Rupiah Terkapar, Saatnya Penjajahan Dihentikan

Oleh: Nur Isnaini Maulidia


Pelemahan kurs rupiah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) terulang kembali.  Pada Jumat (31/8/2018), US$1 ditransaksikan pada Rp 14.725 di pasar spot. Rupiah melemah 0,27% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin. Sementara itu, harga jual dolar AS di salah satu bank nasional telah menembus di atas Rp 14.900/US$. Ini merupakan harga jual dolar ke nasabahnya dengan menggunakan kurs jual. Dan hingga saat ini, kurs rupiah masih terus menguat hingga Rp. 15.000/US$.

Dampak pelemahan rupiah berimplikasi pada beberapa hal antara lain: Pertama, menekan produsen dalam negeri terutama importir dan perusahaan yang mengandalkan bahan baku impor. Imbasnya, mereka terpaksa menyesuaikan produk, menaikkan harga atau mengurangi kapasitas usaha mereka yang sebagian berdampak pada pengurangan jumlah tenaga kerja.

Kedua, menurunkan daya beli masyarakat akibat kenaikan harga barang (imported inflation) dan menaikan jumlah pengangguran. Sektor-sektor lain yang tidak berhubungan secara langsung dengan perdagangan luar negeri ikut terkena dampaknya.

Ketiga, meningkatkan biaya pembayaran utang luar negeri. Menurut keterangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada tahun 2013, utang luar negeri Pemerintah membengkak sebesar Rp 164 triliun akibat pelemahan rupiah. Kerugian kurs akibat pelemahan rupiah juga kerap menimpa BUMN dan perusahaan-perusahaan swasta yang mengandalkan utang luar negeri. Pada semester pertama 2015, misalnya, kerugian kurs PLN mencapai Rp 16,9 triliun.

Anjloknya rupiah terhadap dolar yang mengganggu kestabilan ekonomi kerap terjadi di negeri ini. Peristiwa serupa juga terjadi di negara-negara lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masalah ini sesungguhnya merupakan salah satu ‘penyakit’ dari sistem ekonomi kapitalisme yang secara inheren rentan menimbulkan krisis.

Ada beberapa faktor fundamental yang menjadi sebab krisis pada sistem ekonomi kapitalisme termasuk krisis mata uang yaitu penggunaan mata uang kertas (fiat money), sistem finansial yang berbasis riba dan bersifat spekulatif serta liberalisasi perdagangan dan investasi. Hal-hal tersebut tentu saja tidak akan terjadi jika negara ini mengadaposi sistem Islam. 

Standar Moneter

Saat ini digunakan mata uang kertas (fiat money) yang nilai nominalnya tidak ditopang oleh nilai yang bersifat melekat pada uang itu (intrinsic value). uang menjadi berharga lantaran ia dilegalkan oleh stempel pemerintah atau otoritas moneter suatu negara. Dampaknya, jika ekonomi atau politik negara tersebut melemah, mata uangnya ikut melemah. Standar tersebut juga membuat pemerintah lebih mudah untuk menambah pasokan uang yang selanjutnya dapat mendorong kenaikan inflasi.

Sebaliknya, di dalam Islam, negara wajib mengadopsi standar mata uang emas dan perak. Dengan demikian uang yang beredar baik dalam bentuk emas dan perak, ataupun mata uang kertas dan logam yang ditopang oleh emas dan perak, nilainya ditopang oleh dirinya sendiri. Dengan kata lain, nilai nominalnya ditentukan oleh harga komoditas yang menjadi fisik atau penopangnya (intrinsic value). Kondisi tersebut membuat pemerintah tidak bebas memproduksi uang yang beredar. Ia hanya dapat menambah jumlah uang subtitusi baik kertas ataupun logam sejalan dengan peningkatan cadangan emas dan perak yang dimiliki negara.

Kegiatan spekulasi oleh para spekulan untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang negara tersebut menjadi sangat berat. Pasalnya, yang mereka spekulasikan sejatinya adalah emas dan perak. Meskipun demikian, Khilafah akan berupaya agar negara-negara di dunia ini kembali mengadopsi standar emas dan perak sehingga harga emas di pasar global dapat bergerak lebih stabil, sebagaimana yang terjadi ketika negara-negara di dunia ini mengadopsi standar ini hingga Perang Dunia I berkecamuk.

Urgensi Penegakan Sistem Islam

Krisis nilai tukar Rupiah sebagaimana halnya mata uang lain di dunia, telah menjadi pemandangan biasa dalam sistem keuangan saat ini. Meskipun terbukti banyak dikeluhkan dan merugikan, namun sistem ini tetap dipertahankan. Padahal, masalah tersebut tentu saja tidak perlu terjadi jika perekonomian negara ini dan juga negara-negara lainnya menanggalkan sistem Kapitalisme dan beralih pada sistem Islam di bawah naungan negara Khilafah Islamiyah ‘Alaa Minhajin-Nubuwwah. Hal ini karena riba, legalisasi Perseroan Terbatas dan turunannya seperti saham dan pasar modal serta mata uang kertas tanpa jaminan komoditas berharga seperti emas dan perak tidak akan ditemukan dalam sistem tersebut. Selain itu, negara berkewajiban untuk menjadi negara industri yang kuat agar tidak dapat dikuasai dan didikte oleh negara lain atau otoritas lainnya. Wallahu A’lam Bis-Showab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak