupun masyarakat.
Berbeda dengan kasus pencurian yang termasuk dalam bab hudud, korupsi termasuk dalam bab ta’zir yang hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi diserahkan kepada Khalifah atau qadhi (hakim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. bersabda, ”Perampas, koruptor (mukhtalis) dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu Hibban).
Bentuk ta’zir untuk koruptor bisa berupa hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor; misal diarak keliling kota atau di-blow up lewat media massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, pernah menetapkan sanksi hukuman cambuk dan penahanan dalam waktu lama terhadap koruptor (Ibn Abi Syaibah, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, V/528; Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209). Adapun Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menyita seluruh harta pejabatnya yang dicurigai sebagai hasil korupsi (Lihat: Thabaqât Ibn Sa’ad,Târîkh al-Khulafâ’ as-Suyuthi). Jika harta yang dikorupsi mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara, bisa saja koruptor dihukum mati. (buletin Al-Islam: 504)
Begitu syari'at Islam dijalankan, maka korupsi akan berkurang bahkan hilang. Dan negara ini akan sejahtera menjadi baldatun thoyibatun wa robbun Ghofur. Wallohu a'lam bishowab.