Oleh : Sunarti PrixtiRhq
Berbakti pada orang tua. Prinsip yang seharusnya dimiliki oleh seorang anak.
=================================
Cahaya Surya menembus dedaunan hijau berembun. Menerobos jajaran pepohonan di samping gubug reotku. Kokok ayam jantan bersahutan menyertai semburat keemasan, menerangi ufuk barat. Dingin malam tersisa menusuk kulit lembutku. Basah kaki telanjangku oleh embun di atas rerumputan di halaman.
Pagi ini, anganku melayang pada masa lalu bersama Ibuku. Sesosok bijak yang selalu menyayangi dan mengasihiku. Memberikan segala perhatian yang tertumpah kepadaku.
Lekat di benak ini tatkala Beliau tiba-tiba terjatuh dan tak sadarkan diri. Tatkala kami selesai menunaikan shalat Magrib di Mushala keluarga. Temaram lampu tiadalah begitu jelas menerangi wajah ibuku, yang ternyata sudah pucat pasi. Segera kurangkul dan kugendong dengan tangan kekarku ke arah tikar di depan televisi kami.
Ayahku tergopoh dari serambi rumah. Karena Beliau masih berbincang beberapa saat dengan para jamaah di Mushala, sehingga Beliau belum masuk rumah.
"Ada apa Riri?" tanya ayahku.
"Ini Ayah, Ibu tiba-tiba pingsan," jawabku sambil mengusap wajah Ibuku. Kurasakan basah keringat dingin di wajah lembutnya. Goresan cantik masih tersisa di wajah tuanya.
"Innalillah. Periksa nadinya Ri!" perintah ayahku sembari mengambil minyak kayu putih di almari tempat televisi. Segera Beliau buka tutup minyak dan dituang di tangan kanannya. Beliau usap kaki ibuku dengan minyak kayu putih di tangannya. Tubuh ibuku yang masih berbalut mukena, Beliau buka bagian perutnya, lantas Beliau usap dengan minyak di tangannya.
"Bune, bangun Bune! Masyaallah, kamu kenapa Bune?" kata Ayahku. Suaranya terdengar seolah tercekat. Kulihat sekilas wajah sayu Ayahku, tersirat dalam guratan kisutnya. Tampak gugup mendapati orang yang dicintainya tiada merespon.
Aku sibuk melonggarkan mukena di wajah Ibuku. Sesekali aku letakkan tanganku di bawah hidungnya. Memastikan napas ibuku, yang dengan itu aku berharap masih berasa angin hangat dari lubang hidung Beliau. "Ah, Ibu, bangunlah," kataku dalam hati. Sambil sesekali aku cek pembuluh nadi di tangan kanan Beliau.
Kami berusaha menyadarkan ibu dengan segenap kemampuan kami. Dan setelah kami tunggu lima belas menit, Beliau tiada terbangun. Maka Ayahku memutuskan untuk dibawa ke Rumah Sakit. Aku segera berlari ke rumah Pak Dheku, yang jaraknya sekitar tiga ratus meter. Sekuat tenaga aku berlari agar cepat sampai di rumah Pak Dheku.
Segera kuketuk pintu rumah Beliau. Tak lama menunggu, Pak Dhe menemuiku. Segera kujelaskan maksud kedatanganku. Tak perlu kutunggu lama juga, Pak Dheku segera masuk ke dalam rumah dan kembali lagi dengan memabawa kunci mobilnya. Kami berduapun segera menuju garasi yang berada di dalam rumah, dan Pak Dhe segera melajukan kendaraannya menuju rumahku.
Aku tak kuasa menahan tangis. Tapi sebagai laki-laki ada sesuatu yang membuatku merasa tidak perlu aku meneteskan air mata. Ah, tapi ini ibuku, bagaimana kalau terjadi sesuatu dengannya? Aku rasanya belum siap ketika musti kehilangan Beliau. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, aku hanya berdiam sambil kulantunkan doa dalam hatiku. Dan ternyata, tetes air mata tiada bisa kutahan.
Kulafalkan dzikir sepanjang jalan menuju rumah sakit. Tubuh Ibuku yang lemas kudekap dalam dadaku. Rasa dingin menyeruak dalam, hingga tengkukku, tatkala aku melihat wajah Ibuku semakin pucat dan tubuhnya semakin dingin. Aku kembali mengecek napas dan nadinya dengan tangan kiriku. Rasa tenang sedikit merayap, ketika napas dan nadinya masih tertaur.
"Alhamdulillah," batinku berkata.
Sesampai di rumah sakit Ibuku mendapatkan perlakuan sebagaimana mestinya. Pemeriksaan dan penanganan dari para ahlinya. Mulai dari perawat hingga dokter spesialis. Betapa terkejutnya kami saat berita dari dokter spesialis mengatakan, bahwa ada tumor di kepalanya. Dan itu sudah besar sehingga mengganggu beberapa bagian syarafnya. Dan satu -satunya jalan, harus dioperasi. Kami terima semua keputusan dari tenaga ahli, demi kebaikan Ibu. Dan operasi bedah kepala dilakukan. Serta dinyatakan berhasil oleh dokter ahli.
Sejak saat itu, aku tersibukkan dengan urusan ibuku. Sebagai anak semata wayang, aku berusaha maksimal merawat Beliau, untuk waktu yang lama. Hampir satu bulan Ibuku berbaring di ranjang rumah sakit. Aku dan Ayahku bergantian menjaga Ibuku di rumah sakit, hingga suatu saat dinyatakan boleh pulang oleh pihak rumah sakit.
Namun, kesabaran kami diuji dengan kondisi Ibuku yang ternyata tidak bisa pulih seperti sedia kala. Ibuku tak bisa berjalan. Sehingga kami musti merawatnya di atas kursi roda. Selain itu Beliau juga mengalami kesulitan berbicara, sehingga kami juga harus bersabar dalam melayaninya. Bahasa isyarat Beliau gunakan saat meminta makan, minum atau kebutuhan yang lain, dan itu menjadi pengantarku dan Ayahku merawat Beliau.
Bagai jatuh tertimoa tangga. Sungguh satu hal yang waktu itu juga tidak pernah aku duga, yaitu pembatalan rencana pernikahan sepihak dari calon istriku. Betapa suasana saat itu sangat membuatku limbung.
Yah, memang pada saat Ibuku tiba-tiba jatuh sakit, seminggu sebelumnya aku mengkhitbah seorang akhwat. Indah namanya. Kami sudah sepakat bahwa dua bulan lagi kami melangsungkan ijab kabul.
Sebenarnya rencana itu aku sudah persiapkan sambil merawat Ibuku sepulang dari rumah sakit. Surat-surat yang dibutuhkan untuk menikah, semua aku telah siapkan. Termasuk biaya untuk walimah, aku juga persiapkan. Meskipun kami cukup banyak menguras kantong untuk biaya Ibuku opname, Alhamdulillah, atas izin Allah, ada rizki dari hasil panen kebun jagung kami. Hingga cukup untuk walimah sederhana.
Siang itu, rasa tertampar seolah masih terasa panas di pipiku. Benar-benar peristiwa yang membuatku sangat shock. Meskipun secara pemahaman, tentang jodoh, rizki dan ajal sudah aku pelajari, namun tatkala mengalaminya, ternyata aku juga perlu untuk meredam naluriku.
Lekat, dan masih sangat lekat dalam ingatanku, Indah berlaku tidak makruf padaku. Saat itu aku hanya mampu berucap "Astagfirullah." Saat Indah datang menjenguk Ibuku, sekaligus dia batalkan rencana pernikahan kami.
"Ibu, Ibu semoga cepat sembuh, ya!" kata Indah sambil mengusap tangan ibuku. Dibalas seulas senyum di bibir Ibuku.
"Indah pulang dulu," lanjut Indah sembari mencium dengan santun di tangan Ibuku.
"Ri, aku perlu bicara sebentar ya! Antar aku sampai serambi depan," kata Indah seolah berbisik di depanku. Dia berlalu dari hadapan Ibuku, Indah berjalan pasti menuju serambi rumahku. Kuikuti Indah di belakang langkahnya. Kaki kami menapaki lantai tekel dingin di rumahku. Serasa senyum Indah sedingin kakiku yang menyentuh lantai. "Ada apa ya? Apa aku grogi saja dengannya?" batinku berucap.
"Ayo, Ri! Cepat sedikit!" tiba-tiba kakak laki-laki Indah seolah menghardikku. Aku tak sadar jika sedari tadi ada langkah lain di belakangku.
"Ah, mungkin aku gugup saja," masih dalam batin aku berkata.
"Iya, Kak," sahutku agak gugup.
Sampai di serambi rumahku, Indah balik badan dan mukanya tampak merah padam. Segera kutundukkan pandanganku seketika itu juga. Berdesir dada ini melihantnya. "Astagfirullah," kembali kumemohon ampun dalam hati atas rasa ini. Kupendam, kutahan gejolak kelelakianku. "Astagfirullah, astagfirullah," masih terus kuberistigfar.
"Ri, rasanya aku tidak bisa, kalau nantinya aku harus mengurus Ibumu. Kondisinya sekarang seperti itu," kata Indah tiba-tiba.
"Duduk dulu, Dik," kataku agak gugup. Karena merasa kaget, aku sempat tercekat beberapa saat. Aku berusaha menenangkan diri. Sementara kakak Indah nyelonong begitu saja ke motornya di halaman rumahku. Dengan nyaman duduk di atas jok motor besarnya. Wajahnya terasa dingin dan acuh.
"Ah, tidak itu asumsimu, Ri," kata hatiku.
"Tenang, Dik! Ada apa? Jelaskan dulu maksud dari perkataanmu!" kataku berusaha tenang. Kuambil kursi kayu di dekatku dan mempersilahkan Indah duduk dengan bahasa isyarat dari tanganku.
"Sudahlah, aku sudah selesai bicara. Aku tidak perlu duduk!" kata Indah dengan tegas. Aku kaget bukan kepalang. Tidak pernah kuduga jikalau Indah seketus itu. Dari taaruf kami beberapa bulan lalu, tidaklah ada rekomendasi dari teman-temanku, jikalau Indah berperangai seperti itu.
"Mas Riri, maafkan saya. Sepertinya rencana pernikahan kita, harus batal. Aku tidak bisa membayangkan kalau harus mengurus Ibu, Mas," agak datar kali ini perkataan Indah.
Sementara aku terdiam, memikirkan apa yang harus aku jawab. "Ndah, bukankah Ibuku itu nantinya Ibumu juga? Bukankah itu kewajiban kita sebagai anak untuk merawat Beliau?" kataku berusaha menenangkan diri agar perkataanku tidak menyakiti hatinya. Meski hawa panas audah menjalar dari dada hingga naik ke leher belakang dan sampailah di telingaku.
"Iya, aku tahu. Tapi aku mau kita hidup mandiri, tanpa beban orang tua. Tinggal berdua dan bersama anak-anak kita," katanya lagi. Masih dengan nada datar. Tapi terasa ada sesuatu yang berat di dadanya yang berusaha dia simpan. Entah raut mukanya seperti apa, aku hanya memandang jauh ke halaman rumahku. Hatiku berkecamuk, benarkah ini Indah, calon istriku? Rasa tak percaya aku simpan dalam diam.
Tiba-tiba Indah berkata dengan ketus, "Dah Ri, begini saja, kamu pilih Aku apa pilih Ibumu. Kalau memilih Aku, berarti setelah menikah kita tinggal bersama di rumah baru kita. Ayahku sudah membelikan rumah untuk kita. Dan itu berarti Ayahmu yang merawat Ibumu sendirian. Kalau kamu memilih tetap merawat Ibumu, itu artinya tidak ada pernikahan denganku, Ri."
"Astagfirullah. Jangan bicara begitu Ndah, itu tidak baik. Jangan berikan aku pilihan yang seperti ini. Kamu tahu aku anak tunggal, Ndah. Dan kewajibanku merawat Ayah dan Ibuku. Berarti itu nanti juga kewajibanmu juga sebagai istriku, menantu mereka," jawabku sedikit kutinggikan nadaku.
"Tidak. Aku sudah memutuskan untuk tidak jadi menikah denganmu. Apapun alasanmu, aku tetap punya prinsip, aku mau hidup mandiri, tanpa terbebani orang tua. Apalagi, Ibumu yang sudah seperti itu, berati Aku musti merawatnya seperti merawat bayi. Lantas kapan aku merawat anak-anakku nanti?" kata Indah ketus.
"Tidak, Ri. Aku batalkan saja kithbah darimu. Sebelum terlanjur. Aku akan memilih pria lain. Kamu cari akhwat lain saja, yang siap menjadi perawat pribadi Ibumu," kali ini tidak kalah ketus kalimat Indah. Sambil kulirik mukanya yang ternyata sudah memerah pipinya.
Dia pergi begitu saja menunggalkanku yang masih termangu. "Astagfirullah," kuucap lirih di bibirku. Dadaku serasa sesak menahan semua. Kembali kuulang istigfar, kuulang dan kuulang dengan lirih. Kutatap dua orang kakak beradik itu bersiap pergi dengan motor besarnya. Sambil kuberanjak duduk di kursi kayu yang sedari tadi aku jadikan penopang tanganku. Tak sadar air bening menetes di hidungku. "Astagfirullah," kuusap segera setetes air yang jatuh dari sudut dalam mataku. Kutahan yang hendak jatuh menyusul denagn mengulang kalimat ampun pada Rabbku.
Aku laki-laki, pantang menangis kalau soal wanita. Tapi ini sudah menyangkut wanita yang selama ini kucinta. Indah? Bukan. Ibuku.
Tetiba bergelut anganku dengan keberadaan dua wanita itu. Pilihan yang berat. Ah, bukan, ini pilihan yang gampang. Sebelum mengenal Indah, Ibukulah wanita yang kucinta. Posisinya tidak akan tergantikan dengan wanita lain, meskipun itu calon istriku. Beliau sudah merawatku sejak dalam kandungannya. Bagaimana mungkin aku membandingkan dengan wanita yang batu kukenal. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Beliau demi cinta pada wanita yang tidak mau merawat Beliau.
"Tunggu, Kak!" kataku seketika. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu menoleh ke arahku. Pandangan mata elangnya menghujam mataku tembus relung dadaku. Aku seolah bergidig dengan kondisi ini. Ah, tidak, aku tidak boleh mengalah. Aku akan tetap memilih Ibuku.
"Kak, benarkah ini keputusan dari keluarga Kakak?" kataku berusaha menahan gugup.
"Ya. Dan semua terserah kamu. Batal atau lanjut," kata pria itu maaih di atas motornya. Kuberpikir tidaklah begitu aopan membicarakan ini di atas motor.
"Mari, Kak, Ndah, kita bicarakan di dalam rumah," kataku memohon. Bukan apa-apa, tapi lebih kepada upayaku menghormati mereka. Ini soal penting, bukan soal anak ingusan yang sedang memutus cintanya.
"Tidak, Ri. Kamu piluh saja, Adikku apa Ibumu," ketus lelaki itu berkata masih dengan pandangan mata tajam.
"Masyaallah, Kak. Tidak baik berbicara hal ini di sini, Kak. Ayo masuk!" kataku masih berusaha tenang.
"Sudahlah, Ri, pilih saja! Jangan pengaruhi kami dengan rengekan anak kecil itu. Aku mulai tiada kuasa menahan amarah. Kulihat Indah juga tanpa respon di atas motor Kakaknya.
"Aku pilih Ibuku, Kak. Maafkan. Dan semoga aku dapat pengganti akhwat yang mau dengan Aku dan juga mau dengan Ayah dan Ibuku. Apapun kondisi mereka berdua," kataku. Tak terasa nada ketusku mucul juga, yang sedari tadi aku tahan.
Merekapun berlalu tanpa sepatah katapun. Hingga suatu ketika kudengar kabar pernikahan Indah dengan seorang pria kaya raya, tak berselang lama setelah peristiwa itu. Sebenarnya, aku tidak berpangku tangan atas kejadian saat itu. Aku berusaha menemui keluarganya, namun selalu kudapati rumah yang tanpa penghuni. Kuhubungi teman-teman yang mengenalkanku dengan Indah, namun hasilnya sama, tidak ada kabar dari Indah.
Yaa Allah, Yaa Rabb, inilah caramu menjaga cintaku pada Ibuku. Kau berikan pilihan yang berat. Tapi juga Kau berikan petunjuk yang jelas. Saat ini Indah belum Kau jodohkan denganku, semua demi aku, agar bisa menemukan wanita yang bisa merawat Ibu dan Bapakku.
Ngawi, 22 November 2018