Oleh : Ummu Safia
Gelar sarjana jamin kesuksesan? Tidak selalu begitu. Saat ini sarjana pengangguran bertebaran bak jamur di musim hujan. Dari berbagai universitas dan jurusan. Ratusan ribu pengangguran keluar masuk perusahaan mengadu nasib dengan membawa selembar kertas bertitelkan sarjana.
Menurut data BPS tahun 2018, hampir 8 % dari total 7 juta lebih sarjana menganggur. Angka ini meningkat 1, 13% dari tahun 2017. Namun menurut Kemenristek Dikti, ditahun 2017 sarjana pengangguran mencapai 8,8%. Jumlahnya mecapai lebih dari 630 ribu orang. Bukan jumlah yang sedikit. (Pikiran Rakyat.com).
Jika dulu kebanyakan buruh migran atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) didominasi lulusan SD dan SMP. Namun sekarang sarjanapun mulai tertarik untuk jadi buruh migran atau TKI. mereka tidak lagi memandang status pendidikan. Motivasi banting setir tersebut pada umumnya dilatar belakangi oleh desakan ekonomi. Misalnya ada yang terbelit hutang piutang sehingga terpaksa harus berangkat kerja keluar negeri untuk memenuhi tanggung jawab tersebut. Tutur Kabid Penta Disnakertrans Sumbawa.
Kondisi demikian memaksa mereka harus melepaskan sementara gelar sarjana yang susah payah mereka dapatkan diperguruan tinggi. Karena pekerjaan yang akan mereka tekuni sama sekali tidak berhubungan dengan latar belakang keilmuan mereka. Mereka bekerja di sektor informal sebagai kuli bangunan dan tukang kebun.
Menurut kamus Bahasa Indonesia Sarjana adalah orang pandai (ahli ilmu pengetahuan). Pemerintah telah menetapkan tanggal 29 September sebagai hari sarjana Nasional. Tujuannya yaitu untuk mengapresiasi keberhasilan sarjana dalam mencapai strata intelektualitasnya. Karena mereka dianggap mampu memberikan sumbangsih bagi kebangkitan suatu bangsa.
Dan siapakah orang Indonesia yang pertama kali meraih gelar sarjana? Dialah Sosrokartono. Kakak kandung Raden Ajeng Kartini. Pada tahun 1897 Sosrokartono berkesempatan belajar ke Belanda dalam rangka politik balas budi Negara Belanda. Beliau menempuh studi di Polytechnicshe School jurusan Teknik Sipil. Dan lulus dalam waktu 2 tahun saja.
Jauh berbeda dengan sarjana saat ini. Mereka harus menempuh pendidikan minimal 3,5 tahun untuk meraih gelar S1. Maksimal 7 tahun, bahkan sampai 8 tahun. Namun apakah pendidikan yang sedemikian lama menjamin mereka dengan mudah masuk ke dunia kerja? Ternyata tidak. Dari fakta-fakta diatas Sarjana tidak jauh berbeda dari lulusan SMP atau SMA. Bersaing ketat demi sebuah pekerjaan. Bahkan ada yang harus mengadu nasib keluar negeri. Tentunya bertaruh jiwa raga.
Berapakah dana yang harus digelontorkan untuk meraih gelar sarjana? Puluhan bahkan sampai ratusan juta. Syukur bagi mereka yang berasal dari kalangan berdasi, uang sebanyak itu tidak jadi masalah. Namun akan jadi masalah besar bagi kalangan menengah kebawah. Atau orang-orang yang untuk makan esok saja mereka harus banting tulang hari ini. Tapi mereka peduli pendidikan.
Pengamatan penulis sendiri mereka harus menjual barang berharga seperti tanah dan hewan ternak. Dengan harapan pengorbanan mereka akan terganti dengan pekerjaan yang lebih baik bagi anak-anak mereka.
Asumsinya dengan pendidikan yang tinggi maka status ekonomi akan meningkat. Akan tetapi kenyataan berbalik dengan ekspektasi. Saat ijazah sudah di kantongi, pekerjaan susah didapat. Setiap hari berjuang menyodorkan ijazah kesana sini. Tapi tidak berbuah panggilan kerja. Bahkan prediket Cum Laude pun tidak menarik perhatian dunia kerja. Mereka yang awalnya diharapkan untuk dapat membangun negeri, malah menjadi bagian persoalan pembangunan negeri. Mirisnya negriku.
Kesulitan sarjana menembus dunia kerja tidak terlepas dari 2 faktor. Yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari sarjana itu sendiri. Ketidak siapan mereka untuk terjun kedunia usaha dan industri menjadi masalah utama. Gelar sarjana hanya sebatas dikertas saja tanpa diimbangi kemampuan intelektual.
Penyebabnya adalah kurangnya pemahaman mahasiswa terhadap materi perkuliahan, menjadikan kegiatan perkuliahan sebagai formalitas semata serta mengabaikan proses perkuliahan. selain itu budaya plagiat masih mengakar dikalangan mahasiswa. Baik dalam pengerjaan tugas maupun skripsi. Sehingga mereka cerdas secara gelar tapi tidak secara intelektual.
Disamping itu Ketidak mampuan mereka untuk bersaing dengan mesin berteknologi canggih menjadi salah-satu pemicunya. “Perguruan tinggi harus mampu menghasilkan sumberdaya yang mampu bersaing secara global”. Ujar Nasir di Kantor Kemenristekdikti, Senayan, Jakarta, Senin 26 Maret 2018.
Faktor eksternal
- Masalah perguruan tinggi
Banyaknya kampus yang masih berpola konservatif dalam mengajar. Menjadi salah-satu penyebab mahasiswa gagap teknologi. Sedangkan dunia kerja membutuhkan sumber daya manusia yang siap mengimbangi kemajuan teknologi. Selain itu kurangnya relevansi antara kurikulum dan kebutuhan dunia kerja juga jadi faktor penentu sukses tidaknya sarjana menembus dunia kerja. Ini semua seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Karena negaralah yang berkewajiban mengontrol kurikulum pendidikan. Jangan sampai rakyat kehilangan kepercayaan kepada perguruan tinggi.
- Kurangnya penyerapan dunia kerja
Kurangnya penyerapan dunia kerja menjadi faktor yang tidak kalah penting. Dunia kerja lebih banyak menyerap tenaga kerja tingkat SMA/SMK dibanding sarjana. Menurut pemetaan penyerapan kerja hanya 17,5 % serapan kerja untuk sarjana. Sedangkan untuk SMA mencapai 80%.
- Ijazah palsu
Maraknya penggunaan ijazah palsu di kalangan pencari kerja semakin menjadi-jadi. Kalangan pejabat sekalipun banyak terlibat skandal pemalsuan ijazah. Salah-satunya adalah mantan Bupati Bengkalis.
“Bupati Bengkalis diduga gunakan ijazah palsu berupa ijazah S1 dan SMA. Saat ini kasusnya sedang ditangani kemenristekfikti dan polda Riau”, ujar Direktur Eksekutif Pilkada. (harianterbit.com).
Fenomena sarjana bodong ini semakin mempersulit sarjana yang benar-benar berjuang dari nol untuk masuk ke dunia kerja.
- Banyaknya tenaga kerja asing
Banyaknya tenaga kerja asing yang menyerbu Indonesia akhir-akhir ini kian menjadi sorotan. Kebijakan pemerintah mempermudah perizinan masuk Tenaga Kerja Asing merugikan rakyat Indonesia sendiri. Pasalnya serbuan tenaga kerja asing mempersempit kesempatan kerja tenaga kerja Indonesia.
Kementrian Ketenagakerjaan menyatakan jumlah tenaga kerja asing (TKA) yang masuk ke indonesi sepanjang tahun 2017 adalah sebanyak 85.974 orang. (Liputan6.com). jumlah yang sangat fantastis. Padahal Indonesia memiliki banyak sumber daya manusia yang kompeten di segala bidang.
Islam menjamin Pendidikan Rakyat
Islam adalah agama yang sempurna. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu ekonomi, politik, budaya, sosial dan pendidikan. Perihal pendidikan, Rosulullah telah mencontohkan bahwa seluruh biaya pendidikan dibebankan kepada baitul mal.
Rasulullah pernah menetapkan kebijakan terhadap tawanan perang Badar. Apabila seorang tawanan telah mengajar 10 orang penduduk madinah. Dalam hal baca dan tulis akan dibebaskan sebagai tawanan.
Ad-Damsyqy menceritakan suatu kisah dari al-Wadliyah bin Atha’, yang mengatakan bahwa di kota madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Oleh khalifah umar bin Khatab ra guru-guru tersebut digaji 15 dinar tiap bulannya.
Dari kisah diatas jelas bahwa negaralah yang bertanggung jawab dalam urusan pendidikan rakyatnya. Baik itu biaya dan sarana pendidikan. Bagaimana solusinya jika kita ingin bebas dari biaya kuliah untuk mencapai gelar sarjana? Terapkan Islam secara kaffah.
Aturan Islam tentang lapangan pekerjaan
- menciptakan lapangan kerja
“kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak”.
Begitulah ungkapan Khalifah Umar.ra. saat mendengar jawaban orang-orang yang berdiam di masjid disaat orang lain sibuk bekerja. Kemudian Umar mengusir mereka dari mesjid sembari memberikan setakar biji-bijian. Beliau berkata “tanamlah dan bertawakallah kepada Allah.”
Dari peristiwa diatas, Imam Ghazali rahimahullah menyatakan bahwa wajib atas pemerintah memberi sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja.
- Memberikan peluang yang sama untuk hidup lebih sejahtera
Khalifah Umar menyatakan “orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang telah dipagarinya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun.”
Umarpun melaksanakan ketentuan ini dengan menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits Al-Muzni yang ditelantarkan selama 3 tahun.
Ketika Islam diterapkan secara kaffah lahan-lahan yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan diambil daulah. Kemudian akan diserahkan kepada mereka yang membutuhkan. Dengan begitu tidak ada lagi alasan buat pengangguran untuk tidak bekerja.
Selama negara masih dikuasai idiologi kapitalis pengangguran akan tetap bertebaran dimana-mana. karena kapitalis adalah sistem sosial yang didasarkan pada pengakuan hak-hak individu. Dalam aspek ekonomi, kapitalisme memisahkan intervensi negara dengan perekonomian. Negara tidak bertanggung jawab akan lapangan pekerjaan rakyatnya. Sedangkan Islam, Islam menjamin pemenuhan kebutuhan bagi tiap individu masyarakat baik berupa pangan, sandang dan papan serta lapangan pekerjaan. Semoga dalam waktu dekat Islam kembali berjaya.