Oleh:Umi Fia
(Ibu Generasi Peduli Umat)
Kampanye pilpres 2019 mempertaruhkan segalanya. Keterlibatan ulama di anggap memiliki nilai strategis yang mampu mendongkrak suara. Kubu Prabowo menggunakan Ijtima' ulama. Sedangkan kubu Jokowi, tidak tanggung-tanggung, mengusung KH.Ma'ruf Amin sebagai pendamping jokowi. Ke-ulama-an KH. Ma'ruf Amin tentu tak di ragukan lagi, di samping beliau sebagai ketua MUI juga sebagai Rois aam syuriah PBNU.
Perang opini pun tak terhindarkan. KH.Ma'ruf Amin mempertanyakan ke-ulama-an peserta Ijtima' ulama. Apakah mereka ulama betulan? Punya pondok pesantren di mana? Kiainya siapa? Intinya ke ulama an peserta Ijtima' ulama di ragukan.
Akhirnya ramai di bicarakan di masyarakat tentang siapakah yang bisa di sebut ulama'. Yaitu yang bisa di jadikan panutan dan suri tauladan. Karena bagi masyarakat, ulama adalah jabatan sakral. Kesakralannya terletak pada kadalaman ilmunya serta ketinggian ahlaknya. Ulama yang sering melakukan riyadloh puasa, dzikrullah, qiyamul lail, serta ibadah-ibadah sunnah lainnya.
Mempunyai kedudukan tinggi di masyarakat, mereka datang untuk di mintai do'a karena di anggap do'anya mustajab. Bahkan ulama seperti itu di anggap wali Allah. Menjauhkan diri dari kenikmatan dunia, mengutamakan kehidupan akhirat.
Posisi Ma'ruf Amin seharusnya di posisikan sakral seperti itu. Agar kewibawaannya muncul dan daya pikatnya kuat. Akhirnya fatwanya di ikuti. Meskipun beliau tidak dalam kapasitas ketua MUI. Kekuatan KH. Ma'ruf Amin terletak pada ilmu dan kepribadianya. Seharusnya KH.Ma'ruf Amin mampu membangun narasi yang tepat, dalil yang kuat, serta logika yang cemerlang, mengapa harus memilih Jokowi. Kemaslahatan apa yang bisa di dapat jika presidennya adalah Jokowi.
Inilah yang tak di garap oleh tim sukses Jokowi. KH. Ma'ruf Amin justru di lemahkan kepribadiannya. Beliau di hadirkan dalam sebuah acara dangdutan. Dengan penyanyi cantik, meliuk-liuk, hingar bingar,campur baur laki-laki dan perempuan. Dan anehnya sang Kiai tidak keberatan bahkan turut berjoget. Kiai Ma'ruf Amin asyik di goyang penyanyi dangdut di atas panggung dengan menepuk tangannya tampak senang dengan nada musik 'goyang dua jari ' di pelesetkan menjadi ayo pilih Jokowi'. Meskipun jogetnya kurang sempurna. Tampaknya sang Kiai harus mulai membiasakan diri dengan urf PDIP. Di mana ada kampanye di situ ada joget dangdutnya.
Sampai di sini tamatlah KH. Ma'ruf Amin. Beliau tenggelam dalam bobroknya sistem demokrasi, yang mencampur adukkan hak dan batil dan menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Lalu siapa yang layak di sebut ulama? Seorang ulama tak pantas berjoget ria di atas panggung apalagi bersama dengan biduwanita. Inilah khilafan KH. Ma'ruf Amin yang tak mampu mengarahkan pendukungnya pada jalan kebenaran. Jika pendukungnya saja beliau tak mampu mengarahkannya pada petunjuk lalu bagaimana dengan masyarakat indonesia secara luas.
Seorang ulama ketika betul-betul ingin memperbaiki kondisi umat di negeri ini dari berbagai macam problem maka tidak ada jalan lain kecuali mengambil islam sebagai solusinya. Yaitu bagaimana agar sistem islam, sistem yang di buat oleh sang pencipta bisa di terapkan di seluruh negeri. Bukannya malah mengambil sistem demokrasi yang hukum-hukumnya adalah buatan manusia. Sistem demokradi tlah jelas kecacatan, dari sekian banyaknya problem yang tak kunjung terselesaikan. Bukannya mensolusi tapi menambah masalah. Termasuk bisa menghilangkan jabatan sakral seorang ulama. Yang mana ulama dalam sistem demokrasi bukanlah sosok seorang yang mulia dan terhormat.
Berbeda dengan sistem islam. Islam menempatkan ulama sebagai sosok mulia, sebagai pewaris Nabi yang berperan menjaga umat dari kemunkaran, dan sebagai sosok yang ada di baris terdepan dalam aktivitas dakwah dan amar ma'ruf nahi munkar.
Wallahu a'lam bi as-sawab