Oleh : Sunarti PrixtiRhq
Namaku Wida. Aku lahir dari keluarga yang hidup di lingkungan pondok pesantren tradisional. Ayahku seorang pemangku pondok dan ibuku berasal dari keluarga biasa. Bisa dibilang, ibuku dari keluarga "abangan." Sangat awam dengan ajaran Islam. Tapi ibuku adalah sosok yang taat dengan suaminya. Tekun beribadah dan tekun mengurus rumah. Mendidik aku dan kakak-kakakku dengan belai kasih tulusnya. Cintanya yang luas dan tidak terbatas.
Aku anak ke tiga dari tiga bersaudara. Ibuku melahirkanku setelah kelahiran kakak pertamaku. Ya, Allah memberikanku saudara kembar sebelumku. Mereka terlahir kembar siam dengan jenis kelamin perempuan. Winda dan Windi, kakak kandungku. Mereka bagai pinang dibelah dua. Berparas cantik, berkulit putih. Berpostur tinggi semampai. Sekarang kehidupan kakak-kakakku berada jauh di luar kota. Mereka menggayung bahtera rumah tangga dengan mengikuti suami-suami mereka. Kehidupan bahagia sudah mengalir menyertai mereka.
Pagi ini, dingin lereng Lawu menyibak ujung dahiku. Menetes embun dari ujung pohon pinus dan jatuh di ujung hidungku menambah dingin raga ini. Burung-burung Walet menghampiri di antara gubug dan kebunku, mengepakkan sayapnya dengan lincah. Lamunanku kembali pada masa silam. Tatkala aku dipertemukan dengan istriku.
Anganku melayang sepuluh tahun silam. Tatkala di gubug rumah ini, aku mengawali kisahku bersama seorang wanita shalihah. Dalam suka duka kami hadapi berdua. Dalam tangis dan tawa, kita arungi bersama. Berlayar dalam bahtera rumah tangga dengan berbagai macam peristiwa yang melanda. Kini dia jadi ibu dari anak-anakku. Berdua menghabiskan hari tua kami. Menyelesaikan tugas di dunia sebagai keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah, insyaallah.
Masih lekat dalam ingatanku kala itu. Aku mengucapkan ijab kabul di hadapan seorang imam masjid di kampung sebelahku. Meski berbeda kecamatan, namun jaraknya hanya beberapa kilo meter saja dari rumahku. Kupersunting seorang paruh baya bernama Istiatul Amanah. Usianya jauh di atasku.
Kala itu, usiaku baru delapan belas tahun. Usia yang sangat muda untuk menikah. Tapi, bagiku ketaatan terhadap orang tua atas perintah Allah, sangat aku junjung tinggi. Tidak akan mungkin, orang tuaku menginginkanku sengsara di dunia, apalagi di akherat.
Dengan segenap keawamanku, aku terima permintaan orang tuaku untuk menikahi seorang yang sudah pernah menikah, janda. Seorang wanita yang menjanda karena sang suami menghadap Illahi beberapa tahun lalu. Dia sudah memiliki seorang anak laki-laki berumur belasan tahun. Waktu itu kelas dua SMP. Beberapa tahun di bawah usiaku.
Gejolak masa mudaku sesungguhnya membuncah. Menggelora dengan kondisi ini. Aku masih punya cita-cita untuk melanjutkan kuliah. Tapi aku bak kerbau dicocok hidungnya, menurut apa kata orang tuaku. Bisa dibayangkan, betapa aku ingin lari dari semua kenyataan. Aku yang masih belia, harus menikah dengan wanita yang sudah tua, sudah memiliki putra pula.
Memang secara ekonomi calon istriku adalah orang kaya di desanya. Kehidupan mapan, dari keluarga alim, membuat para lelaki tidak punya nyali untuk meminangnya. Namun status jandanya, membuat mata-mata lelaki hidung belang berebut menodai kehormatannya. Hingga ayahnya mencarikan pelindung untuknya. Dan pilihan Beliaupun ternyata jatuh pada anak sahabatnya, ya itulah aku. Aku adalah anak dari sahabat ayah Istiatul.
Namun, sebagai anak aku tidak berani sedikitpun menolak keinginan orang tua. Meskipun dalam hatiku menolak, tapi di sisi lain aku berprasangka baik kepada orang tuaku. Tidaklah mungkin orang tuaku akan menggandengku ke tempat yang menyalahi hukum Allah. Meskipun rasa ini masih berat. Namun, pastilah Beliau punya pilihan yang terbaik buat anak-anaknya. Selain itu, aku sangat takut dengan apa yang terjadi ke depan, apabila aku berani menyelisihi orangtuaku. Kalau itu soal ketaatan kepada Allah, aku tidak mungkin membantahnya.
Masih lekat betul di mataku. Saat senja menyapa suaru di depan rumahku. Kami selesai menunaikan shalat Isya' berjamaah di surau itu bersama keluarga besarku. Ayahku, tiba-tiba mengajakku berbincang serius tentang kehidupanku.
"Wida, tinggallah dulu, Bapak mau bicara penting denganmu," kata Beliau yang masih berada di tempat imam surau. Rambutnya yang sudah hampir rata dengan warna keputihan, tampak sesikit di bawah peci putihnya. Pandangan matanya yang teduh justru menghujam bola mataku yang menyimpan tanda tanya besar.
"Ada yang harus saya sampaikan Wida," kata ayahku.
"Iya, Ayah. Nuwun dhawuh!" jawabku. Dan kutundukkan mukaku sembari mendekat di hadapan ayahku. Kuposisikan duduk bersila di hadapan Beliau.
"Aku tahu, Wida. Cita-citamu tinggi. Menjadi seorang guru yang mendidik anak-anak adalah harapan mulia. Tapi, ketahuilah Wida, vanyak hal yang juga harus kita pikirkan dan kita ambil keputusan. Ayah tahu, ini sangat berat buatmu. Tapi, ayah yakin, seorang Wida akan bisa menerima dan sanggup melaksanakannya," kata ayahku. Di akhir katanya, ditarik napas dan ditahannya beberapa saat. Tampak ayahku menunduk dan menahan lagi napasnya. Tiba-tiba ditengadahkannya wajah kusutnya yang masih menyisakan raut tampan di masa mudanya. Menatap langit-langit surau yang berplafon dari anyaman bambu. Dilepaskannya pelan-pelan nafas ayahku. Tampak udara yang sesak memenuhi dadanya.
"Beberapa hari lalu. Sahabat ayah, Kamid, datang menemui ayah. Dia memohon akan kelapangan ayah atas keberadaanmu, Nak. Ketahuilah Wida, Bapak Kamid memiliki anak perempuan cantik, shalihah. Tapi, Allah berkehendak lain atas nasibnya. Dia sudah menikah dan dikaruniai seorang anak. Allah memberi ujian berat padanya, suaminya meninggal saat dia mengandung delapan bulan. Hingga anaknya hampir dewasa, dia belum menemukan jodoh shalih yang diinginkan ayah dan dirinya. Di tengah perjalanan hidupnya, Istiatul, nama anak Pak Kamid, Wid. Dia mengalami pelecehan yang sangat tidak diinginkan," tutur ayahku diiringi helaan napas panjangnya.
Sesuatu yang berat sedang disimpan ayahku. Dadanya membusung mengembang dan dari hidungnya keluar desahan udara perlahan yang seolah Beliau tidak mau mengeluarkannya. Ada rasa berat menggelayut dalam luapan aliran udara dalam paru-parunya. Bagai terhimpit alveolusnya hingga oksigen dalam ruang dada itu tidak leluasa mengisi bronkus-bronkusnya. Sesak.
"Pak Kamid, tidak mau anaknya jatuh ke tangan lelaki hidung belang. Yang hanya mau harta Istiatul saja. Makanya, Beliau sangat memohon kebersediaan kamu untuk jadi menantunya," kata ayahku panjang lebar. Kembali ayahku menarik napas panjang. Tampak bulir bening di sudut mata sayunya. Mentes di ujung hidungnya. Ayahku segera menyekanya. Berusaha menahan bulir yang lain jatuh menyusulnya.
"Ayah, bolehkah saya matur?" kataku dengan setengah menundukkan muka. Debar dadaku seolah mengejar gejolak sesak di dada ayahku. Tak mau kalah diriku, kutahan dengan segenap kemampuanku. Mukaku sudah serasa memanas. Napasku tersengal beberapa kali.
"Tunggu dulu Wida, ayah belum selesai! Nanti ayah kasih waktu kamu untuk menyampaikan seluruh pendapatmu, Nak! Izinkan ayah mengatur hati ayah dulu..! Agar ayah tidak salah bicara," kata Beliau kembali.
"Iya, Ayah, sendiko dhawuh!" kataku kembali menundukkan muka. Meskipun rasanya aku ingin meluapkan seluruh sesak dada ini, aku coba bertahan. "Astagfirullah," kata batinku.
Kepalaku serasa berdenyut kuat di bagian belakang. Ada sesuatu yang seolah berjalan menuju telingaku yang membuatnya serasa terbakar, panas. Rasakupun tak kalah sesak. Dadaku panas meluap, membuat tenggorokanku serasa ingin memuntahkannya. "Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah," dalam hati terus kuucap.
Kutahan cairan hangat yang kurasa hendak tumpah. Berusaha kutengadahkan muka perlahan, agar ayahku tidak melihatku cengeng. Kuhela napas panjang dan perlahan. Kulihat ayah mengamati ekspresiku. Matanya yang setajam elang itu bukan menghujam ke dadaku. Tapi kurasakan sangat sejuk menyiram mukaku dan menjalar ke dadaku. Rasaku bagai meneguk air di tengah kehausan. Entahlah, rasa apa yang membuatku tenang dan tentram kali ini. Padahal hatiku yang membuncah tadi, seolah tiada bisa aku padamkan.
"Wida, aku tahu hatimu, Nak. Aku tahu gejolak apa yang ada di hatimu. Namun, ayah juga tahu, Wida, sepanas apapun hatimu, jikalau tersiram dengan lafadz mengagungkan Allah, pastilah akan teredam. Begitu juga dengan pemahamanmu selama ini dengan ketaatan kepada Allah. Ayah yakin, kamu bisa menerimanya. Meskipun akan terasa berat di awal," kata ayahku datar. Namun betapa aku tiada bisa berkutik dengan semuanya. Sekali lagi perkataan ayahku bagai embun si pagi hari, sejuk. Dan aku masih diam terpaku.
"Wida, sekarang katakan bagaimana pendapatmu, Nak!" kata ayahku tiba-tiba.
Dengan helaan napas yang akhirnya kuhembuskan pelan-pelan, aku berusaha tegar. Sedikit kuangkat mukaku hendak kusampaikan apa yang aku simpan. "Ayah, sesungguhnya ananda ingin melanjutkan kuliah. Lantas bagaimana dengan cita-citaku ayah? Haruskah pupus dengan sebuah pernikahan yang aku sendiri tidak mengenal siapa perempuan itu? Maaf, Ayah, ditambah lagi dengan seorang janda yang usianya jauh di atasku? Bahkan di atas kakak Winda dan Windi," kataku dengan berat. Namun aku berusaha menahan gejolak amarah. Yah, aku sesungguhnya marah. Tapi bagaimana mungkin seorang anak marah dengan ayahya. "Astagfirullah," batinku.
"Ya, ya... Ayah mengerti dengan semua perkataanmu. Meskipun belum semua engkau sampaikan Wida," kata ayahku. Mata teduh Beliau sekarang memandang jauh ke halaman mushala yang tampak dari sisi ayahku duduk. Seolah melempar pandangan ke luar muahala. Pintu mushala memang dalam kondisi terbuka. Kebiasaan kami tidak menutup pintu mushala sebelum kami semua berada di dalam rumah.
"Ayah, bagaimana mungkin?" kali ini aku angkat muka. Tiba-tiba merah mukaku. Dada ini meletup-letup degupnya
"Aku yang belia menikah dengan janda tua? Lantas, kenapa pilihan teman ayah, jatuh ke Wida? Apa pertimbangan mereka ayah?" kataku dengan nada tersengal. Berusaha menahan amarah yang masih hilang timbul.
Ayahku menghela napas. Kemudian melepaskannya dengan mengangkat dagunya. "Begini Wida, menikah dapat menghindarkan kita dari hal-hal yang dilarang dan diharamkan Allah SWT. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan untuk segera mempercepat pernikahan bagi mereka yang telah mampu, baik lahir maupun bathin," jelas ayahku. Wajahnya masih tampak serius.
"Dengan pernikahan, gejolak biologis dalam diri manusia dapat tertuntaskan. Selain itu, pernikahan juga dapat mengangkat cita-cita luhur yaitu untuk menghasilkan keturunan yang nantinya berperan dalam kemakmuran di bumi dan menjadikannya lebih semarak. Kamu tahu itu kan Wida?" lanjut ayahku.
"Ya Ayah. Wida Mengerti," jawabku sambil menganggukkan kepala tanda setuju dengan wejangannya.
“Wahai para pemuda ! Barang siapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya," lanjut ayahku.
Ayahku masih duduk bersila. Sesekali wajah Beliau tengadah memandang langit-langit mushala. "Wida, tujuan suci dari suatu pernikahan salah satunya adalah agar syariat Islam dalam kehidupan rumah tangga selalu ditegakkan oleh pasangan suami istri. Untuk itu, sangatlah penting bagi kita untuk memilih calon yang tepat sebelum menikah, agar nantinya bisa terbina Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah".
"Bagaimana, anakku?" tanya ayahku tiba-tiba.
Aku terkejut dengan pertanyaan Beliau. Belum siap rasanya menjawab "Iya aku mau menikah." Maafkan, aku ayah.
Bersambung
Ngawi, 23 November 2018