Oleh : Radhiatur Rasyidah, S.Pd.I (Pemerhati Generasi dan Anggota Akademi Menulis Kreatif Kalsel)
"Engkaulah pelita, penerang dalam gulita, jasamu tiada tara ...."
"Saya ingin mengucapkan selamat Hari Guru kepada seluruh guru dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Guru adalah pembangkit inspirasi, memberikan ilmu kepada kita," kata Jokowi di Taman Wisata Alam Punti Kayu, Palembang, Sumatra Selatan, Ahad (25/11/18)
Guru, yang mengajari kita dan anak-anak kita bisa membaca dan menulis.
Guru, yang membantu kita dan anak-anak kita bisa berperilaku baik.
Sepatutnyalah mereka kita muliakan dan do'akan utk kebaikannya.
Jangan sampai kita membuat hatinya bersedih. Bukan hanya ucapan terimakasih yang diberikan kepada mereka, melainkan perlakuan yang membuat mereka merasa dihargai dan dipanuti. Bukan hanya untuk guru yang sudah ASN, melainkan juga yang masih honorer.
Namun apa yang terjadi saat ini ?
Tidak sedikit guru yang merasa lelah saat bertugas dalam proses pembelajaran.
Bagaimana tidak, makhluk hidup yang bernama siswa itu kadang tidak seiring sejalan dengan apa yang diharapkan. Begitu pula halnya ketika menghadapi rekan kerja atau atasannya. Di tambah lagi dalam menghadapi orangtua siswa.
Ada yang mengajar dengan sekuat tenaga, menjalankan amanah dengan lillah, tapi tak dihargai oleh atasannya. Atau dicibir oleh rekan kerjanya.
Ada yang ingin memberikan teguran pada anak didiknya, tapi malah diperkarakan dan berujung penjara.
Dilematis memang, bagaimana guru mau memperbaiki perilaku anak didiknya kalau setiap apa yang menjadi tindakannya selalu menuai pro kontra.
Namun demikian, tak sedikit juga oknum guru yang malah mempertontonkan kemaksiatan dihadapan peserta didik ataupun rekan kerjanya. Santai-santai di kantor, padahal jam mengajar sudah tiba. Pakaian tak menutup aurat secara sempurna, dan lain sebagainya.
Belum lagi gaji yang didapat tak sebanding dengan tetesan keringat yang dikeluarkan, khususnya untuk guru honorer. Miris.
Menurut Pendidik Generasi Haritsan Aminan Lil Islam di Kalimantan, Sri Wahyu Indawati. MPd, “selama ini kacamata pendidikan dalam sistem kapitalisme-demokrasi hanya memandang sebelah mata peran guru honorer. Dengan gaji yang mereka peroleh tidak sebanding dengan jasa mereka yang tanpa pamrih, untuk meningkatkan intelektualitas dan membentuk akhlak mulia pada peserta didik,” katanya sebagaimana ditulis Pontianakpost.com.
Itulah apresiasi rezim sekuler terhadap guru tak sebanding dengan jasa mereka mendidik generasi. Apresiasi hanya sebatas janji dan basa-basi.
Dibandingkan pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab, Beliau memberikan gaji pada guru masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Luar biasa penghargaan untuk seorang yang berfrofesi guru.
Guru dihargai karena idealismenya, karena ketakwaannya, dan ia mempunyai prinsip kebenaran yang bersumber dari syari'at Allah, inilah idealisme yang sesungguhnya.
Ia juga harus menyadari betul bahwa profesi yang ia jalankan saat ini pasti akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah dikehidupan yang kekal kelak.
Dia tidak pernah terfikir untuk memisahkan antara ilmu dunia dan akhirat, karena ia memahami bahwa ilmu dunia adalah untuk kemudahan hidup di dunia, sedangkan ilmu akhirat adalah agar hidup kita menjadi benar dan terarah dengan petunjuk yang benar sesuai syari'at.
Dan guru seperti inilah yang layak untuk digugu dan ditiru.
Jelas, guru akan sejahtera hanya dalam sistem pendidikan Islam yang memiliki kebijakan terbaik atas guru mengingat posisi strategisnya sebagai pencetak generasi masa depan.
Sistem pendidikan Islam hanya ada ketika Islam diterapkan secara kaffah dengan di pimpin oleh seseorang yang bertakwa pada Allah dan berani, hingga penerapan syariat Islam secara menyeluruh dapat terwujud.
Wallahu a'lam.
(Selamat Hari Guru Nasional, 25 November 2018)