Ketika ODGJ Mengambil Haknya


Oleh: Ummu Antiq's (Member Akademi Menulis Kreatif)

Pilpres 2019 sebentar lagi, agenda lima tahunan penentu nasib bangsa kedepan. Tensi dan suhu politik semakin memanas. Tensi dan suhu politik itu semakin meningkat tajam karena dibumbui dengan berbagai intrik politik.


Suara.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI saat ini tengah mendata peserta pemilih dari kalangan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) dalam Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.


Komisioner KPU RI Ilham Saputra, mengatakan merupakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam UU Pilkada terkait hak pilih dari pengidap gangguan jiwa, dimana haknya menjadi peserta pemilu wajib dilaksanakan.


Jadi MK mengatakan bahwa teman-teman disabilitas mental itu harus diberikan hak memilih karena selama ini tidak diberi hak memilih,” ungkap Ilham di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (5/3/2018).

Itulah salah satu intrik politik yang lagi menjadi wacana hangat dalam sistem demokrasi.


JABARNEWS | MAJALENGKA – Meski masih menjadi polemik dan bahan pembicaraan di kalangan penyelenggara, namun ‎Panwaslu Palasah, Kabupaten Majalengka menyarankan kepada Pengawas Kelurahan dan Desa (PKD), jika ada orang yang gila atau gangguan jiwa supaya dilaporkan segera ke tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) supaya masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).


Ketua Panwaslu Palasah, Nonok Juariyah, didampingi komisioner lainnya, Sutrisno, mengatakan, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan sederet UU seperti UU No. 8 tahun 2012 tentang Pileg, UU No. 42 tahun 2012 tentang Pilpres dan UU No.19 tahun 2011 tentang disabilitas, disebutkan bahwa mereka yang terkena gangguan jiwa, juga masih punya hak yang sama dengan warga lainnya dalam kehidupan bernegara.


Masih terasa pedihnya luka akibat yang dialami umat islam akibat dari penyerangan yang dilakukan "orang gila" menurut yang berwenang terhadap simbol agama, baik itu kyai, ulama ataupun rumah ibadah yang pernah terjadi. Apalagi kejadiannya berulang dengan jarak waktu yang berdekatan. 


Karena pelakunya orang gila maka mereka tidak dibebani hukuman. Walau secara logika tidak mungkin orang gila bisa kompak menyerang ulama. Yang menjadi pertanyaan saat itu ialah, apakah benar orang gila bisa di-setting atau disuruh untuk melakukan penyerangan terhadap para ulama?


Menurut Ketua Perhimpunan Dokter Jiwa Indonesia, Danardi Sosrosumihardjo, secara keilmuan medis, seseorang yang sudah dipastikan gila, tidak akan bisa diprogram atau disuruh untuk melakukan sebuah kejahatan yang terencana.

Seperti menyerang dengan tujuan membunuh dan menciptakan teror hingga meresahkan masyarakat.

"Orang yang sudah terganggu kejiwaannya, tidak mungkin bisa diprogram. Saya tegaskan lagi, orang gila tidak bisa diprogram," kata Danardi saat berbincang melalui sambungan telepon dengan tvOne, Jumat malam, 23 Februari 2018.


Para ulama sepakat bahwa gila termasuk dari awaridhul ahliyah (hal yang menghalangi jatuhnya beban hukum terhadap seseorang).


Hal ini berdasarkan hadis:

 

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاثٍ : عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ


“Pena diangkat dari tiga kelompok manusia: dari anak kecil hingga dia baligh, dari orang tidur hingga dia bangun, dari orang gila hingga dia sadar.” (HR Ahmad)


Lalu  apakah orang gila bisa menggunakan haknya dalam pemilu?

 Dalam islam orang gila termasuk yang tidak akan dimintai kesaksiannya. Hal ini karena batal demi hukum syara'. Karena tidak bisa membedakan yang dan yang buruk (tamyiz) dan tidak berakal. Serta juga setiap amal perbuatannya tidak akan menjadikan amal perbuatannya bernilai pahala atau dosa. Sehingga tidak akan dicatat oleh malaikat. 


Kalau orang gila diberi hak untuk memilih, siapa yang di untungkan? 

Sudah pasti suara mereka dimanfaatkan oleh orang-orang gila yang rakus akan kekuasaan.


Kalau atas dasar persamaan hak sebagai warga negara,  orang gila diberikan haknya untuk memilih bukan tidak mungkin kalau suatu saat  orang gila juga diberikan haknya untuk menjadi orang yang dipilih.


Itulah sistem demokrasi sekuler yang undang undangnya dibuat oleh manusia berdasarkan kepentingaan. Agama hanya dipakai kalau dirasa menguntungkan. Orang gila bisa saja menjadi berharga suaranya dalam pemilu tapi dalam kejahatan dinyatakan batal dan tidak sah tindak kejahatannya. 


Sementara itu, dalam Islam, khilafah adalah sebuah sistem kepemimpinan umat yang akan dipimpin oleh seorang Khalifah dengan menggunakan islam sebagai ideologi. Undang-undang disusun berdasarkan pada sumber syari’ah, Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan qiyas, yang pasti sesuai dengan fitrah manusia mana saja, karena hukum ini bersumber dari Allah subhanahu wa ta'ala Yang Maha Tahu mana baik dan buruk bagi makhluk. Karenanya pelaksanaan syari’ah Islam oleh negara akan mewujudkan Rahmatan lil ‘alamiin. Yang mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, menjaga martabat manusia. Bukankah itu yang kita dambakan.


Wallahu a’lam bi ash showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak