Resakralisasi Pernikahan, Tuntas dengan Islam


Oleh 

Wd Deli Ana (Komunitas Ibu Cinta Qur'an)

Ya Allah, jadikan kami suami/istri yang saling mencintai di kala dekat, saling menjaga kehormatan di kala jauh dan saling menghibur di kala duka (Doa Pernikahan)

Haru-biru tak jarang terbit setiap kali membaca penggalan doa yang tertera di sehelai undangan pernikahan.   Menunjukkan sepakat kita akan syahdunya aqad yang terucap.  Mengingatkan tentang  janji yang disaksikan penduduk bumi dan langit di hadapan Ar-Rahman.  Sakral sudah pasti, sebab niat tentu hanya sekali terjadi.  Tak sedikit bahkan yang bersama hingga maut menghampiri.  

Namun sayang seribu sayang belakangan realitas tersaji bagaikan bumi dan langit.  Seolah begitu mudah  janji manis menguap.  Biduk rumah tangga yang berlayar sekian lama sanggup begitu saja  karam di karangnya kehidupan.  Lihat saja angka perceraian di bumi anoa ini.   Angka perceraian di tiga kabupaten di Sulawesi Tenggara (Sultra) yakni Muna, Muna Barat dan Buton Utara terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Pengadilan Agama Raha, di tahun 2017 terhitung ada 880 kasus perceraian.  30% lebih peningkatannya dibanding tahun 2016. (zonasultra. com, 2018).

Apa kabar kota Kendari? 11-12 kenyataannya.  Tak jauh beda, bahkan menurut data, setiap bulan rata-rata ada 36 wanita yang mengajukan gugatan cerai di pengadilan agama. (Lenterasultra. com,2017). Dengan kata lain setiap hari ada saja pihak yang mendaftarkan kasusnya.  Luar biasanya lagi fenomena ini terjadi di hampir seluruh penjuru negeri.   Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama merilis data tahun 2015 yang menunjukkan bahwa angka perceraian di Indonesia selama tahun 2010-2014 naik 100.000 kasus dibandingkan lima tahun sebelumnya.  Peningkatan ini diprediksi oleh ketiga pendiri Kelas Cinta, Jet Veetlev, Lex DePraxis, dan Kei Savourie, (tribunnews.com, 11/2/2017), masih terjadi di tahun 2017 dan akan terus berlanjut selama sepuluh tahun ke depan.

Jadi memang Indonesia arahnya ke sana. Mau tidak mau, perkembangan zaman akan ke sana karena manusianya semakin egois sehingga lebih gampang untuk bercerai,” ucap Kei. Masih menurutnya, salah satu faktor yang mendorong peningkatan angka perceraian ini adalah pemberdayaan wanita.


Kei jelas tak salah.  Tampak korelasi positif antara pemberdayaan perempuan dengan keberanian mengajukan gugatan talak. Buktinya hasil penelitian Puslitbang Kementerian Agama  menyebutkan bahwa 70 persen perceraian digugat pihak istri.  Tak kurang Menteri Agama Lukmanul Hakim Saifuddin juga mengaminkan hal ini.  Beliau mengatakan bahwa inisiatif perceraian memang banyak datang dari kaum perempuan. Menurut beliau, hal ini menunjukkan bahwa kaum perempuan sudah tidak terlalu tergantung kepada kaum laki-laki secara ekonomi. (republika.co.id, 2017).  

Menyoroti hal ini mutlak dibutuhkan solusi.  Sebab bila dibiarkan imbasnya sangat besar.  Bukan saja silaturahmi yang  terputus, anak-anak pastinya jadi korban psikis.  Rapuhnya generasi masa depan  tinggal tunggu waktu.  Pelan tapi pasti berisiko mengarah pada kehancuran.  


Fatamorgana!

Ditinjau secara historis, pemberdayaan perempuan yang disinggung di atas jelas tak berhabitat di negeri ini dan negeri muslim lainnya. Gagasan ini lahir  dari kaum perempuan kelas menengah ke atas di Barat yang ingin membebaskan diri dari pekerjaan-pekerjaan rutin rumah tangganya (terutama AS) pada tahun 1960-an dan 1970-an.  Dari sinilah dimulai kampanye kesetaraan peran perempuan di segala bidang. Gerakan ini terus digencarkan dan disebarluaskan tak terkecuali ke negeri-negeri Muslim yang belakangan jadi sasaran.  Mengapa? Sebab Islam yang secara jelas mengamanahkan wanita tugas utama sebagai istri, ibu dan manajer rumah tangga.  Peran yang tidak tergantikan dalam pandangan  Islam namun terasing menurut feminis.

Harus diakui gerakan feminisme yang cukup marak di Barat sejak 1960-an memang berefek pada peningkatan partisipasi perempuan pada angkatan kerja di Amerika Serikat. Pada tahun 1950 partisipasi angkatan kerja meningkat sebesar 33%  kemudian naik menjadi 60% pada tahun 1980. (wikipedia). Malangnya angka perceraian di AS juga menunjukkan peningkatan hingga 100% pada rentang waktu yang sama, tahun 1963 dan 1975.   

Sadar akan fakta tersebut, perlahan ide ini mulai ditinggalkan di negeri asalnya.  Tak sedikit aktivisnya berbalik menyerukan pentingnya perempuan kembali ke rumah dan pentingnya nilai keluarga.  Membuktikan bahwa feminisme dan pemberdayaan perempuan hanya sebatas ilusi.

Ironis. Di saat Barat mulai meninggalkan feminisme, di negara berkembang yang notabene negeri-negeri Muslim masih laris manis.  Berdalih melindungi hak perempuan, ide ini dikemas jadi ikon yang harus diperjuangkan.  Siap jadi solusi problem marginalisasi sosok perempuan.

Para wanita kemudian didorong untuk berbondong-bondong bekerja di luar rumah.  Tak cukup sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun juga mengejar eksistensi melalui aktualisasi diri.  Demi mewujudkan kebebasan dan kemandirian ekonomi. Enggan bergantung sepenuhnya kepada lelaki. 

Namun apa yang terjadi? Alih-alih memberi solusi masalah perempuan,  tatanan masyarakat justru rusak. Sebab ibu digiring untuk melupakan tugas utamanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak.  Akibatnya marak anak dan remaja galau mencari perhatian.  Pada gilirannya seks bebas pada remaja sampai yang menderita HIV/AIDS pun terus meningkat.  Seiring dengannya  angka perceraian hingga kehancuran keluarga juga semakin tinggi. Tak pelak, semua hal itu menjelma menjadi harga  yang harus ditebus mahal.


Pernikahan ialah Ibadah, Tak Sekedar Tinggal  Serumah

Kecenderungan pada lawan jenis merupakan fitrah setiap manusia, maka satu-satunya cara yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (lewat jenjang pernikahan). 

Maka pernikahan dalam pandangan Islam merupakan suatu ikatan yang kuat (mitsaqan ghalizhan) yang bertujuan melestarikan keturunan jenis manusia dan mewujudkan kehidupan berkeluarga yang bahagia sesuai syariat Islam. Firman Allah swt.,

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (TQS An-Nisa: 21).  Mitsaqan Ghalizha adalah gambaran kokohnya sebuah komitmen.  Janji suci sekaligus ikatan sakral yang tidak hanya melibatkan dua anak manusia tapi juga Allah SWT. Karena ia akan menimbulkan konsekuensi lahir dan batin.  Menyangkut kehidupan dunia serta akhirat.

Imam Ibnu Katsir saat menafsir ayat tersebut, beliau mengutip sebuah hadis sahih diriwayatkan dari Jabir, ra dalam Shahih Muslim yang menyatakan bahwa ketika seorang laki-laki melamar seorang perempuan dari orang tuanya untuk dinikahi berarti dia telah melakukan perjanjian atas nama Allah.  Sebagaimana Allah telah menghalalkan istri baginya dengan kalimat-Nya. Maka  wajar bila talak atau cerai menjadi perbuatan yang dibolehkan namun dimurkai oleh Allah.  Sebab bagaimana mungkin semudah itu memutuskan ikatan yang telah dipersaksikan di hadapan Sang Pencipta? Apalagi demi sebuah eksistensi diri? Bukankah begitu lafaz aqad terucap, getarannya sampai mengguncang seluruh alam semesta tersebab beratnya beban yang terkandung?

Tapi tentu saja untuk sampai pada pemahaman di atas hanya bisa terwujud dengan kembali bersama mengkaji syariat Islam secara kontinu dan paripurna.   Bahwa Islam tak hanya menuntun umatnya dalam hal ibadah ritual seperti halnya Shalat.  Lebih dari itu Islam mengajarkan semua aktivitas bisa bernilai ibadah bila dilakukan ikhlas karena Allah dan mengikuti risalah Nabi saw. tak   terkecuali dalam urusan pernikahan.

Tak bisa dipungkiri pernikahan hanya bagian dari syariat Allah yang  sempurna.  Mari jadikan kepatuhan kita untuk mengamalkannya semata lahir dari manisnya iman.   Insya Allah rezeki, karunia dan rahmat telah siap menanti di pucuk-pucuk pohon pengabdian seorang hamba.   Sebagaimana janji Allah, “ Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga dari orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.  Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.  Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (TQS An-Nur :32).  Wallaahu a'lam.  





Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak