Oleh: Nur Hasanah, S.Kom
(Aktivis Pemerhati Generasi)
Saat ini kesempatan bagi perempuan untuk bekerja, berkarya dan bersekolah yang tinggi mendapatkan kebebasan yang sangat luas. Kesempatan ini dimanfaatkan kaum perempuan untuk meningkatkan potensi dirinya di kalangan masyarakat.
Jargon “Kesetaraan Gender”, sering digemakan para kapitalis dalam memanfaatkan potensi perempuan sebagai penggerak motor perekonomian. Mereka berdalih “Pemberdayaan Perempuan” adalah dengan bekerja agar menghasilkan materi dan mandiri dalam pemenuhan kebutuhan keluarga.
Mereka mengklaim perempuan terhormat adalah perempuan yang bekerja, sedang perempuan yang bergantung kepada suami secara finansial dianggap tidak terhormat. Klaim ini diaruskan secara global dengan mengopinikan perempuan perlu mendapatkan hak-hak sosial maupun ekonomi, melawan segala bentuk diskriminasi atas perempuan dalam emansipasinya. Tujuannya adalah agar perempuan tidak merasa dibebani dengan perannya sebagai pencari nafkah sekaligus manajer rumah tangga.
Seperti pada acara pertemuan tahunan International Monetary Fund (IMF) yang bertajuk Empowering Women in the Workeplace di Hotel Westin, Bali, Selasa (9/10/2018). Perhelatan ini mengopinikan tentang pemberdayaan perempuan dalam dunia kerja.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan "Yang pertama harus dipahami dari sebuah negara itu harus ditingkatkan partisipasi tenaga kerja perempuan, baik untuk perekonomian, untuk perempuan dan untuk keluarganya." Beliau menjelaskan perempuan sangat berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di sebuah negara (finance.detik.com, 9/10/2018).
Pernyataan yang hampir sama juga disampaikan oleh Yenny Wahid yang mengatakan bahwa pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan melibatkan kelompok perempuan yang merupakan sosok paling dekat dengan anak-anak dalam keluarga. (nu.or.id)
Kapitalis Menjadikan Perempuan Sebagai Pemutar Roda Industri
Sebenarnya pemberdayaan perempuan dalam kapitalis adalah menggiring perempuan menjadi pemutar roda industri kapitalis. Perempuan dituntut sebagai subjek yang harus mampu mendongkrak perekonomian keluarga, negara bahkan dunia. Mereka mendorong perempuan untuk turut aktif bekerja di luar rumah, menghasilkan uang untuk dibelanjakan keperluan rumah tangga dan untuk pemenuhan gaya hidupnya agar roda perekonomian kapitalis tetap berjalan.
Jadi perannya di luar rumah sangat diharapkan bahkan diekploitasi guna mencapai target perekonomian. Padahal perempuan pada dasarnya telah memiliki tugas rumah yang harus diselesaikan setiap harinya.
Sebenarnya peran ini tidak mudah bagi perempuan yang sudah memiliki suami dan anak. Karena disatu sisi mereka memiliki kewajiban pekerjaan sebagai istri dan ibu rumah tangga setiap harinya. Tetapi diwaktu yang sama, mereka juga harus menjalankan kewajiban sebagai wanita karir yang diharuskan bekerja sesuai target kerja.
Kondisi ini mengharuskan perempuan untuk meninggalkan salah satu peran karena peran yang lain menuntut pemenuhan waktu, fikiran dan tenaganya. Tak jarang perempuan lebih mementingkan perannya sebagai wanita karir dan mengalahkan perannya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Tugasnya sebagai ibu yang menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya, dialihkan perannya kepada pengasuh atau lembaga-lembaga penitipan anak.
Ibu yang memiliki peran politik dan strategisnya sebagai ibu generasi pencetak peradaban islam, ditinggalkan. Tindakan ini merenggut hak-hak anak dalam pendidikan dan pengasuhan, sehingga dapat melahirkan generasi terlantar yang rapuh, penuh masalah dan menimbulkan kerusakan.
Islam Memuliakan Perempuan
Perannya sebagai istri di rumah yang memiliki kewajiban untuk taat kepada suami sering diabaikan. Istri pulang ke rumah dengan sisa-sisa tenaga dan beban kerja yang berat di tempat kerja, menimbulkan tingkat stress yang tinggi dan mudah marah. Kondisi ini mengguncang nasib pernikahan kearah perceraian.
Lagi-lagi generasi yang menjadi korban. Generasi yang dilahirkan dari pasangan orang tua yang bermasalah dan atau bercerai, besar resikonya menjadi generasi yang rapuh dan rusak. Inilah konsekuensi mahal yang harus dibayar bangsa yang mempekerjakan perempuan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.
Maka sudah bisa difahami bahwa Pemberdayaan Perempuan versi kapitalis telah menimbulkan kerusakan kualitas generasi. Pemberdayaan perempuan digunakan hanya sebagai kedok untuk mengokohkan hegemoni kapitalisme.
“ ….. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar “.(QS. Al-Anfaal(8):73).
Padahal pemberdayaan perempuan dalam islam sangatlah mulia. Perempuan memiliki peran sebagai penjaga peradaban dan pendidik generasi masa depan. Perempuan bertugas sebagai ibu dan manajer rumah tangga. Tugas ibu mempersiapkan generasi sebagai calon-calon pemimpin yang bertaqwa kepada Allah.
Generasi rabbani, handal, yang akan mengisi peradaban dengan aman, damai dan mampu mengentaskan kemiskinan. Ibu juga bertugas membuat suasana rumah layaknya syurga di dunia bagi anggota keluarganya.
Ibu harus mampu menciptakan suasana yang damai, sejuk dan penuh kebahagiaan. Tugas ini tidaklah mudah, maka perempuan dalam islam haruslah cerdas, sekolah tinggi adalah wajib.
Untuk memenuhi tuntutannya, perempuan memiliki kewajiban untuk belajar terus menerus. Tujuannya agar perempuan memiliki visi dan misi dalam mendidik anak-anaknya sesuai dengan ajaran yang Allah perintahkan, bertujuan untuk meraih ridhoNya.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,….” (QS 7. Al A'raaf:96)