Oleh: Sri Roesmiani
(Akademi Menulis Kreatif)
Pertemuan acara tahunan IMF-Bank Dunia terbesar telah digelar di Bali pada tanggal 8-14 Oktober 2018. Acara ini terselenggara di tengah negeri ini sedang ditimpa berbagai ragam bencana khususnya di Lombok dan Sulawesi Tengah.
Biaya yang dihabiskan untuk menyelenggarakan acara tersebut tidaklah sedikit. Total anggaran yang dialokasikan Rp 855,5 miliar, tetapi pemerintah mengaku telah berhasil menekan anggaran menjadi Rp 566,9 miliar.
Pertemuan itu membahas 8 topik utama yakni: ekonomi digital, urbanisasi, sumberdaya manusia, pembiayaan & asuransi untuk risiko bencana, perubahan iklim, pembiayaan untuk infrastruktur, penguatan moneter internasional serta ekonomi syariah.
Sebagai tuan rumah, negeri ini memiliki isu utama yang disuarakan diantaranya adalah penguatan pembiayaan infrastruktur Indonesia. Di mana Indonesia akan memperjuangkan agar pembiayaan infrastruktur tidak hanya dibiayai oleh APBN namun juga melibatkan pihak swasta.
Selama pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia, Pemerintah menawarkan 80 proyek dari 21 BUMN senilai USD 42 miliar atau sekitar Rp 630 triliun kepada investor. Sebanyak 19 proyek senilai USD 13,5 miliar atau Rp 202,5 triliun (kurs Rp 15.000 per dolar AS) disepakati. (Radarbogor.id,16/10/2018)
Bank Dunia juga memberikan utang kepada pemerintah untuk mendukung proses rehabilitasi dan rekonstruksi bencana di Lombok & Sulawesi Tengah. Chief Executive Officer Bank Dunia, Kritalina Georgieva menyebutkan pembiayaan tersebut sebesar US $ 1 miliar atau setara Rp 15 triliun (kurs Rp 15.000).
Investasi yang dijanjikan untuk negeri ini selama ajang IMF-Bank Dunia dikategorikan sebagai Utang Luar Negeri. Bank Indonesia menyatakan, pada akhir Agustus 2018 total Utang Luar Negeri sebesar US $ 360,724 miliar atau Rp 5410,86 triliun (US $ 1= Rp 15.000). Utang tersebut terdiri dari utang pemerintah dan Bank Sentral (BI) sebesar US $ 181,304 miliar atau Rp 2719,56 triliun (pemerintah sebesar US $ 178,123 dan BI sebesar US $ 3,181 miliar) dan utang swasta termasuk BUMN sebesar US $ 179,421 miliar atau Rp 2691,315 triliun.
Membengkaknya Utang Dalam Negeri maupun Utang Luar Negeri akan membebani pembayaran cicilan pokok dan bunga yang makin tinggi. Pembayaran cicilan pokok dan bunga utang menjadi salah satu alokasi terbesar dalam APBN. Kas negara tersedot untuk bayar utang tiap tahun. Makin besar jumlah utang, jumlah kas negara yang tersedot untuk bayar cicilan utang juga semakin besar. Akibatnya, kapasitas APBN untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat semakin terbatas.
Salah satu dampak yang akan terjadi ketika ULN makin besar maka pembayaran utang baik pokok dan bunganya juga makin tinggi. Pasalnya, mayoritas ULN dalam Dolar. Pasti akan membuat kebutuhan akan mata uang asing khususnya Dolar makin tinggi. Akibatnya, kurs Rupiah akan terdepresiasi (menurun). Melemahnya Rupiah dan makin tingginya Dolar tentu akan membawa berbagai dampak terhadap perekonomian dan kehidupan rakyat secara umum.
Sedangkan dampak terbesarnya adalah gagal membayar utang. Contoh cerita yang mengenaskan adalah:
a. Zimbabwe gagal membayar utang kepada Cina. Sebagai ganti mata uangnya harus diganti menjadi Yuan, sebagai imbalan penghapusan utang.
b. Nigeria. Model pembiayaan infrastruktur melalui utang yang disertai perjanjian merugikan dalam jangka panjang. Cina mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal negara mereka untuk pembangunan infrastruktur.
c. Sri Lanka. Setelah tidak mampu bayar utang, akhirnya pemerintah Sri Lanka melepas pelabuhan Hambatota sebesar US $ 1,1 triliun kepada Cina
d. Pakistan. Pembangunan Gwadar Port bersama Cina dengan nilai investasi sebesar US $ 46 miliar harus rela dilepas.
Itulah risiko-risiko yang mungkin saja terjadi ketika negara-negara gagal membayar utang.
Menurut pandangan Islam utang yang disertai dengan bunga (riba) maka hukumnya haram. Pasalnya utang yang disertai riba itu pasti akan memunculkan risiko terbesar yakni datangnya azab Allah SWT.
Rasul Saw bersabda: "Jika zina dan riba telah tersebar luas di satu negeri, sungguh penduduk negeri itu telah menghalalkan azab Allah bagi diri mereka sendiri." (HR. al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).
Perekonomian yang dibangun diatas pondasi riba tidak akan stabil. Bisa jadi akan terjatuh dalam krisis secara berulang. Sehingga kesejahteraan, kemakmuran dan keinginan rakyat untuk menuju kehidupan yang tenteram akan semakin jauh dan sulit untuk diraih.
Utang Dalam Negeri maupun Utang Luar Negeri harus segera dihentikan begitu juga perekonomian harus dijauhkan dari riba. Agar keinginan tersebut bisa tercapai maka perekonomian harus diatur sesuai dengan syariah Islam. Yakinlah hanya dengan kembali pada syariah Islam keberkahan akan senantiasa dilimpahkan kepada bangsa ini.
WalLahu a'lam bisa ash-shawab.