Oleh: Nor Aniyah, S.Pd
Kabut dalam beberapa hari terakhir masih menyelimuti sejumlah wilayah. Utamanya, pada pagi dan malam hari. Namun, hingga kini belum diketahui seberapa bersih atau tercemarnya kualitas udara akibat pekatnya asap.
Kabid Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (LH) Banjarbaru Aslami mengatakan, pengukuran Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) baru akan dilaksanakan pada bulan ini. Di mana, sebelumnya pihaknya telah menerima surat permintaan pengambilan sampel udara dari Dinas LH Kalsel pada tanggal 21 September.
Dia menjelaskan, angka level udara dimulai dari 0 hingga 500. Jika, indeks 0-50 maka udara dianggap baik. Lalu, 51-100 berarti sedang. Kemudian, 101-199 tidak sehat. Apabila indeksnya 200-299, kualitas udara sangat tidak sehat dan 300-500 masuk kategori berbahaya.
Meski saat ini belum diketahui berapa indeks kualitas udara di Banjarbaru, namun Dinas Kesehatan Banjarbaru telah mencatat bahwa jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) mulai mengalami peningkatan cukup signifikan. Kasusnya sendiri meningkat sejak bulan Juli, dengan ditemukannya 3.805 kasus. Di mana pada bulan sebelumnya hanya 2.867 penderita. Kemudian, bulan Agustus kasusnya kembali bertambah dengan total 3.979 penderita.
Kepala Dinas Kesehatan Banjarbaru Agus Widjaja mengatakan, meningkatnya penderita kasus ISPA dalam dua bulan terakhir kemungkinan besar disebabkan kabut asap. Peningkatan kasus terjadi setiap tahun. Ketika kebakaran hutan dan lahan marak.
Sementara itu, aktivitas penerbangan di Bandara Syamsudin Noor belum aman dari kabut asap. Sejumlah pesawat kembali terganggu saat ingin landing maupun take off dari bandara milik Banua ini. Berdasarkan data dari Bandara Syamsudin Noor, setidaknya ada delapan penerbangan yang terganggu. Lima diantaranya keberangkatan dan tiga lainnya kedatangan (kalsel.prokal.co, 19/09/2018).
Dua hari terakhir, kabut asap kian pekat di Banjarmasin. Terutama pagi dan malam hari. Namun, Dinas Lingkungan Hidup menjamin udara perkotaan belum mencapai status berbahaya. Kasubbid Pengawasan DLH Banjarmasin, Wahyu Hardi Cahyono, jika cenderung meningkat, sebagai langkah antisipasi, akan dikeluarkan peringatan kepada masyarakat.
Dari data stasiun pemantau, Karbon Monoksida (CO) memang sempat melonjak. Menembus angka 2.095 ppm. Tapi angka itu masih dibawah baku mutu 30.000 ppm.Yang patut diperhatikan adalah partikel debu dan asap (PM10). Yang sempat melonjak pada angka 75 ppm. Di mana baku mutu yang ditetapkan pemerintah Indonesia adalah 150 ppm. Dari hasil pengukuran selama 24 jam, udara perkotaan kemudian digolongkan pada status baik, tidak sehat, dan berbahaya. Namun, warga tetap disarankan mengurangi aktivitas di luar rumah. Dan mengenakan masker ketika ada keperluan keluar (kalsel.prokal.co, 18/09/2018).
Bencana kabut asap yang terjadi di Kalsel ternyata juga mendapat perhatian dari DPR RI. Anggota DPR RI komisi II bidang Pemerintahan dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertahanan dan Reforma Agraria, Tuti Nusandri mengaku terganggu dengan adanya kabut asap yang terjadi di Kalsel.
“Akibat kabut asap penerbangannya mengalami gangguan dan kembali lagi ke Jakarta, ucapnya dalam kunjungan kerja komisi II DPR RI ke Pemprov Kalsel, Kamis (20/09/2018).
Asisten satu bidang pemerintahan, Siswansyah yang kali itu menerima kunjungan mengatakan memang di 2018 kejadian bencana kabut asap tergolong lebih besar dibandingkan 2017 lalu. Pasalnya kabut asap timbul karena kebakaran lahan yang berjarak tak jauh dari area bandara. Akibatnya asap tebal menyelimuti bandara. Selain itu dibandingkan tahun lalu, 2018 ini sebutnya hujan sangat jarang turun dengan deras di Kalsel (banjarmasin.tribunnews.com, 20/09/2018).
Kabut asap masih menjadi bencana yang sampai saat ini belum terselesaikan secara tuntas. Bencana kabut asap tiap tahun terus terjadi secara berulang. Wilayah Kalimantan menjadi salah satu yang terdampak kabut asap.
Kabut asap setiap tahun jadi langganan di bumi Kalimantan. Kebakaran hutan dan lahan sumber masalahnya. Efeknya tak hanya mengganggu kesehatan, namun juga menghalangi jarak pandang. Akibatnya produktivitas pun kian terhalang. Siapa yang harus disalahkan?
Negara seolah tak berdaya mengatasi kebakaran lahan yang memicu bencana kabut asap tersebut. Masyarakat pun harus berhadapan dengan berbagai masalah akibat asap pekat. Jarak pandang terbatas, kesehatan terganggu, aktivitas ekonomi terhenti, hingga lumpuhnya sejumlah bandara, disertai batalnya jadwal penerbangan.
Tidak ada asap bila tidak ada api. Meski telah banyak penanganan yang dilakukan oleh pemerintah seperti pembuatan UU dan peraturan tentang Zero Burning, Program 100 kanal blocking dan pemberdayaan masyarakat. Tapi, kabut asap masih berlanjut. Bahkan, titik api terbanyak ada di lahan konsensi perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri yang mendapat perizinan. Di tangan mereka lahan gambut dieksploitasi dan dialih fungsikan.
Kebakaran terjadi karena alih fungsi lahan yang sangat mudah terbakar, dan pemicu kebakaran adalah karena keringnya lahan gambut setelah alih fungsi lahan. Pembakaran hutan untuk penghematan biaya dalam mengelola lahan gambut juga kerap dilakukan oknum individu dan swasta, tanpa melihat dampak terhadap orang banyak. Bencana akibat kebakaran lahan dan hutan menjadi sulit diatasi dalam sistem kapitalis saat ini. Sebab, telah terjadi komersialisasi dan privatisasi sumber daya alam milik rakyat.
Padahal, kesehatan lingkungan merupakan tanggung jawab negara. Upaya preventif akan terus diusahakan untuk mencegah kerusakan lingkungan. Termasuk larangan penebangan hutan membabi buta, karena hutan paru-paru dunia. Aturan yang jelas dan sanksi tegas akan diberlakukan negara. Hingga terjamin kesehatan lingkungan bagi masyarakat.
Menurut sistem Islam, hutan termasuk kepemilikan umum. Sabda Rasulullah Saw: “Kaum Muslim berserikat dalam 3 hal air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah).
Penguasa harus mengelola lahan gambut sesuai dengan karakternya agar tidak menimbulkan bencana dan mencegah rusaknya ekologis hutan gambut. Karena gambut membutuhkan pengelolaan dalam bingkai pelayanan, tidak boleh dieksploitasi. Itu semua tidak bisa dilakukan individu saja, tetapi harus dilakukan oleh penguasa.
Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan negara untuk kemaslahatan rakyat. Negara harus pula membangun kesadaran masyarakat mewujudkan kelestarian hutan. Dengan dikelola penuh negara, tentu mudah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan rakyat dan kelestarian hutan.[]
*) Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi. Berdomisili di HSS, Kalsel.