(Source: suara.com)
Oleh : Ning Hardiawan
Penjagaan perdamaian (peacekeeping) kembali menjadi salah satu topik yang diangkat dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ke 73 di New York, 25 September 2018 yang lalu. Tidak berlebihan, karena memang mandat utama PBB adalah sebagai pemelihara perdamaian dunia. Terlebih, sejak berdirinya di tahun 1945 perdamaian itu tidak kunjung terwujud. Perang terus berkecamuk di mana-mana. Dalam sepuluh tahun terakhir, tidak kurang dari tiga puluh lima perang dan konflik terjadi di berbagai belahan dunia. Korban yang jatuh pun jauh melampaui korban bencana apa pun, termasuk bencana alam. (Wikipedia.org)
Satu hal yang menarik untuk disorot pada sidang kali ini adalah adanya usulan untuk meningkatkan keterlibatan perempuan sebagai penjaga perdamaian (peacekeeper), dengan alasan bahwa dari catatan PBB jumlah perempuan masih sangat sedikit, yakni 3% dari keseluruhan penjaga perdamaian yang dikerahkan. Peningkatan ini diperlukan, karena korban konflik dan pascakonflik kebanyakan adalah perempuan dan anak-anak. “Secara tradisi, mereka lebih nyaman jika mereka berhubungan dengan perempuan,” demikian penjelasan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di sela pertemuan Majelis Umum tersebut. Retno pun menambahkan bahwa usulan ini sejalan dengan apa yang diserukan para menlu perempuan di dalam pertemuan menteri luar negeri di Montreal Kanada seminggu sebelumnya. (republika.co.d, 25/9/18)
Usulan yang sejalan dengan arus opini kesetaraan gender ini menarik untuk dianalisa dan dikritisi dari berbagai segi. Target kesetaraan gender seringkali bukannya solutif, malahan menimbulkan masalah-masalah baru, terutama bagi masyarakat muslim seperti di Indonesia. Pasalnya, kesetaraan gender berangkat dari ide barat yang umumnya malah menarik perempuan ke pemberdayaan perempuan yang keliru, dan akhirnya malah mengorbankan kehidupan diri, anak dan keluarganya.
Dari segi istilah yang digunakan, penjaga perdamaian (peacekeeper) sepertinya kurang tepat digunakan dalam konteks ini. Penjaga perdamaian semestinya bertugas untuk menciptakan perdamaian, baik dengan cara menghentikan perang atau mencegah terjadinya perang. Tentu hal ini tidak mungkin dilakukan oleh individu, apalagi seorang wanita. Hanya negara dengan perangkat militernyalah yang akan bisa menghentikan perang atau mencegah terjadinya perang.
Apabila tugas yang diberikan adalah untuk membantu korban konflik dan pascakonflik, maka aktivitasnya lebih tepat disebut dengan pemulihan fisik/mental (physical/mental recovery), ketimbang menjaga perdamaian (peace keeping).
Tugas seperti ini memang bisa dilakukan individu atau suatu badan sosial, termasuk oleh petugas-petugas perempuan. Meski tak bisa dimungkiri bahwa tugas pelayanan sosial seperti ini penting dan mulia, namun perlu dicatat, bahwa pengadaan fungsi ini bukanlah solusi untuk menciptakan perdamaian, karena aktivitas yang ada hanya sekedar menangani ekses, bukan menyasar akar penyebab permasalahan dari konflik atau peperangan yang terjadi.
Perempuan memang bisa dan boleh melaksanakan tugas di area konflik untuk melakukan pelayanan terhadap korban. Namun sesungguhnya, ada tugas dan peran yang lebih strategis bagi seorang perempuan, khususnya muslimah, yang bila dilaksanakan dengan baik dan terstruktur akan berkontribusi signifikan bagi terciptanya perdamaian. Peran strategis itu adalah peran yang telah diberikan Sang Pencipta kepada diri setiap perempuan, yang sesuai dengan kodrat penciptaannya, yakni sebagai pendidik umat dan pencetak generasi.
Dalam perannya sebagai pendidik umat dan pencetak generasi, di area domestik seorang Ibu adalah madrasah yang pertama dan utama bagi anak-anaknya. Bagaimana kuantitas dan kualitas seorang anak, bergantung pada bagaimana pendidikan dan pembiasaan yang diajarkan seorang ibu di rumah. Selain itu, di area umum, seorang muslimah memiliki kewajiban untuk berdakwah kepada masyarakat di sekitarnya. Konten pendidikannya, tak lain dan tak bukan adalah Islam yang kaffah, yang dengan penerapannya akan menjadikan rahmat bagi seluruh alam, dan menjadi solusi bagi akar permasalahan berbagai konflik dan peperangan di dunia.
Sebagai negeri muslim yang besar, sudah seharusnya masyarakat Indonesia menjadikan Islam sebagai pegangan. Islam memberikan aturan kehidupan yang menyeluruh dan sempurna dari Sang Pencipta, sehingga dengan menerapkannya niscaya keadilan akan dapat ditegakkan dan penjajahan dan peperangan akan dapat dihapuskan. Selain itu, bila tercipta masyarakat yang beriman dan bertakwa, Allah akan berikan berkahnya kepada umat manusia, sebagaiman firmanNya :
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Tqs. Al-A’raf: 96)
Wallahu'alam bish showab.