Oleh: Fitria Miftasani, M.Si (Dosen dan Ibu Rumah Tangga)
Ribuan guru honorer yang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia berunjuk rasa di seberang Istana sejak selasa (30/10). Aksi tersebut bertujuan menuntut agar para guru honorer bisa diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I), Titi Purwaningsih bahwa mereka menolak konsep pengangkatan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) dan mendesak agar diangkat menjadi CPNS (Antara, 30/10). Para demonstran bersikeras pihaknya tidak akan beranjak pergi jika tidak ada kepastian dari pemerintah, bahkan mereka bermalam di tempat aksi.
Demonstrasi yang dilakukan para guru bukanya tanpa alasan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa profesi guru honorer memiliki pendapatan yang jauh dari layak. Seperti yang diungkapkan oleh koordinator aksi, Nurbaiti, bahwa para guru honorer mendapatkan gaji sekitar Rp. 400.000 hingga Rp. 500.000, jauh dibawah UMR. Pendapatan yang mereka terima juga tidak seimbang dengan beban kerja guru yang semakin berat termasuk urusan administrasi pengajaran. Dana 20 % untuk pendidikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 444 T tidak sampai menembus para guru honorer ini. Minimnya apresiasi terhadap kinerja guru honorer masih menjadi masalah yang belum tuntas penyelesaiannya.
Tampaknya negara ini masih harus membenahi segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan. Bukan melulu berkutat pada persoalan kurikulum yang berganti seiring dengan bergantinya menteri. Persoalan terpenting dalam pendidikan adalah bagaimana agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah seperti mudahnya mendapatkan oksigen untuk bernafas. Jika kita masih berkeyakinan bahwa kemajuan sebuah bangsa bergantung salah satunya kepada sistem pendidikan, maka kita harus memperbaiki sistem ini. Mulailah dengan mensejahterakan para gurunya, baik guru PNS maupun guru honorer tanpa perbedaan.
Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam menjelaskan bahwasanya seorang khalifah berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, serta orang yang digaji untuk mendidik rakyat. Bercermin dari sistem pendidikan pada zaman kekhalifahan Islam, kita akan menemui fakta bahwa perhatian khalifah kepada rakyatnya sangat besar termasuk kepada para pendidiknya.Perhatian Rasulullah saw terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau saw menetapkan agar para tawanan perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah.
Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang megajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khattab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas) atau sekitar 29 juta rupiah dengan kurs sekarang.
Perhatian para khalifah juga mengarah pada sarana pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium. Diantara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul yang didirikan oleh Ja'far bin Muahmmad. Perpustakaan ini ramai dikunjungi rakyat dan para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Penghargaan yang besar diberikan kepada para penulis buku yaitu diberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
Sudah seharusnya pemerintah memiliki perhatian yang sama dengan para khalifah dalam sistem pendidikannya. Jangan cuek terhadap jeritan para guru, karena merekalah yang berhadapan lagsung dengan generasi yang akan menggantikan generasi yang memimpin saat ini. Jika para guru masih harus memikirkan kebutuhan paling mendasar keluarganya, kapan mereka punya waktu untuk memikirkan nasib bangsa ini, melakukan inovasi pembelajaran, dan menjadi ujung tombak penyemangat untuk merubah kondisi bangsa.