Oleh: Dian Puspita Sari*
Stand up comedy menjadi hiburan kekinian yang sedang banyak diminati. Khususnya di kalangan remaja. Hal ini terbukti dengan adanya ajang stand up comedy di televisi. Namun, siapa sangka dibalik tawa kelucuan itu tersirat pemikiran berbahaya bagi penontonnya. Dua host Majelis Lucu Indonesia, Tretan Muslim dan Coki Pardede memuat komentar teranyar yang kembali menuai perhatian. Baru-baru ini, Tretan Muslim mengunggah video dirinya memasak daging babi dengan kurma di YouTube channelnya.
Dalam video, Tretan di antaranya berkata, "Untuk pertama kalinya dalam hidup saya melihat daging babi. Nggak bau ya (pas cium daging babi). Coba kita dengarkan, neraka, neraka, api neraka, babi ini neraka. Saya akan memasak daging babi. Ini keren ya seorang chef memasak tanpa dicicipi. Kalau orang Islam bagian terbaik dari babi, dibuang. Tidak ada yang terbaik dari alharamin. Karena daging babi haram, kita akan campurin unsur-unsur Arab, kurma dan madu. Sangat Arab, sangat Timur Tengah sekali. Kira-kira apa yang terjadi makanan haram babi ini dicampur dengan makanan barokah dari kurma dan madu," ucap Muslim dalam vlognya. (detik.com)
Tak hanya mereka, beberapa kawanan komika yang lain pun pernah melakukan aksi yang serupa saat tampil di panggung stand up. Memang sungguh keterlaluan. Menjadikan hukum Islam sebagai sebuah lelucon hanya untuk membuat tertawa penonton. Kiranya begitulah potret remaja liberal dan sekuler yang tidak menggunakan halal-haram sebagai standar dalam berpikir. Akibatnya yang salah bisa menjadi benar, haram bisa berubah menjadi halal atau pun sebaliknya.
Gaya hidup jaman now menuntut remaja agar menjadi lebih kekinian. Mulai dari jajanan, pakaian, kebiasaan, tontonan, termasuk perkataan. Disuguhi dengan berbagai hal yang menyenangkan lagi viral cenderung membuat remaja menjadi latah. Keranjingan hingga meniru dengan spontan. Tanpa sadar mereka sudah terjangkiti virus hedonis. Gaya hidup serba boleh ini telah mengikis habis jati diri mereka sebagai pemuda-pemudi Islam. Remaja kehilangan arah. Halal-haram tidak lagi menjadi ukuran perbuatan. Akibatnya, semakin jauh pula dari aturan agama.
Padahal, secara tegas ada peringatan dalam agama kita. Islam melarang seseorang membuat suatu lawakan atau candaan dengan menceritakan suatu hal yang isinya dusta atau berbohong dalam rangka membuat orang lain tertawa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia .” (HR. Abu Daud & Tirmidzi)
Lebih jauh, Rasulullah menjelaskan lagi bahwa hukumannya lebih berat, jika sampai menimbulkan permusuhan dan persengketaan di antara manusia bahkan menimbulkan bahaya bagi agama. Beliau berkata, “Apabila hal tersebut (dusta) menimbulkan permusuhan di antara kaum muslimin dan menimbulkan mudharat bagi agama, maka ini lebih terlarang lagi. Pelakunya harus mendapatkan hukuman syar’i yang bisa membuatnya jera.” (HR. Abu Daud & Tirmidzi)
Yang masih menjadi PR kita saat ini adalah bahwa semakin marak kasus penistaan agama karena ketiadaan sanksi yang setimpal. Contohnya, pada kasus Penistaan Surat Al Maidah 51, pelaku hanya dihukum penjara 2 tahun. Terakhir di Klaten, Maidi Totok yang secara sah menginjak Al Qur’an dan diunggah ke media sosial telah di vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten, sangat ringan. Pemuda asal Karangdowo, Klaten itu dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan penjara saja. (portal-islam.id)
Menanggapi hal itu, ketua Dewan Syari'ah Kota Surakarta (DSKS) Ustadz Muinudinillah Basri menilai hukum di Indonesia masih dimiliki penguasa, bukan sebab berdiri di atas keadilan. “Yang jelas itu dagelan semuanya. Kalau ingin adil mestinya tidak ringan segitu, yang namanya hukum itu bikin jera. Kalau cuma satu setengah ya nggak jera,” katanya. Beliau pun berharap umat Islam mulai memikirkan kepemimpinan Islam yang mengerti akan hukum yang menjadi sumber segala hukum keadilan. Pemimpin Islam yang berjuang menegakkan nilai-nilai Islam yang rahmatan Lil ‘alamin. (panjimas.com).
Karena di dalam Islam, ketentuan hukuman bagi pelaku penistaan agama secara terang-terangan dijelaskan. Pada orang-orang yang melakukan propaganda ideologi atau pemikiran kufur atau menyerukan seruan yang mengandung celaan terhadap akidah kaum Muslim, diancam dengan hukuman penjara hingga dibunuh. (Taqiyuddin an-Nabhani, 1965 M)
Ini menjadi peringatan bagi para komedian, aktivis stand-up comedy dan lainnya. Hendaknya berhati-hati dan lebih baik lagi bila mau meninggalkan hal ini. Terlebih, terlalu banyak tertawa ternyata bisa mematikan dan mengeraskan hati. Karena kebahagiaan sejati bukan dengan terlalu banyak tertawa bahkan sampai terbahak-bahak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah terlalu banyak tertawa karena banyak tertawa bisa mematikan hati.” (Hadist Shahih Al Jami)
Apalagi menjadikan agama sebagai bahan candaan merupakan sebuah kesalahan yang fatal. Sebagai seorang muslim, semestinya kita wajib mematuhi dan membela hukum Allah. Bukan malah membuat lelucon dengannya. Semua konten hukum Islam bersifat sakral. Tidak layak manusia memain-mainkannya. Acara-acara semacam itu sebenarnya bukan saja menghina hukum, namun juga menunjukan adanya framing buruk terhadap Islam. Mengesankan bahwa hukum Islam itu kaku, serius, dan tidak menyenangkan. Khususnya bagi kalangan generasi muda.
Inilah dilema hidup dalam sistem kapitalis sekuler. Ketika sebuah tayangan dinilai cukup berkelas untuk dinikmati para pemuda muslim, maka konten lawakan akan dikemas sedemikian rupa. Tujuannya agar menjauhkan generasi Islam sedikit demi sedikit daripada pemikiran dan pemahaman Islam yang shahih. Membelokkan hingga mengubah pemikiran para pemuda muslim terhadap agamanya. Lagi-lagi ini menunjukan kegagalan negara dalam menjaga akidah masyarakat. Karena semestinya, negaralah yang mengawasi semua jenis tayangan. Apakah isinya sesuai dengan syari'at Islam atau justru bertentangan, hingga mengakibatkan kerusakan generasi.
Wallahu’alam bisshawwab []
*) Aktivis Muslimah, Koordinator Komunitas Remaja Shalihah (KRS) Kab. Banjar, Warga Pekauman Ulu Martapura