Hadiah NPWP Bagi Wisudawan Mahasiswa

Oleh: Arin RM, S.Si

(Member TSC)

Kebijakan terkait pajak tahun ini mulai  menyasar mahasiswa. Wacana terkait diketahui berita bahwa, Menteri Keuangan (Menkeu) mewajibkan semua mahasiswa di Indonesia memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Tujuannya, supaya bisa menumbuhkan kesadaran untuk membayar pajak (economy.okezone.com, 09/11/2018).  Fenomena ini menunjukkan bahwa mahasiswa mulai serius dipandang sebagai asset yang potensial untuk menaikkan pemasukan pajak.


Fokus lirikan pajak pada mahasiswa ini sebenarnya sudah dirancang beberapa tahun lalu. Situs finance.detik.com (28/03/2016) pernah memuat artikel berjudul “Menristek Dikti Rencanakan Mahasiswa Punya NPWP Sebelum Wisuda”.  Dan tahun 2018 ini, Kemenkeu RI menggandeng lima instansi diantaranya Kemenag, Kemendagri, LIPI, Kemendikbud, serta Kemenristekdikti untuk mendidik dan menumbuhkan karakter sadar pajak sejak dini di lingkungan pendidikan (malang-post.com, 09/11/2018). 


Menjadi sesuatu yang ganjil ketika mahasiswa yang notabenenya adalah masih di dunia belajar sudah harus terbebani NPWP. Sebab jika dengan alasan taat dan sadar pajak, keseharian mereka sudah lekat dengan pajak. Bukankah keseharian mahasiswa sering berbelanja di minimarket? Bukankah barang di minimarket sudah kena PPN umumnya?


Berdasarkan pasal 1 Nomor 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah identitas atau tanda pengenal yang diberikan Ditjen Pajak kepada wajib pajak. Menurut jenisnya, NPWP dibedakan menjadi dua, yaitu: NPWP Pribadi, diberikan kepada setiap orang yang mempunyai penghasilan di Indonesia. NPWP Badan, diberikan kepada perusahaan atau badan usaha yang mempunyai penghasilan di Indonesia (online-pajak.com).


Tentu sangat aneh jika mereka yang baru wisuda kemudian disamakan dengan pekerja berpenghasilan bulanan. Apakah setiap mahasiswa sudah otomatis lulus langsung dapat penghasilan dan usaha?


Keanehan ini adalah bukti nyata betapa konsep kapitalisme dalam ekonomi Indonesia tidak pandang bulu mengambil keuntungan. Siapapun jika memungkinkan bisa dipotensikan sebagai sumber keuangan ya akan dikejar. Sebab keuntungan materi yang berada di kepala. Perkara itu dzalim atau tidak itu urusan belakangan.


Jauh berbeda dengan Islam. Dalam Islam mahasiswa adalah penuntut ilmu yang masuk tanggung jawab negara. Mereka mendapatkan fasilitas belajar bagus dan gratis dari penguasa. Bahkan contohnya adalah Madrasah Al Muntashiriah yang didirikan khalifah Al Muntahsir di kota Baghdad. Pada Sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar. Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara

Mengapa bisa begitu? Sebab keuangan negara surplus. Negara berkonsep ekonomi Islam akan melakukan pengelolaan APBN berbasis syariah. Dilakukan secara mandiri tanpa terpengaruh asing yang mengekang kebijakan lantaran pancingan utang yang membelit.


Formulasi ekonomi syariah akan menjadikan pos penerimaan negara maksimal dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Bukan untuk segelintir elit. Pos itu meliputi zakat;  ghanimah; khumus; fa’i'; jizyah; kharaj; infak, sedekah, dan wakaf.  Selain itu negara juga akan memperbaiki pengelolaan terhadap SDA.  Seandainya kekayaan alam di negeri ini dikeola mandiri berdasarkan ekonomi Islam, maka nilainya sangat fantastis, bahkan mungkin tak perlu memungut pajak. Dari tulisan Dr. Fahmi Amhar yang berjudul “Mencoba Meramu APBN Syariah” di laman jurnal-ekonomi.org (22/04/2010) didapatkan nilai pendapatan dari dari sektor pertambangan minyak, gas, batubara dan mineral logam didapat penerimaan sekitar Rp. 691 Triliun; nilai ekonomis hutan sekitar sekitar Rp 2000 Triliun; dan nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 Milyar atau Rp. 738 Triliun. 


Bisa dibayangkan betapa kuatnya ekonomi Indonesia apabila ditopang oleh APBN syariah. Pendapatan akan sangat melimpah. Maka jika terjadi surplus pendapatan, itulah yang akan digunakan untuk melunasi utang yang tersisa (bukan bunganya). Dengan pendapatan yang hebat seperti ini, otomatis pajak tak akan dijadikan komoditi utama pemasukan negara.


Adapun mengenai pajak, dalam Islam dikenal dengan nama Al-Usyr atau Al-Maks, atau bisa juga disebut Adh-Dharibah, yang artinya adalah: “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak”( Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160). Dalam pandangan Islam, K.H Hafizh Abdurrahman menjelaskan bahwa pendapatan dari pajak termasuk pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat intrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya. 


Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi kaum seluruh Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka Khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya. 


Maka, harusnya fokus penguasa adalah bagaimana mengelola APBN berdasarkan syariah. Jika sumber pendapatan yang disebutkan di atas tidak dapat terlaksana lantaran tidak ada negara berasas Islam, ya itulah yang harus diupayakan. Hanya saja sambil kesana, langkah terdekat bisa dilakukan dari sisi pengelolaan SDA nya. Betapa berlebih nya dana dari pengelolaan SDA jika bisa dimandirikan. Dan tentu mahasiswa tak perlu dapat hadiah NPWP saat wisuda. Sebab negara tak lagi menggenjot pemasukan dengan pajak. [Arin RM]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak