Oleh: Nur Hasanah, SKom
(Aktivis Pemerhati Masalah Umat)
Megaproyek Meikarta adalah proyek infrastruktur yang dibangun dengan nilai investasi mencapai Rp 278 triliun. Rencana akan dibangun kota baru di Cikarang, Jawa Barang meliputi gedung-gedung pencakar langit termasuk di dalamnya hunian vertikal atau apartemen di atas lahan seluas 23 juta m2. (detik.com 22 Maret 2018)
CEO Lippo Group, James Riady mengungkapkan, Jakarta baru dengan label Meikarta berdiri di jantung kawasan industri Indonesia, tepatnya di Cikarang. Ini merupakan proyek investasi Lippo terbesar sepanjang sejarah perusahaan berdiri selama 67 tahun. (liputan6.com)
Megaproyek Meikarta kini menjadi masalah. Proyek tersebut kini tersandung kasus suap terkait perizinan pembangunan yang menyeret para pejabat pemerintahan (penguasa) dan pihak swasta (pengusaha).
Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro ditangkap oleh KPK terkait kasus tersebut. Neneng ditangkap dengan tuduhan menerima suap atas perizinan proyek Meikarta dari Direktur Operasional Lippo Group, Billy Sindoro sebesar Rp. 7 milliar dari total Rp. 13 milliar yang dijanjikan.
Dalam sistem kapitalis kewenangan mengeluarkan perizinan sering dimanfaatkan oleh penguasa untuk melakukan tindakan pemerasan kepada para kapitalis berupa uang suap sebagai pelicin. Seperti gayung bersambut, para kapitalis yang memiliki modal besar tentu dengan mudah mengabulkan ambisi materi para penguasa korup. Mereka rela membayar mahal untuk memuluskan tujuannya.
Proyek Meikarta sebagai Bukti Perselingkuhan Penguasa dan Pengusaha
Proyek Meikarta adalah salah satu fakta telah terjadinya perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha. Dalam sistem kapitalisme, perselingkuhan ini sudah menjadi hal yang biasa. Sederetan kasus perselingkuhan biasa dilakukan dalam memanfaatkan kewenangan yang dimiliki masing-masing pihak demi mencapai tujuannya masing-masing.
Dalam kasus Meikarta, penguasa memiliki kewenangan untuk mengeluarkan perizinan pembangunan, sedang pengusaha memiliki kewenangan untuk membayar ongkos perizinan dan lain-lainnya dengan sejumlah uang yang disepakati.
Seperti transaksi antara penjual dan pembeli, peran penguasa bukan lagi sebagai pelayan masyarakat tapi peran penguasa dijadikan sebagai politik dagang dan kepentingan. Penguasa memiliki wewenang mengeluarkan surat izin dan pengusaha harus membeli surat izin yang dikeluarkan penguasa.
Padahal secara aturan hukum, pengusaha sebagai rakyat memiliki hak mendapatkan surat izin membangun di suatu wilayah yang syah secara hukum tanpa harus membayar kepada penguasa. Tentu prilaku ini menyalahi aturan, namun perselingkuhan ini tetap saja terjadi.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu sekalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (An-Nisa’ : 58).
Perselingkuhan Demi Kepentingan Abadi
Dalam sistem kapitalis, para penguasa kebanyakan meraih kekuasaan dengan cara politik uang. Siapa yang memiliki modal besar maka kemungkinan menang akan lebih besar. Kenyataan ini memungkinkan adanya kerjasama antara kandidat calon penguasa dengan para kapitalis. Kapitalis yang memiliki modal besarlah yang bersedia mengeluarkan uang banyak untuk modal kampanye.
Situasi ini menjadikan para penguasa berusaha mengembalikan uang modal kampanye dan mendapatkan keuntungan pada saat menduduki jabatan. Tindakan korupsi dengan suap perizinan, lelang tender dan lain-lain pun sering dilakukan. Tidak heran bila kesenjangan kebijakan ini sering ditampakkan secara telanjang oleh para penguasa kepada para pengusaha kapitalis.
Para pengusaha sering menjadikan para penguasa korup sebagai perpanjangan tangan dalam membuat kebijakan yang menguntungkannya dan memuluskan tujuannya. Para penguasa akan lebih mementingkan kepentingan pengusaha dibandingkan kepentingan rakyat yang menggaji dirinya.
Para kapitalis memiliki keistimewaan khusus dihadapan penguasa. Para kapitalis menjadi manusia yang tidak mudah disentuh oleh hukum bahkan menjadi pengendali para penguasa. Mereka berkolaborasi dalam berbagai kebijakan demi mencapai tujuan ekonomi dan politik untuk diri dan kelompoknya tanpa memikirkan rakyat sedikitpun.
Namun dalam sistem kapitalis tidak ada perselingkuhan yang abadi yang ada hanya kepentingan yang abadi. Kecurangan ini dilakukan berdasarkan kesamaan kepentingan, selama sama-sama memiliki kepentingan yang sama mereka akan berjalan bersama, namun bila tidak ada kesepakatan, mereka akan saling meninggalkan bahkan bisa saling menjatuhkan.
“Tidak ada satu hamba pun yang Allah Subhanahu wata’ala (beri kesempatan) memimpin rakyat, lalu meninggal dunia dalam keadaan berbuat curang terhadap rakyatnya, melainkan Allah Subhanahu wata’ala haramkan surga baginya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Memilih Penguasa Dalam Islam
Tugas penguasa dalam Islam adalah mengurusi kepentingan umat. Dalam pemilihan kandidat calon penguasa, dilakukan sesuai dengan hukum syara. Sudah dipastikan pemilihan pemimpin dalam Islam tidak akan terjadi kecurangan karena kandidat terpilih tidak mengeluarkan biaya pribadi.
Semua biaya pemilihan calon penguasa akan dibayar oleh negara dengan biaya yang tidak mahal. Penguasa akan lebih berkonsentrasi dalam menjalankan tugasnya mengurusi urusan umat karena rasa takut kepada Allah yang akan meminta pertanggung jawabannya.