Kamuflase "Sadar Pajak" pada Mahasiswa : Solusi atau ilusi?


Oleh: Fina Restiar 

(Aktivis BMI Community Bau Bau) 


Katadata.co.id - Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir meminta para rektor mengurus  para mahasiswa wisuda untuk langsung mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Adapun jumlah mahasiswa yang lulus setiap tahun mencapai 1,8 juta orang.


"Sehingga kalau ini sekaligus dia keluar saat wisuda dia sekaligus menerima kartu NPWP itu akan bagus sekali. Di satu sisi pembelajaran harus dilanjutkan, di sisi lain ini harus ditindaklanjuti," kata dia dalam acara Pajak Bertutur di Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (9/11).


Dengan kebijakan tersebut, ia berharap para mahasiswa yang lulus bisa menjadi wajib pajak yang patuh. Kebijakan ini, menurut dia, dalam upaya membangun negara.


Kebijakan tersebut diamini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Adapun penjelasan mengenai kebijakan tersebut disampaikan oleh Menristekdikti agar tidak menimbulkan persepsi buruk dari masyarakat.


 "Karena kalau saya yang ngomong, dikiranya Bu Menteri sudah desperate sekali sampai mahasiswa dipajaki," ujar dia.


Ia meminta langkah tersebut diikuti dengan edukasi kepada mahasiswa agar tidak menimbulkan kekhawatiran. Meskipun mahasiswa yang baru lulus akan diberikan NPWP, pengenaan pajak tidak berlaku jika tidak memiliki penghasilan di atas batas ketentuan. Adapun sejak 2016, besaran Penerimaan Tidak Kena Pajak (PTKP) ditetapkan sebesar Rp 54 juta per tahun, atau Rp 4,5 juta per bulan.


Sri Mulyani mengatakan, dari 10 orang pekerja di Indonesia, baru ada satu orang yang mendaftar sebagai wajib pajak. Sementara, dari 10 wajib pajak, hanya satu wajib pajak yang benar-benar membayar dan 5 wajib pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak tahunan.


Untuk itu Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI tak segan-segan menggandeng lima instansi diantaranya Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian dalam Negeri (Kemendagri), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), serta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) untuk mendidik dan menumbuhkan karakter sadar pajak sejak dini di lingkungan pendidikan. 


Kerja sama ini disampaikan Menteri Keuangan RI, Dr. Sri Mulyani melalui teleconfence dalam seminar bertajuk Pajak Bertutur: Pahlawan Zaman Now, Jumat (9/11) kemarin di FIA UB.


Menurut Sri Mulyani, tugas konstitusi untuk mengumpulkan penerimaan pajak tidaklah mudah, dibutuhkan kesadaran serta pemahaman yang harusnya ditanamkan sejak usia dini. Untuk itu dilakukan MoU bersama lima lembaga tinggi negara yang memiliki andil besar terhadap pelajar di Indonesia.


“Jumlah siswa di Indonesia sekitar 50 juta, sehingga perlu ditanamkan pemahaman mengenai pajak yang lahir bersama-sama dengan lahirnya republik ini,” ungkap Sri Mulyani.


Peningkatan sadar pajak perlu dilakukan dalam lingkungan pendidikan mulai jenjang SD hingga Perguruan Tinggi (PT). Edukasi ini juga telah dilaksanakan sampai dengan rencana pembelajaran sementara oleh para dosen di PT sejak tahun 2017. Pembelajaran inklusi pajak juga sudah diterapkan di tingkat SD hingga PT, untuk itu diharapkan MI hingga MA juga menerapkan hal yang sama.

Lebih lanjut, penerimaan pajak di Indonesia mencapai Rp 1.500 triliun hingga 1.600 triliun. Apabila tax ratio bisa dinaikkan 16 persen, maka potensi dana yang bisa dikumpulkan mencapai 750 triliun. Berdasarkan data statistic, sebanyak 10 orang yang bekerja di Indonesia hanya 1 orang yang membayar pajak.


“Dari 20 orang wajib pajak, hanya satu orang yang membayar pajak, dan dari 10 orang yang melaporkan SPT hanya 5 orang,” terangnya.


Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak potensi untuk meningkatkan kesadaran membayar pajak. Edukasi dan pemahaman yang digalakkan oleh Kemenkeu merupakan bagian dari strategi penting untuk meningkatkan penerimaan negara yang nantinya juga kembali kepada masyarakat (sumber - kompas.com).


-Kenapa Harus dengan Pajak? -


Semua orang tentunya sepakat jika negeri yang di lalui garis Katulistiwa ini adalah negeri terkaya. Kekayaannya yang melimpah terbentang dari Sabang sampai Merauke. Sehingga tak ayal, banyak mata-mata asing yang tergiur dengan kekayaan alam negeri ini. 


Namun, apa jadinya jika sumber utama pendapatan negeri yang kaya ini berasal dari hasil 'memalak' rakyat (pajak)? Juga hasil 'ngutang' kepada negara yang mungkin saja kekayaannya jauh dibawah kekayaan negeri ini? 


Memang bukan merupakan hal baru, jika sumber utama pendapatan negeri ini atau Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) nya berasal dari pajak dan utang luar negeri. Dan hal ini sudah terjadi selama berpuluh-puluh tahun lamanya. 


Dan pajak bahkan menjadi satu-satunya sumber pemasukan terbesar dalam APBN. Tidak tanggung-tanggung, 75% APBN dibiayai oleh pajak dan 25% nya berasal dari sektor migas (minyak dan gas) dan lain-lain. 


Pertanyaannya, kenapa harus dengan pajak? Kenapa bukan kekayaan negeri ini yang dikelola dan dimanfaatkan sebagai sumber utama pendapatan negara? Bukankah negeri ini negeri yang kaya? Lantas, kemana larinya semua kekayaan negeri ini? Sungguh ini adalah ironi yang menyedihkan. Hidup miskin dinegara kaya. Bukankah ini memalukan? 


Jika ditelaah lebih dalam, sejatinya pemungutan pajak kepada rakyat adalah jurus ampuh yang digunakan pemerintah untuk menyenangkan pihak-pihak tertentu saja. Sama sekali bukan untuk kepentingan masyarakat. 


Hal ini dapat dilihat dari hasil pungutan pungutan pajak itu,digunakan untuk membayar gaji pejabat pemerintah, membayar bunga utang luar negeri, dan pengeluaran pemerintah yang lain.


 Sebut saja untuk untuk pembayaran bunga utang luar negeri membutuhkan dana sekitar Rp 28 triliun. Sementara sedangkan belanja negara untuk fungsi perdagangan, pengembangan usaha, dan lain-lain hanya sekitar Rp 1,5 triliun dan untuk fungsi pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan hanya berkisar dibawah Rp 9 triliun. 


- Akar Masalah -


Sejatinya, utang luar negeri yang membengkak, pajak, kenaikan harga bahan bakar minyak, dan masalah lainnya adalah akibat dari kesalahan sistem yang diterapkan dinegeri ini.


 Adalah Liberalisme. Yang tidak lain merupakan buah dari diterapkannya sistem Demokerasi Kapitalisme. Dimana kata 'kebebasan' sangat di andalkan dalam sistem ini. Sebut saja, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku dan yang tak ketinggalan adalah kebebasan berkepemiliikan. Dan tindak tanggung-tanggung ke empat kebebasan itu mendapat 'lampu hijau' dari negara. 


Sehingga tidak heran, jika pemerintah membolehkan pihak swasta dan asing untuk menguasai kekayaan negeri ini. Bahkan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada swasta dan asing. 


Dan masyarakat pribumi yang seharusnya menikmati hasil kekayaan alam ini, malah sama sekali tidak menikmatinya. Justru malah sebaliknya. Masyarakat dikenakan biaya-biaya (Pajak) yang  sudah pasti memberatkan mereka. 


- Islam Punya Solusi -


Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Islam punya solusi terhadap segala kecarutmarutan negeri ini. Bahkan di seluruh penjuru dunia. Apapun masalahnya, Islam Solusinya. Lantas bagaiamana solusi dalam Islam?


Dalam sistem ekonomi Islam, sumber daya alam seperti kekayaan hutan, minyak bumi, gas,  dan barang-barag tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah milik umum (rakyat)  dan haram hukumnya jika diserahkan kepada individu, swasta, atau asing. 


Benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum ini dapat di kelompokkan menjadi tiga, pertama : fasilitas umum yakni semua yang di anggap sebagai kepentingan manusia secara umum seperti air, padang rumput, dan api. 


Hal ini juga senada dengan sabda baginda Rasulullah SAW yang artinya :

" kaum muslimin berserikat ( memiliki hak yang sama)  dalam tiga hal :  air, padang rumput dan api "( HR ibnu Majah). 


Kedua : barang tambang dalam jumlah yang sangat besar seperti minyak bumi, emas, besi, tembaga dan lain-lain. Ketiga : benda-benda yang sifat pembentukannya bukan untuk dimilimi individu seperti jalan, laut, danau, tanah-tanah umum, dan lain-lain. 


Tugas negara adalah hanya sebatas 'pengelola'. Mengelola kekayaan alam, kemudian hasilnya dibagikan kepada rakyat. Sehingga tidak akan kita dapati adanya biaya yang membebani rakyat (pajak). 


Dan kalaupun ada pajak, maka sifatnya hanya sementara, yakni pajak hanya dipungut untuk pembiayaan yang sifatnya wajib bagi kaum muslimin dan dari orang kaya saja dan jumlahnya tidak boleh melebihi kebutuhan dan pajak hanya dipungut dalam kondisi darurat untuk kepentingan rakyat. 


Sekali lagi!  Negara sama sekali tidak berhak memberikan 'kebebasan' kepada pihak lain (baca : individu, swasta dan asing) untuk mengelola kekayaan alam negeri yang notabene adalah milik rakyat.


Dalam Islam, pemerintah adalah 'pelayan' rakyat Pemerintah adalah pihak yang ditugasi untuk memelihara semua urusan dan kemaslahatan rakyat.  Rasulullah SAW bersabda yang artinya :

" pemimpin adalah pihak yang berkewajiban memelihara urusan masyarakat dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya " (HR muslim).  


Namun, peran pemerintah dalam hal ini negara, tidak akan berjalan sesuai syariat Islam, selama sistem yang diterapkan masih menggunakan aturan yang mengesampingkan aturan Allah. 


Sehingga, wajib kiranya untuk mengganti sistem busuk bernama Demokerasi ini, dan kita gantikan dengan sistem atau aturan yang berasal dari Allah,sehingga aturan Islam dapat diterapkan dalam semua aspek kehidupan.


Wallahu a'lam Bissawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak