Eksistensi Elit Politik Di Alam Demokrasi


Oleh: Yanyan Supiyanti A.Md

(Member Akademi Menulis Kreatif)


Pertarungan dua kubu elit politik tampak terlihat jelas dengan dirilisnya dua film pada hari yang sama, kamis, tanggal 08 November 2018, yakni film Hanum dan Rangga: Faith and The City (selanjutnya disebut Hanura), dan film A Man Called Ahok.


Dilansir oleh Tirto.id, pada tanggal 11 Oktober 2018, kedua film tersebut menarik untuk dibandingkan, sebab keduanya punya kesamaan: 1.) sama-sama berasal dari kisah nyata, yakni: berbicara tentang pergulatan batin setelah pernikahan terjadi, antara Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra (film Hanura); fokus ke masa kecil Ahok di Belitung Timur hingga awal kariernya di dunia politik (film A Man Called Ahok); 2.) sama-sama bersumber dari novel (buku The Faith and The City karya Hanum Salsabiela Rais dan buku A Man Called Ahok karya Rudi Valinka); 3.)sama-sama diangkat ke layar lebar; 4.) tampil di bulan yang sama; dan 5.) direncanakan diputar pada hari yang sama.


Walaupun ada Partai Amanat Nasional (PAN) yang meninstruksikan kadernya menonton film Hanura, dan begitu juga Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), rektor kampus langsung memberikan instruksi serupa. Sesuai data Filmindonesia.co.id pada senin (12/11/2018) pukul 15.04, film Hanura telah meraih 201.378 penonton. Meski telah melakukan pergerakan massa, tapi film Hanura tetap saja kalah dari film Ahok, yang kini meraih 587.747 penonton.


Dua film ini semakin menarik dibandingkan, karena faktanya dua tokoh utama punya pandangan politik yang bersebrangan. Ahok adalah mantan kolega politik dan berteman dekat dengan Joko Widodo. Sementara Hanum adalah anak Amien Rais, sosok yang dikenal kritis bahkan cenderung  nyinyir terhadap Jokowi. Amien dekat dengan Prabowo Subianto dan bisa dibilang pendukung garis keras capres nomor urut 02 tersebut. Hanum Rais sendiri terjun ke dunia politik lewat partai PAN dan nyaleg sebagai anggota DPRD DIY dengan dapilnya di Sleman Timur atau dapil 6 DIY. Tak hanya sosoknya yang "politis", pergeseran jadwal penayangan Hanura juga dianggap sebagai taktik yang politik banget.


Sedianya Hanura baru akan tayang pada 15 November 2018, sebelum digeser ke 08 November 2018. Pas banget dengan jadwal tayang A Man Called Ahok. Pergeseran jadwal tayang ini dianggap sebagai upaya menahan laju kepopuleran film A Man Called Ahok. Implikasinya, ini adalah kontestasi politik yang mengambil ranah layar lebar.


Kedua film tersebut, tokoh pusatnya sama-sama bersinggungan dengan dunia politik, meski berbeda pandangan.


Ini bukti begitu bobroknya perilaku elit politik di alam demokrasi dalam mempertahankan jabatan dan kedudukannya dengan menghalalkan segala cara.


Elit politik saat ini, cara berfikirnya rendah, jauh dari pemikiran politis, hanya sebatas pemenuhan urusan kantong dan perut serta untuk pemenangan pihak tertentu saja. Politik pencitraan yang miskin prestasi, pelayanan terus dilakukan untuk membodohi rakyat demi menjaga eksistensi mereka dalam demokrasi. Janji manis politik terus dinyanyikan untuk menutupi track record kebijakan (sontoloyo) sebelumnya. Tiap lima tahun rakyat tertipu lagi dan lagi.


Politik (genderuwo) menebar teror dijalankan untuk menjaga para pendukung tak lari ke kubu lawan sekaligus menakut-nakuti kubu lawan.


Para politisi ulung yang dibina dengan karakter pemikiran yang khas, hanya dengan Islam.


Para politisi yang memiliki pemikiran cemerlang dan level berfikir yang tinggi, tak akan lahir dari sistem yang rusak dan merusak (baca: demokrasi). Melainkan lahir dari sistem Islam yang agung dan luhur. Di mana itu hanya terdapat saat Islam tegak dalam sebuah institusi negara dengan sistemnya yang terintegrasi satu dengan yang lainnya, yakni Khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Wallahu a'lam bishawab.[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak