(Oleh Leni Maike S, S.Pd: Konselor Sekolah di Smkn 1 Bukittinggi)
Guru sering dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun sayangnya kepahlawanan guru ternyata tak mampu membuat generasi bangsa menjadi generasi yang merdeka. Merdeka dalam artian terbebas dari berbagai perilaku menyimpang dan kerusakan moral. Banyak hal yang terjadi pada generasi saat ini, mulai dari sikap yang tidak sopan, berbohong hingga pergaulan bebas dan perilaku menyimpang. Menurut BNN jumlah anak indonesia yang menjadi pecandu narkoba mencapai 5,9 juta, 24 persen diantaranya adalah siswa sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas (gosumbar.com). Maraknya kasus LGBT dikalangan remaja, bahkan dari hasil riset yang dilakukan oleh Katherina Welong (Ketua Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia wilayah Sumatera Barat) dibeberapa daerah di Sematera Barat, estimasinya diperkirakan terdapat 14.469 orang perilaku Gay di Sumatera barat, 75 persennya berusia 15-25 tahun (Republika.co.id).
Kondisi tersebut menunjukkan kualitas pendidikan dinegara kita masih sangat jauh dari kondisi ideal. Sehingga tidak aneh jika negara kita termasuk peringkat terendah dalam kualitas pendidikan. Pendidikan karakter yang dicanangkan oleh pemerintah ternyata tak mampu membentuk generasi bangsa menjadi generasi yang berkarakter baik. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi negara, khususnya guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan menjawab segala tantangan global. Khususnya di era revolusi industri 4.0 (RI 4.0) saat ini, dimana cendrung peran manusia tergantikan oleh mesin.
Tantangan zaman saat ini menjadikan peran guru dituntut mampu memenuhi segala kompetensinya. Zaman yang menjadikan teknologi canggih menjadi bagian dari kebutuhan pokok, ternyata memberikan banyak dampak pada perilaku generasi. Pilihan untuk menjadi LGBT, hubungan tanpa ikatan pernikahan, perilaku bebas serta orientasi pada karir dan masa depan yang lebih tinggi tumbuh menjadi gaya hidup. Menurut M. Yani, Deputi Keluarga Sejahtera dan Pembangunan Keluarga BKKBN, bahwa perilaku generasi saat ini tidak terlepas dari berbagai media digital dan produk budaya populer yang mempengaruhi gaya hidup remaja Indonesia (m.tribunnews.com).
Sehingga generasi saat ini sangat membutuhkan kepahlawanan guru-guru mereka. Guru merupakan sosok yang menjadi tempat mengadu bagi para remaja disaat mereka menghadapi berbagai persoalan. Tempat mereka membahas persoalan yang mereka hadapi untuk mendapatkan pembelajaran dan pendidikan yang membuat mereka mampu menyelesaikan persoalan dengan cara terbaik. Karena guru adalah sosok yang tampil sebagai model ideal bagi suatu generasi. Guru adalah pelaksana riil dari sebuah sistem pendidikan, yang memberi pengaruh langsung dalam mendidik, membimbing dan mengajar generasi bangsa.
Namun sayangnya, di zaman sekarang guru seperti makan buah simalakama. Bagaimana tidak, jangankan membantu menyelesaikan persoalan generasi, justru guru sedang sibuk menghadapi persoalan mereka yang tak sedikit. Tuntutan kerja terhadap guru yang tak jarang membuat mereka stress, berbagai tugas administrasi yang juga harus mereka kerjakan selain tugas pokok melakukan pendidikan dan pengajaran terhadap generasi bangsa.
Dalam menghadapi kondisi tersebut, seorang guru tetap akan mampu menjadi pahlawan bagi generasi bangsa jika mereka memiliki beberapa sifat sebagai pendidik. Menurut Hafidz Abdurrahman (Membangun kepribadian mendidik umat, 2005) ada beberapa sifat yang harus dimiliki sebagai seorang pendidik yaitu: Pertama, seorang guru harus memiliki sifat kasih sayang. Rasa kasih sayang inilah yang mendorong seorang guru untuk peduli dan membantu generasi bangsa ini untuk menjadi lebih baik. Kedua, sabar merupakan bekal bagi seorang guru dalam membantu persoalan generasi bangsa ini. Sabar dalam menanamkan pemahaman yang benar, sabar dalam melatih perilaku yang baik, serta sabar dalam memberikan contoh terbaik. Ketiga, cerdas dalam mendidik. Seorang guru haruslah cerdas, mampu memahami persoalan peserta didiknya serta mampu memberikan solusi terbaiknya. Seorang guru harus cerdas dalam memahami emosi peserta didiknya, memahami karakter dan perbedaan setiap individu peserta didiknya. Keempat, tawadhu’ artinya seorang guru tidak berperilaku sombong, karena kesombongan hanya akan membuat jarak antara guru dan peserta didiknya. Tak ada yang salah jika guru yang duluan menyapa siswanya, memuji kelebihan siswanya serta mengucapkan terimakasih atas bantuannya.
Kelima, seorang guru harus bijaksana dalam mendidik peserta didiknya. Seorang guru tidak boleh mudah terpengaruh, apalagi langsung memperlihatkan emosi negatif saat menghadapi siswanya yang berperilaku tidak baik. Bijakana dalam menyikapi persoalan siswanya dengan fokus pada perbaikan dari sikap tersebut. Keenam, seorang guru harus yakin dengan tugasnya sebagai pendidik generasi bangsa. Karena jika menjadi guru hanya sebatas untuk mencari uang atau status, maka cendrung seorang guru hanya transfer of knowledge (transfer pengetahuan). Padahal tugas sebagai guru lebih dari itu yaitu mendidik yang merupakan kontribusi mental dan spiritual. Menjadi guru adalah tugas yang mulia, jika tugas tersebut dijalankan dengan landasan keimanan maka hal itu akan menjadi amalan dunia akhirat. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda: “Sungguh Allah SWT, para Malaikat-Nya, serta semua penghuni langit dan bumi termasuk semut dalam lubangnya dan ikan-ikan, sungguh semuanya mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang mengajarkan ilmu pada manusia.” (HR. Tirmidzi)
Jika sifat-sifat tersebut dimiliki oleh seorang guru, maka guru akan benar-benar menjadi pahlawan bagi generasi bangsa ini. Proses pendidikan yang dilakukan guru akan memberi pengaruh besar bagi perbaikan generasi. Namun tugas guru tetap tidak akan optimal jika tidak didukung oleh kerjasama dari semua pihak. Guru hanya salah satu peran dari banyak peran yang membentuk karakter generasi bangsa. Kepedulian masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang baik serta sistem pendidikan yang mendukung dengan penerapan kurikulum yang benar juga berperan besar dalam membentuk karakter generasi bangsa. Wallahu a’lam bishawab.