Oleh: Ummu Syaddad
(Pemerhati Masyarakat)
Setiap tanggal 15 Oktober diperingati sebagai Hari Hak Asasi Hewan. Dimana peringatan ini, menuntut kesadaran manusia untuk memenuhi hak-hak pada hewan. Pencetus awalnya adalah Jeremy Betham di era tahun 1748-1832 seorang aktifis pencinta binatang. Dan dipopulerkan oleh Ricard Ryder, Brigid Brophy, Ruth Horrison dan Robert Garner di era tahun 1965-1970.
Hak asasi hewan, adalah ide bahwa hak-hak dasar hewan non manusia harus dianggap sederajat sebagaimana hak-hak dasar manusia (Wikipedia.org).
Peringatan Hari Hak Asasi Hewan tahun ini, mengkampanyekan pemenuhan hak-hak hewan termasuk hewan peliharaan. Diantaranya hak makan, minum, dan hak kebebasan bergerak sesuai habitatnya di alam bebas (Netmedia.co.id).
Sebenarnya, apa yang dikampanyekan adalah sesuatu yang wajar. Mengingat banyak kasus penelantaran dan perusakan habitat hewan oleh tangan-tangan oknum tak bertanggungjawab. Hal ini, mengakibatkan ancaman kematian dan kepunahan.
Sebut saja misalnya Harimau Sumatera. Hewan yang merupakan satu dari enam spesies harimau yang masih hidup. Sampai detik ini, Harimau termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (critically endangered). Dirilis oleh Lembaga Konservasi Dunia IUCN. Populasi yang tersisa di alam liar diperkirakan sekitar 400-500 ekor. Terfokus hidup di taman-taman nasional di Sumatera. (doorcountrytrades.com, 30/04/2018). Begitupun yang terjadi pada Badak Jawa (Indtimes.com).
Belum lama diberitakan, penemuan tiga ekor buaya di sungai Cileungsi Bogor. Satu yang baru tertangkap. Sisanya masih diupayakan oleh Petugas Dinas Lingkungan Hidup dibantu oleh warga sekitar. Hal ini, menimbulkan kepanikan warga yang bermukim di sepanjang bantaran sungai tersebut. Dikhawatirkan buaya akan masuk pemukiman dan memakan korban. Menurut pihak kepolisian diduga kuat buaya tersebut adalah buaya peliharaan yang sengaja dibuang pemiliknya. Kasus ini masih dalam pengembangan penyelidikan oleh pihak yang berwenang (Detik.com, 08/10/2018).
Selain itu, diberitakan pula bahwa akibat kekeringan, segerombolan monyet menyerbu pemukiman warga di wilayah sekitar Sukabumi. Kemungkinan besar segerombolan monyet itu kelaparan, karena tidak menemukan makanan di habitat asalnya (Beritasatu.com, 06/05/2018).
Sebenarnya masih banyak kasus lain, tapi beberapa fakta diatas cukup mewakili gambaran, betapa sangat memperhatinkan kondisi yang menimpa kelangsungan hidup hewan saat ini.
Akar Permasalahan
Pemburuan dan perusakan lingkungan, khususnya wilayah hutan sebagai habitat alami hewan, adalah salah satu faktor penyebab munculnya permasalahan. Dengan dalih materi, mereka hanya berorientasi pada uang dan keuntungan, tanpa mempertimbangkan resiko kedepan. Semua jenis hewan diincar. Selama ada pesanan, mereka tidak segan melakukan pemburuan. Walaupun termasuk hewan langka yang dilindungi atau yang diharamkan agama untuk dipelihara. Terlebih bila mengantongi surat izin pengelolaan hutan lindung. Seakan mereka bisa leluasa ‘bekerja’. Padahal, dalam kajian kebijakan pengelolaan hutan lindung disebutkan, bahwa permasalahan hutan lindung di Indonesia sudah sangat kritis. Penurunan luas dan kerusakan hutan sejak 1997 sampai 2002 dua kali lebih besar daripada hutan produksi (Neliti.com).
Luas hutan di Indonesia adalah sebesar 120,35 juta hektar, terdiri dari hutan produksi 66,35 juta hektar, hutan konservasi 20,50 juta hektar. Disebutkan , 75 persen hutan asli Indonesia telah hilang, berarti hanya tersisa 28 persen. Kemudian data Departemen Kehutanan sendiri mengungkapkan, bahwa 30 juta hektar hutan di Indonesia rusak parah, atau sebesar 25 persen (Khofid, 2004). Data-data ini menunjukan bahwa kerusakan lingkungan diakibatkan oleh prilaku manusia, telah mencapai tingkat yang parah. Sehingga perlu dilakukan pendidikan lingkungan untuk mengubah sudut pandang dan perilaku manusia (Irwantoshut.com).
Tumpang tindih kebijakan dalam masalah pengelolaan hutan. Sanksi yang tidak menjerakan para pelaku pemburuan hewan dan perusak hutan, mengakibatkan potensi hidup hewan dan kelestarian ekosistem alam semakin rawan. Maka wajar, bila ada tuntutan, untuk segera mengambil tindakan yang cepat dan tepat. Tapi, apakah itu bisa terealisasi saat ini?
Solusi Islam
Islam sebagai agama yang sempurna, memiliki aturan. Dimana ketika sluruh aturannya dijalankan, maka akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Termasuk didalamnya hewan dan hutan. (QS. Al-Anbiya: 107)
Dalam Islam, hewan memiliki hak-hak yang harus dihormati. Tidak boleh dizolimi dan harus diperlakukan dengan baik. Jika ingin memelihara, penuhilah segala haknya. Memberi makan, minum, dan tempat yang layak. Tidak lupa kebersihan badan, kandang dan kesehatannya.
Kita selaku muslim, tidak boleh menggunakan hewan untuk sesuatu dimana Allah SWT. tidak menciptakan untuk itu. Misalnya, Topeng Monyet. Monyet dipaksa menjadi mesin uang oleh pemiliknya. Sebagaimana kita tahu, proses pelatihannya penuh dengan siksaan. Maka,hal ini haram dilakukan.
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kasih sayang. Kasih sayang terhadap semua makhluk hidup dan tidak hidup. Termasuk saat penyembelihan hewan ternak.Tidak boleh disiksa dengan diikat lalu dipanah, misalnya. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, yang dinukil oleh ibnu Abbas , Rasul saw. bersabda , “janganlah jadikan hewan yang bernyawa itu (sasaran tembak atau panah).”
Dalam sunan a-Nasa’i dijelaskan, Rasul saw. bersabda, “ Barang siapa yang membunuh seekor burung, lantas tidak menggunakan sesuai dengan haknya, niscaya Allah akan meminta atau menanyakan tentang hal itu, dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat. Dikatakan bahwa: Wahai Rasulullah, yang mana haknya itu? Rasul bersabda, “Engkau menyembelihnya, lalu memakannya, dan janganlah engkau memotong kepalanya lantas kau melemparkannya.”
Islam meletakkan kaidah-kaidah, bagaimana bersikap adil dan baik kepada hewan. Karena pada dasarnya, hewan memiliki hak yang sama seperti makhluk Allah lainnya.
Dalam masalah lingkungan, termasuk menjaga kelestarian hutan, ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi yakni, sikap hormat terhadap alam. Di dalam Alquran surat Al-Anbiya ayat 107, Allah SWT. berfirman: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”
Perwujudannya, selain melarang membuat kerusakan di muka bumi. Islam juga memerintahkan kita, untuk menjaga kelestarian lingkungan dan menghormati alam semesta. Mencakup jagat raya yang ada didalamnya termasuk manusia, hewan, tumbuhan, makhluk hidup lainnya serta makhluk tidak hidup. Sekalipun dalam kondisi perang, Islam melarang untuk merusak pepohonan. (dalamIslam.com)
Bertanggungjawab secara moral terhadap alam. Karena manusia dicipatakan sebagai pemimpin di muka bumi, serta secara antologis manusia adalah bagian dari alam. Sesuai dengan firman Allah SWT. dalam Alqur’an surat Al-Baqarah ayat 30, artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesunguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Perlu kita simak dengan baik, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim yang artinya: ”Sayangilah yang ada di bumi niscaya semua yang ada di langit akan menyayangi kalian.”
Islam memberikan solusi yang komperhensif pada seluruh kasus yang terjadi dalam kehidupan manusia. Saat terjadi pelanggaran, Islam memerintahkan kepada penguasa Islam untuk memberikan sanksi yang setimpal terhadap pelaku pelanggaran. Termasuk kasus pemburu hewan dan perusak hutan. Setelah dilakukan pengamatan, akan dilihat apakah pelanggarannya termasuk dalam sanksi hudud atau tidak. Misalnya, bila pemburuan dan perusakan hutan terkategori mencuri. Maka akan dikenakan sanksi potong tangan setelah dipastikan ukurannya telah mencapai batas nisab (4,25 gram emas). (mykhilafah.com)
Bila solusi yang ditawarkan Islam ini diterapkan, insya Allah keberangsungan makhluk hidup, termasuk manusia hewan dan hutan bisa dipertahankan. Wallahua'lam.