Oleh: Ai Nuryani (Ibu Rumah Tangga)
Pada hari kamis, 8 November 2018, DewanSyariah Nasional (DSN) MUI yang di pimpin oleh ketua MUI (yang juga menjadi Cawapres nomor urut 01) Ma’ruf Amin mengadakan rapat pleno.Dalam rapat Pleno itu di putuskan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperbolehkan bank Syariah memakai dana nonhalal untuk kemaslahatan umat. Dana nonhalal yang di maksud MUI adalah segala pendapatan Bank Syariah yang bersumber dari kegiatan yang tidak halal.
Menurut ketua komisi Fatwa MUI Hasanuddin, dana nonhalal tersebut bisa didapat dari pendapatanberupa denda saat nasabah mengembalikan pinjaman, serta menjual produk seperti makanan atau minuman halal. masih menurut beliau, dana teraebut bisa disalurkan untuk kepentingan umat, misalnya penanggulangan bencana alam dan pembangunan sarana dan fasilitas umum seperti mesjid dan musholla.
Fatwa MUI punmenyebut bahwa dana nonhalal tidak boleh dihitung dan digunakan sebagai keuntungan perusahaan Bank Syariah. Hasanuddin menjelaskan selama ini Bank Syariah melakukan penyaluran dana nonhalal dengan kebijakan sendiri tanpa landasan pertimbangan ulama.
Dalam masalah ini para intelektual dan ulama Modernis mempunyai pendapat yang berbeda-beda.Tergantung dari sudut pandang mereka, ada segolongan dari mereka yang mengharamkan karena bunga bank tersebut di pandang sebagai riba, tetapi sebagian yang lain menghalalkannya.Padahal sudah jelas bahwa makna riba itu adalah riba yang di lakukan oleh semua bank yang ada dewasa ini dan tidak ada keraguan lagi tentang kebenarannya.Alloh swt berfirmanyang artinya:
“Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS Albaqarah ayat 275)
Ayat ini sudah menjelaskan bahwa riba jelas haram, termasuk memakan dan mengelola harta riba. Namunkesepakatan MUI telah menghalalkan menggunakan harta riba untuk kemaslahatan umat. Kesepakatan ini jelas bertentangan dengan hukum syara. Harta yang diperoleh dari jalan bathil tidak boleh di kelolaatau di makan, telah dijelaskan dalam Al-Qur’an yang artinya :
“Janganlah sebagian dari kalian memakan harta sebagian yang lain,di antara kalian dengan jalan yang bathil”. (QS Al-baqarah ayat 188).
Seharusnya halal atau haramnya sesuatu tidak diukur berdasarkan adanya maslahat atau adanya mafsadat pada suatu perkara menurut akal manusia. Melainkan didasarkan pada teks-teks dan nash yang tertera pada Al-Quran atau As-sunnah. Yang berhak menghalalkan atau mengharamkan sesuatu hanyalah Alloh dan rasul Nya, bukan akal,pikiran,dan hawa nafsu manusia.Jadi harta yang diperolehan dari aktivitas riba tetap keharamannya.Tidak boleh diambil apapun penggunaannya dan keperluannya.
Namun faktanya negara kita mengemban sistem sekuleris-apitali yang memutuskan segala perkara dengan hanyamempertimbangkan kemaslahatansaja,dan itu jelas bertentangan dengan Syariat islam. Mirisnya pemikiran seperti ini bukan hanya menjangkiti para politikus, tapi juga kalangan ulama. Untuk itu hanya sistem islam yanv mampu melahirkan para ulama yang faqih, yang mampu menggali hukum yang sesuai dengan nash-nashsyariat islam. dan itu hanya bisa terwujud jika kita menerapkan syariah Islam dan menegakkan khilafah.
Wallah a'lam bi ash shawwab.