Oleh: Annisa 'Amalia Farouq
(Mahasisiwi Manajemen Dakwah UIN SGD Bandung)
Minggu lalu, Indonesia baru saja mengadakan pertemuan tahunan bersama IMF dan World Bank di Nusa Dua, Bali pada tanggal 08-14 Oktober 2018. Secara umum pertemuan tersebut membahas tentang ekonomi digital. Menurut Sri Mulyani, Mentri Keuangan Republik Indonesia, "hasil dari pertemuan ini dapat membantu pemerintah dalam menyusun kebijakan perekonomian sehingga dapat menyesuaikannya dengan kondisi global."
Terlepas dari apa yang dibicarakan pada pertemuan tersebut, Indonesia telah menjamu kedatangan mereka dengan jumlah uang yang sangat fantastis. Pertemuan Tahunan Dewan Gubernur Dana Moneter Internasional (IMF) - Bank Dunia (World Bank) yang digelar di Bali mulai dari tanggal 8-14 Oktober 2018 menghabiskan dana sebesar Rp 1 triliun. Hal tersebut dianggap sebagai pemborosan anggaran di tengah sejumlah bencana yang melanda Indonesia. (wartakotalive.com, 08/10)
Dibalik meriahnya 'pesta' pertemuan di Bali yang menghabiskan uang negara hingga triliunan, ternyata Korban gempa dan tsunami di Palu kini masih meradang. korban gempa dan tsunami di Palu Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, mengaku belum mendapat kabar mengenai rencana relokasi maupun pembangunan tempat pengungsian terpadu yang bersifat sementara. (cnnindonesia.com, 13/10)
Miris memang!
Bagaimana bisa ketika kota Palu sedang mengalami bencana dan membutuhkan bantuan secepatnya, pemerintah malah sibuk menjamu 'rentenir berdasi' di Nusa Dua, Bali. Beginilah akibatnya bila penguasa tak memprioritaskan urusan rakyatnya, tak memahami betapa sengsaranya korban gempa di Palu pada saat itu.
Berbanding terbalik ketika para petinggi negara berlomba-lomba untuk menarik hati rakyat demi mendapatkan suara terbanyak. Namun setelah mendapatkan 'tempat', tak lagi peduli apapun yang sedang terjadi pada kondisi rakyat. Adapun mendatangi lokasi bencana, tak seberapa dana yang diberikan, yang ada hanya pencitraan agar menjadi headline news di berbagai media kekinian. Sehingga korban gempa dan tsunami di Palu, kini bertahan hidup dari sumbangan-sumbangan pribadi yang disalurkan melalui relawan.
Maka, semakin nampaklah kedzaliman dan pengkhianatan pemerintah kepada rakyat. Mengacuhkannya begitu saja, bagaikan kacang lupa pada kulitnya. Tentu kita semua tahu, bagaimana penderitaan yang dialami oleh masyarakat Palu. Bangkai-bangkai korban bertebaran, tak ada tempat untuk dikuburkan. Warga yang selamat pun mengalami kesedihan yang amat mendalam akibat kehilangan keluarga yang tak kunjung ditemukan.
Selain itu, korban selamat pun mengalami kelaparan, kehausan, serta kedinginan akibat bantuan dari pemerintah yang selama berhari-hari tak jua kunjung datang. Banyak pula orang-orang tak bertanggungjawab yang memanfaatkan situasi dengan melakukan penjarahan. Namun pemerintah malah asyik bergandeng tangan dengan para 'rentenir' menawan, yang menawarkan hutang berkedok investasi yang menggiurkan.
Dengan demikian, berhentilah berharap pada sistem Kapitalisme-Demokrasi. Karena telah terbukti bahwa tiada pemimpin yang amanah yang lahir dari sistem kufur seperti saat ini. Pemimpin amanah yang senantiasa taat pada aturan Allah dan Rasul-Nya, serta memprioritaskan kebutuhan rakyatnya, dan tak menjalin hubungan mesra dengan para penjajah Barat, hanya akan tercipta dari negara yang menerapkan syari'at Islam secara keseluruhan.
Allaahu a'lam bi ash-shawab