Pemberdayaan atau Memperdaya Perempuan?

Oleh: Ita Mumtaz

(Pemerhati Sosial)


Setelah menjadikan perempuan sebagai ratu penjaga perdamaian, kembali makhluk lembut ini diberi peran yang cukup bergengsi. Namanya terpampang dalam sebuah perhelatan internasional, membuat iri manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Kiprahnya sangat dinantikan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi bangsa.

Salah satu agenda pertemuan tahunan Internasional  International Monetary Fund (IMF) dan World Bank adalah seminar bertajuk Empowering Women in the Workplace. Dalam keterangan tertulisnya pada pertemuan  tersebut, anggota Komisi I Evita Nursanty dari Fraksi PDIP menyampaikan, “Menurut ILO, 865 juta perempuan memiliki potensi untuk memaksimalkan kontribusinya dalam pembangunan ekonomi. Lebih jauh lagi, partisipasi perempuan telah terbukti mampu memberdayakan keluarga dan lingkungannya” (Okezone.com, 09/10/2018).

Senada dengan itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mempertegas bahwa perempuan sangat berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di sebuah negara. Karena itu peran perempuan dalam sebuah pekerjaan harus ditingkatkan. "Yang pertama harus dipahami dari sebuah negara itu harus ditingkatkan partisipasi tenaga kerja perempuan, baik untuk perekonomian, untuk perempuan dan untuk keluarganya", kata beliau (Detik.com, 9/10/2018).

Ide absurd Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) kembali mengarus di tengah seruan pemberdayaan perempuan. Seolah ingin menunjukkan kepada dunia, bahwa bukan hanya laki-laki yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Terlebih menyambut Revolusi Industri 4.0, era yang diwarnai oleh kecerdasan buatan, era super komputer, rekayasa genetika, inovasi, dan perubahan cepat yang berdampak terhadap ekonomi, industri, pemerintahan, dan politik.

Konspirasi Berbalut Pemberdayaan Perempuan  

Sebenarnya jargon kemandirian perempuan dan kontribusinya pada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi hanyalah dalih semata. Dikatakan bahwa perempuan memiliki potensi untuk memaksimalkan kontribusinya dalam pembangunan ekonomi. Dengan prinsip kesetaraan, pemberdayaan perempuan membuka ruang bagi perempuan untuk berperan aktif secara ekonomi. Masih teringat konferensi Perempuan Beijing 1995 yang salah satunya membahas kemiskinan perempuan serta perempuan dan ekonomi. Para perempuan didorong untuk mandiri dan tidak bergantung secara ekonomi kepada laki-laki. Dan yang lebih penting lagi tidak menjadi beban negara. Dalam perspektif Barat, kondisi ideal adalah ketika tercapai kesetaraan dalam berbagai bidang, termasuk sektor pendapatan. Maka saat ini perempuan harus didorong untuk terjun dalam berbagai bidang pekerjaan.

Namun faktanya,  ajakan ini justru memperdaya atau menipu para muslimah. Ide ini berdampak sangat membahayakan, yakni kebebasan perempuan tanpa batas. Barat mengajarkan kepada muslimah untuk menerobos segala batasan yang mereka anggap sebagai hambatan untuk mencapai kemajuan yang identik dengan kemandirian ekonomi. Agama (Islam) dituduh menjadi penghalang kemajuan karena diyakini sebagai kepercayaan yang mengusung diskriminasi laki-laki dan perempuan. Sehingga menjadikan perempuan sebagai warga negara kelas kedua. Disebabkan konsep Islam yang hanya mewajibkan laki-laki (suami atau ayah) sebagai pencari nafkah. Hal inilah yang menyebabkan perempuan sering mengalami penindasan karena dianggap tidak mempunyai kontribusi dalam pembangunan ekonomi bangsa. Sehingga hak dan kepentingannya sebagai warga negara kerap terabaikan.

Bagaikan menawarkan racun mematikan yang berbalut madu di atas pinggan emas. Proyek pemberdayaan ekonomi perempuan yang beraroma konspirasi sebenarnya sudah berjalan panjang. Berlangsung selama abad 19 hingga sekarang, berbagai konferensi internasional telah digulirkan. Para anggota konferensi mayoritas berasal dari negeri muslim dan menjadi anggota PBB. Mereka merasa memiliki tanggung jawab moral untuk melaksanakan berbagai hasil dari konferensi tersebut.

Padahal hasil konferensi itu sangat tak berempati terhadap kondisi perempuan yang berperan sebagai seorang istri dan ibu. Bagaimana hak sebagai suami dan anak terpenuhi, jika aktivitas seorang Ibu tersita di ruang publik? Maka finansial akan menyelesaikannya dengan menggaji seorang pembantu. Dalam titik krusial inilah keluarga muslim diambang kehancuran. Peran utamanya menjadi seorang Ibu dan pengatur rumah tangga akan terabaikan. Amanah kepemimpinan yang dibebankan kepada laki-laki akan melemah, apalagi bila gaji perempuan lebih tinggi. Demikianlah perempuan justru tereksploitasi demi mendongkrak pendapatan nasional.

Pemberdayaan Perempuan dalam Islam: Sebuah Solusi

Jika kapitalisme menawarkan konsep pemberdayaan perempuan dengan gerakan keluar rumah untuk mendapatkan materi agar setara dengan laki-laki, maka Islam justru memiliki visi cemerlang. Yakni: "Menjadi perempuan unggul sebagai Ibu dan pengatur rumah tangga, sebagai mitra laki-laki demi melahirkan generasi cerdas, taqwa dan pejuang dalam kesakinahan keluarga.

Bentuk utama dari pemberdayaan muslimah ini adalah mengoptimalkan peran Ibu sebagai pendidik dan pencetak generasi pemimpin. Sang Ibu dengan kelembutannya diberikan kepiawaian oleh Allah untuk membentuk kepribadian anak agar berkarakter kuat. Sehingga ketika kelak menjadi seorang pemimpin, diharapkan memiliki integritas tinggi. Berpegang teguh pada syariat-Nya, tidak mudah diintervensi oleh negara penjajah. Peran ini dikhususkan hanya kepada perempuan. Untuk menjamin pelaksanaannya, Allah telah menetapkan beberapa hukum khusus untuk perempuan. Diantaranya hukum tentang kehamilan, penyusuan, pengasuhan anak dan lain-lain. Bahkan Allah Swt telah memberikan keringanan kepada perempuan agar dia mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Semisal, perempuan tidak wajib bekerja untuk mencari nafkah, boleh berbuka puasa di bulan Ramadhan bagi yang hamil dan menyusui.

Selain itu, sebagai bagian dari anggota masyarakat, seorang muslimah  mempunyai kewajiban mencerdaskan umat dengan politik Islam. Yakni senantiasa menjadikan Islam sebagai parameter dalam setiap perbuatan. Termasuk bagaimana cara seorang muslimah berkontribusi dalam kemajuan dan pembangunan bangsa. Islam memberi peluang yang sama pada laki-laki dan perempuan untuk ikut berperan dalam masyarakat. Perempuan pun dibolehkan bekerja asalkan tidak melalaikan tugas pokoknya. Semisal menjadi dokter, dosen, rektor, direktur perusahaan, dan sebagainya.

Sungguh penting dan utama peranan perempuan dalam pemberdayaan perspektif Islam. Sangat mulia sekaligus berat, karena itu Allah menjanjikan limpahan pahala atas amanahnya. Apa yang terjadi manakala penguasa melempar tanggung jawabnya sebagai penopang ekonomi kepada perempuan? Selain menyalahi kodratnya, beban berat perempuan akan semakin bertambah. Demikianlah, sehingga Allah menjadikan negara sebagai satu-satunya institusi yang bertugas menjaga dan melindungi kehidupan rakyatnya. Setiap warga negara diberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan primer dengan mekanisme yang khas. Wallahu a’lam bish-showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak