Oleh : Sunarti PrixtiRhq
Masih kusimpan dalam hati jawaban itu. Lidahku masih kelu dengan kata-kata "Iya." masih pada posisi kutundukkan kepalaku dan belum ada sepatah kata dari mukutku. Gamang rasa ini.
"Begini Wida, Istiatul memang janda tua. Tapi, insyaallah dia wanita shalihah. Kamu tahu Rasulullah menikahi ibunda Khadijah umur berapa, Nak? Rasanya ayah tidak perlu lagi menceritakan kisah ini kepadamu," kata ayahku dengan wajah seriusnya.
"Wida, ketahuilah, Istiatul benerapa hari lalu saat dia pulang dari pasar, hampir saja terenggut kehormatannya. Malam itu Kamid yang biasa menjemput putrinya dari pasar, tiba-tiba jatuh sakit dan tidak bisa menjemput Istiatul di pasar. Terpaksa Istiatul pulang sendiri dengan menempuh perjalanan dari Pasar Ngrambe menuju rumahnya Yang berada di sekitar Air Terjun Pengantin. Jarak yang cukup jauh. Di tengah perjalanan dia dihadang beberapa pria tidak dikenal dan dibawa ke suatu tempat. Mereka merampas uang dan perhiasan Istiatul," kata ayahku. Kulirik wajahnya masih dengan mimik serius. Tapi seperti ada bulir bening dia tahan di sudut mata sayunya.
"Tidak hanya itu, hampir Istiatul diperkosa beramai-ramai oleh mereka. Beruntunglah, Allah mengirim penolong untuknya. Seorang kakek tua yang sedang menunggu jagung panenannya mendengar kegaduhan di ujung kebunnya. Dia dapati Istiatul sedang diikat dan dilecehkan oleh mereka. Allaj masih melindungi kehormatan Istiatul, kakek ternyata seorang pendekar pencak silat di daerah itu. Maka dengan sigap kakek tersebut menyelamatkan Istiatul dengan mengalahkan para preman itu. Alhamdulillah. Istiatul terselamatkan kehormatannya," ayahku berceriya panjang lebar. Aku hanya termangu dengan posisi menunduk khidmad.
"Rasanya seperti kisah di sinetron," kataku dalam hati.
"Rasanya juga tidak mungkin ayahku berbohong. Aku sangat kenal Beliau. Atau Pak Khamid yang mengarang cerita?" kata hatiku menebak-nebak.
"Kamu boleh cek di berita, Wida!" tiba-tiba ayahku membuyarkan lamunanku. Saat itu juga, seperti Beliau menjawab pertanyaan di hatiku. Ya Allah, ternyata ikatan batin ini terlalu kuat untuk seorang ayah dan anak. Aku bergidig, dadaku makin keras berdetak.
"Kamu cek di berita Wida. Beritanya masuk koran lokal. Karena kakek itu ternyata sesepuh perguruan pencak silat, maka berita itu jadi mencuat. Ditambah lagi kasusnya sampai di kepolisian dan sudah ditanganinoleh pihak kepolisian," kata ayahku meyakinkan.
"Makanya, Pak Khamid segera mencarikan pendamping untuk Istiatul. Dia sudah tua, sering sakit dan merasa sudah tidak mampu terus-terusan antar jemput Istiatul di beberapa tokonya," kata ayahku, masih dengan ketenangannya.
"Ayah, kenapa musti aku? Lagian kenapa musti pulang malam? Bukankah bisa pulanh sore atau siang begitu, daro tokonya?" kataku. Tiba-tiba kurasakan kata-kataku seperti renegekan anak kecil.
"Ayaj, aku sebenarnya sudah punya...," kataku terputus. Tiba-tiba aku takut melanjtkannya. Kutepuk dahiku tanpa sadar. Kutampar mulutku beberapa kali tanpa ada yang menyuruh. Aku jadi salah tingkah di hadapan ayahku.
"Apa Wida, kau pacaran?" ketus ayahku saat itu juga.
"Eh, ehmmm, ehmmm, ti...ti.. Tidak, tidak ayah," kataku gugup.
"Wida, jujur saja!" kata ayahku. Suaranya berat tapi tegas.
"Tidak ayah aku tidak pacaran. Aku baru menaruh hati pada teman sekolahku yang juga lulus tahun ini. Indah namanya," kataku. Kali ini aku berbicara dengan percaya diri.
"Wida, aku tahu, kamu tidak akan melakukan hal itu. Betapa ayah percaya padamu, Nak. Ayah sebenarnya tidak mau memaksamu, akan tetapi ayah juga tidak bisa menolak permintaan sahabat ayah. Semasa sekolah ayah, keluarha Kamid yang banyak menopang kehidupan ayah. Memang bantuan tanpa pamrih itu selalu menjadi prinsip di keluarga Kamid. Tapi karena dalam pandangan keluarga mereka Kamu adalah lelaki shalih dambaan mereka, maka dengan segenap rasa hormat, mereka meminta ayah mengatakan ini padamu," jelas ayahku.
"Oh ya, satu lagi, kenapa Istiatul harus pulang malam saat menunggu tokonya, Dia punya beberapa toko kelontong, dan itu ada di beberapa tempat. Sudah ada orang kepercayaan, tapi tetap secara teknis dia mengawasi setiap tokonya. Selama ini Kamid yang menjemput saat Istiatul harus pulang malam. Sedang anak Istiatul, belum begitu lihai mengendarai sepeda motor," jelas ayahku. Nadanya tenang setenang raut wajahnya. Ya Allah, ayahku, sosok bijak yang kukenal selama ini, begitu tenang dengan sekian penjelasannya. Seperti wejangan-wejangannya selama ini kepadaku dan kepada kakak-kakaku. Tidak pernah dengan nada kasar, apalagi amarah. Sungguh sosok yang selalu membuatku kagum.
"Wida ayah beri waktu dua minggu, untuk kamu beristiqarah dan bermunajad pada Allah! Mintalah petunjukNya dan minta yang terbaik dariNya! Sekarang istirahatlah!" kata ayahku tenang. Akupun beranjak ke kamarku. Gundah gulana menggelayutiku. Hampir satu malam aku sulit memejamkan mata. Kuhabiskan separuh malamku dengan bersujud menghadapNya.
Sekanh dua hari dari perrtwmuan aku dengan ayahku, kedua kakakku datang. Rupanya mereka jauh-jauh dari Kota Pahlawan, datang untuk memberi nasehat padaku. Yah, mereka memang kedua saudaraku yang selalu membuatku tersenyum bahagia. Meskipun mereka merayuku agar mau menuruti permintaan ayahku, tapi suasana canda mereka tetap membuatku bahagia. "Ayolah Wid, mau saja! Itu meskioun janda dannusianya sudah di atasmu, dia baik kok!" kata Windi kakakku yang pertama. Meskipun mereka kembar, Kak Windi jadi kakak pertama dan Kak Winda jadi Kakak yang nomor dua.
"Iya, Wid. Istiatul itu cantik. Dulu terkenal di sekolah aliyah kakak. Meskipun kakak ini adik kelasnya jauh, tapi nama Istiatul tidak asing di sekolah kakak. Hampir semua juara disabetnya, Wid. Qira', cerdas cermat, pidato bahasa Arab, bahasa Inggris tingkat propinsi, bahkan," kata Kak Winda berapi-api.
"Satu lagi ni, Wid, cari istri yang shalihah, Wid! Bukan yang cantik saja. Bibit, bobot, bebet, Istiatul top semua. Memenuhi kriteria, harta, agama, keturunan. Nah tuh!" kata Kak Windi. Mereka mencubit bahuku bersamaan sambil tertawa kecil.
"Aduh, Kakak, sakit tahu," kataku ikut tertawa. Meski usia kami tidak lagi dibilang kanak-kanak, tapi kadangkala canda kami melebihi anak-anak. Yah, itulah kami bertiga, Winda, Windi dan Wida.
"Jadi gimana nih?" tanya mereka kompak.
"Iya lah, iya... Aku mau," kataku sambil senyum-senyum. Tidak tahu kenapa setenang ini aku menjawabnya.
"Alhamdulillah. Ayo kita bilang sama ayah," kata mereka. Lagi-lagi, kompak mereka berdua. Dan berlari mereka dari kebun tempat kami berbincang. Yah, sebagaimana anak kecil lari mereka, menuju ayahku di rumah sana.
Semenjak saat itu ayahku tampak ceria. Raut mukanya selalu tersungging senyum. Demikian juga ibuku dan kedua kakakku. Keluarga kami sibuk menyiapkan taaruf dengan keluarga Istiatul. Sementara kadangkala hatiku masih gundah. Di malam-malamku, tak lelah akuemohon kebaikan dari Rabbku. Agar aku tidak salah pilih, kuoasrahkan saja pada Allah sebagai Sang Maha Pengatur Kehidupan. "Dekatkan Yaa Allah, jika memang Istiatul adalah jodoh dariMu. Tumbuhkan kasih dan sayangMu kepada kami, jika memang ini untuk kebaikan kami, keluarga kami dan agama kami," begitu selalu kumohonkan dalam doaku.
Hari taarufpun tiba. Kami sekeluarga berkunjung ke rumah bapak Kamid. Dalam hatiku berdebar, antara iya atau tidak ternyata masih berkecamuk. Hikang timbul dalam benakku. Kala itu, aku hanya yakin pada pilihan ayahku, lepas dari gejolak dalam dadaku, aku menurut saja. Toh taaruf belum tentu anak Ak Kamid mau atau aku belum tentu mau.
Entah rasa apa yang membuatku grogi. Jantungku terasa semakin berdebar. Debarnya makin kuat tatkala Pak Kamid meminta Istiatul menemui keluarga kami. Hawa dingin merayap dari dadaku mengalir ke seluru tubuhku, bahakn tangan dan kakiku rerasa dingin berkeringat. "Yaa Rabb, rasa apa ini?" batinku.
Keluarlah sesosok perempuan tinggi semampai. Berkerudung abu-abu dan bergamis kembang-kembang serasi dengan kerudungnya. Wajah ayu nan teduh berada di dalam balutan rapi kerudungnya. Bola mata bulat dengan cornea mata hitam legam membuatnya seperti boneka. Alis tertata rapi tanpa disulam dan ulu mata lentik membuatnya semakin tampak cantik memikat. Belum lagi hidungnya yang mancung bagai keturunan bangsa Arab dan bibirnya yang tipis mungil, masyaallah, sungguh ciptaan yang sempurna. Jauh, jauh dari bayanganku selama ini. Seorang emak yang sudah nenek-nenek, yang hendak dijodohkan denganku. "Astagfirullah," tiba-tiba aku berucap dan tanpa sadar aku tak segera tundukkan pandanganku. Rupanya ucapanku mengagetkan keluargaku dan keluarga Pak Karim. Kontan, mereka semua mengarahkan pandangan ke arahku, yang sedang meredam kekagumanku pada Istiatul.
"Ada apa, Wida?" tanya ayahku sambil menepuk pelan bahuku, yang dengannya aku sangat terkejut. Akupun gelagapan dengan situasiku sendiri dan segera kutundukkan pandanganku.
"Em, a.. Emmm... Eh.. Tidak, tidak ada apa-apa ayah. Aku, aku....," entahlah, aku bingung mau berkata apa, gugup. Tiba-tiba saja muncul hawa dingin menelusuri dadaku yang sejak awal hilang timbul panasnya. Serasa tentram begitu melihat Istiatul. Aku segera menundukkan pandanganku setelah menyadari betapa paras cantik Istiatul tidaklah sesuai dengan usianya. Bagaimana mungkin seorang wanita yang sudah hampir mencapai usia empat puluh tahun, masih berparas segar dan energik seperti Istiatul? Mungkin karena seringnya air wudhlu membasahi wajahnya dan lafadz kalimat Allah yang selalu mengalir di bibir dan hatinya yang membuatnya terlihat awet muda dan anggun.
Bersambung.
Ngawi, 25 November 2018