Oleh: Rheiva Putri R Sanusi (Muslimah Pembelajar Islam Kaffah)
Saat ini, perfilman di Indonesia sangatlah menjadi salah satu alat yang memiliki pengaruh banyak di tengah masyarakat. Mulai dari pergaulan, ekonomi hingga politik pun kini menjadikan film sebagai bahan untuk bersaing. Mari kita perhatikan Film Hanum dan Rangga (Hanura) dengan Film A Man Called Ahok. Kedua film tersebut memiliki persamaan yaitu: keduanya diangkat dari kisah nyata seorang tokoh; kedua film itu pun sama-sama diangkat dari sebuah novel (buku The Faith and The City karya Hanum dan buku A Man Called Ahok karya Rudi Valinka); dan ditayangkan pada hari yang sama.
Kedua film ini pun menarik perhatian, karena dua tokoh dalam film tersebut memiliki pandangan politik yang berbeda. Ahok adalah mantan kolega politikdan berteman dekat dengan Joko Widodo. Sementara Hanum adalah anak Amien Rais, sosok yang dikenal kritis bahkan cenderung nyinyir terhadap Jokowi. Amien dekat dengan Prabowo Subianto dan bisa dibilang pendukung garis keras capres nomor urut 02 tersebut. Film Hanum & Rangga sebetulnya bakal tayang pada 15 November 2018, tetapi dipercepat. Analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin mengatakan jadwal dipercepat sangat mungkin bermuatan politis: bahwa itu tak lain untuk menjegal popularitas Ahok.
Sungguh terlihat disini adanya persaingan politik dibalik adanya kedua film tersebut baik secara langsung ataupun tidak. Persaingan ini bisa dikatakan tidak elegant, dimana menggunakan film untuk menarik perhatian umat. Hingga salah satu partai dan universitas pun mewajibkan menonton film Hanura, hingga kedua film tersebut dibandingkan banyak penontonnya.
Padahal dalam Islam politik bukanlah persoalan siapa yang menang dan siapa yang berkuasa ataupun popularitas, tapi politik jauh lebih berat dari itu. Dimana menjadi seorang pemimpin dan petugas pemerintah memiliki banyak tugas yang sulit untuk memikirkan bagaimana cara agar rakyat sejahtera. Berfikir politik ialah berfikir level tinggi, tak seperti sekarang rendah sekali. Mencerdaskan umat menggunakan isu-isu yang tidak masuk akal dan tidak berbobot seperti sontoloyo dan genderewo. Padahal yang dibutuhkan umat bukanlah hal seperti ini, tapi bukti untuk bisa melindungi dan mensejahterakan umat tanpa melanggar hukum Syara'.
Entah hingga kapan hal seperti ini akan terus terjadi. Mungkin hal seperti ini akan terus berlanjut hingga pada saatnya hukum Islam diterapkan dalam naungan Khilafah. Karena hanya Khilafah-lah yang bisa menjalankan politik secara baik dan tentunya elegant.
Wallahu’alam Bi Shawwab.