Oleh: Ika (Ibu Rumah Tangga)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperbolehkan bank syariah memakai dana non halal untuk kemaslahatan umat. Hal itu diputuskan dalam rapat pleno Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI di Ancol, Jakarta, pada Kamis (8/11) yang dipimpin Ketua MUI yang juga menjadi cawapres nomor urut 01 Ma'ruf Amin. "Dana non halal wajib digunakan dan disalurkan untuk kemaslahatan umat dan kepentingan umum yang tidak bertentangan dengan prinsip syariat," ujar Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Dana nonhalal yang dimaksud MUI adalah segala pendapatan Bank Syariah yang bersumber dari kegiatan yang tidak halal. Contohnya pendapatan berupa denda saat nasabah terlambat mengembalikan pinjaman. Lalu pendapatan dari kegiatan menjual produk, seperti makanan dan minuman halal, dll. Adapun bentuk-bentuk penyaluran djiana nonhalal yang boleh seperti sumbangan untuk penanggulangan korban bencana, penunjang pendidikan seperti masjid dan musala, fasilitas umum yang memiliki dampak social,dll.
Sebagai seorang muslim berpegang pada hukum syariat tentu merupakan sebuah kewajiban. sebgaimana yang Alllah SWT tegaskan dalam Al Qur’an surat An Nisa ayat 105 yang artinya “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.
Dari pertanyaan tersebut tersirat dua topik terpisah. Pertama, hukum tentang perolehan uang yang berasal dari piendapatan non halal seperti riba dan yang sejenisnya. Kedua, apakah penggunaan harta yang berasal dari aktivitas pertama dibolehkan jika digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat?
Mengenai perolehan harta melalui aktivitas non halal riba misalnya, keharamannya telah jelas an tidak perlu diperdebatkan lagi. Allah Swt. berfirman yang artinya: Allah telah menghalalkan jual-beli, dan mengharamkan riba. (QS. al-Baqarah [2]: 275). Transaksi riba itu lebih dari tujuh puluh macam jenisnya (sesuai penjelasan hadis Rasulullah saw.). Salah satunya adalah riba ‘bunga bank’. Allah Swt. Juga berfirman: Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil. (QS al-Baqarah [2]: 188). Artinya, janganlah kalian mengelola dan memperoleh harta kekayaan melalui jalan yang batil, yaitu jalan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Harta yang diperoleh melalui jalan yang batil antara lain adalah harta hasil perjudian, hasil pencurian, hasil perampokan, hasil pemalakan, hasil suap, hasil korupsi, hasil penggelapan, dan sejenisnya; atau hasil dari aktivitas ekonomi/perdagangan yang di dalamnya mengandung unsur penipuan, gharar, dan ketidakjelasan (majhul). Sebab, semua perolehan itu tidak disyariatkan.
Menjadi jelas bahwa menggunakan dana pendapatan dari aktiitas non halal adalah haram hukumnya. disisi lain seharusnya MUI yang di dalamnya menjadi wadah para ulama yang ada di Indonesia berada di posisi untuk membimbing umat kejalan ketaatan kepada syariat. Bukan malah membenarkan kebijakan penguasa yang bertentangan dengan aturan syariat.
Di sisi lain penerapan sistem kapitalisme sekularisme yang ada dinegeri ini membuat masyarakat dengan mudah menerima apa saja yang dianggap menguntungkan bagi mereka. Tentu sangat berbahaya fatwa ulama semacam ini ditengah masyarakat yang bebas dan memandang sesuatu dengan standar untung rugi bukan halal dan haram. Karenanya ulama perannya begitu vital ditengah pusaran arus umat yang tidak paham tentang kewajiban terikat dengan aturan syariat Islam. Karena itu ulama seharusnya menjadi pewaris Nabi untuk menjelaskan dan mengawal umat agar terikat dengan aturan Islam.
Wallahu’alam Bi Shawwab