Pariwisata Pembawa Petaka
Oleh : Eva Rahmawati
( Member Akademi Menulis Kreatif )
Tidak diragukan lagi Indonesia mempunyai pesona alam yang luar biasa dan mengagumkan. Keindahannya terbentang luas, membuat takjub mata melihatnya. Potensi keindahan alam, baik yang alami maupun buatan, serta keragaman budaya yang ada, menjadi daya tarik untuk dikembangkan sebagai tempat wisata. Untuk menarik wisatawan lokal maupun mancanegara diangkatlah budaya dan kearifan lokal yang mempunyai 'daya jual'.
Sayangnya budaya dan kearifan lokal yang diangkat, tidak mempedulikan apakah bertentangan atau tidak dengan syariat Islam. Budaya lokal yang mengandung animisme - dinamisme diangkat kembali padahal syarat dengan ritual syirik. Dan ini jelas bertentangan dengan syariat Islam. Seperti baru-baru ini terjadi di Palu. Dengan jualan 'Pesona Palu Nomoni' yang isinya adalah budaya syirik berupa sesajen, melarung makanan atau binatang ke laut, meyakini ritual tersebut mampu menyembuhkan penyakit. Ini adalah merupakan bentuk menyekutukan Allah SWT. Alhasil, ritual syirik ini justru mengundang murka Allah SWT.
Dilansir oleh REPUBLIKA.CO.ID pada Sabtu (29/9/18). Adrian (35), saksi mata yang selamat, mengatakan ada seribuan warga sedang berada di pinggir pantai anjungan Nusantara, Kota Palu, Jumat (28/9) sore saat tsunami menerjang wilayah tersebut. Masyarakat setempat saat itu sedang menantikan acara pembukaan fetsival 'Pesona Palu Nomoni' yang digelar di pantai tersebut.
Dahsyatnya gempa disusul tsunami yang memporak-porandakan Palu dan sekitarnya. Memakan korban tidak sedikit, meninggal maupun luka-luka. Menghancurkan bangunan-bangunan dan rumah penduduk. Ada trauma hebat, bagi korban selamat. Namun, apa daya hidup masih berlanjut walau dengan kondisi memprihatinkan. Untuk menyikapi bencana ini harus dengan keimanan. Yakin semua ini adalah qodho Allah, harus dijalani. Bencana adalah ujian bagi orang beriman. Menguji keimanan dan kesabaran. Sebaliknya bagi orang yang durhaka, bencana adalah wujud sayangnya Allah SWT, agar mereka yang durhaka kembali ke jalan yang Allah ridhoi.
Berkaca pada kisah-kisah kaum terdahulu sebutlah kaum Tsamud, kaum 'Ad, kaumnya Nabi Luth, dll, dibinasakan Allah SWT atas kesyirikan dan maksiat. Diabadikan kisahnya dalam Al Qur'an agar manusia mengambil pelajaran darinya. Harus diimani bencana merupakan Qadha Allah sebagai dampak kerusakan akibat kemaksiatan manusia. Meskipun kemajuan teknologi manusia bisa memprediksi bencana, akan tetapi tidak ada yang bisa memprediksi kapan terjadinya dan seperti apa kejadiannya. Hal ini semata-mata murni kuasanya Allah SWT. Allah SWT berfirman :
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia (maksiat); Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar). Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (TQS. Ar-Rum : 41-42)
Pemikiran orang-orang jahil yang menganggap bencana adalah fenomena alam biasa akibat dari ini dan ini (dalam hal ini pergeseran lempeng bumi di laut), mereka menafikan adanya Dzat yang menciptakan dan mengatur alam semesta yaitu Allah SWT. Merekalah orang-orang yang sudah teracuni pemikiran sosialis-komunis.
Bencana yang terjadi di Palu ini sebagai sinyal peringatan bagi wilayah lain di tanah air agar menghindari hal-hal yang mengundang murka Allah SWT. Tak hanya sebatas sibuk mengkhawatirkan berbagai macam potensi bahkan prediksi bencana di wilayahnya, melainkan juga harus meningkatkan tawakal dan ketakwaan terhadap syariat-Nya.
Muhasabah tak cukup hanya dalam tataran individu, selayaknya pula introspeksi dilakukan terhadap skala masyarakat dan sistem negara. Ketakwaan individu, masyarakat dan negara diperlukan sebagai upaya menjauhkan murka Allah SWT. Bentuk ketaatan dan ketakwaan ketiganya harus mencakup seluruh aspek kehidupan. Termasuk dalam hal pengelolaan dan pengembangan pariwisata.
Sistem kehidupan yang dianut disuatu negeri memengaruhi kebijakan yang diambil dalam pengelolaan pariwisata. Sistem sekulerisme - kapitalisme dianut oleh mayoritas negeri-negeri muslim. Tak terkecuali negeri ini. Watak kapitalisme yang mengagungkan kebebasan. Serba bebas dalam masalah aqidah, pendapat, pemilikan dan kebebasan pribadi. Maka yang dihasilkan dari sistem ini adalah pengelolaan pariwisata yang mengedepankan komersialisme, eksploitasi sumber daya alam, gaya hidup bebas, serta sekadar hiburan/entertainment semata.
Lihatlah di setiap tempat wisata dipenuhi tempat-tempat hiburan yang memanjakan kepuasan material/jasadiah. Prioritasnya hanya untuk meraup rupiah sebagai sumber pendapatan negara/daerah. Menghalalkan segala cara, tanpa memperhatikan bertentangan dengan agama atau tidak. Sistem Kapitalisme dengan asas sekular (pemisahan agama dari kehidupan) berdampak tidak ada nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan sosial karena agama adalah urusan privat, bukan urusan publik.
Bertolak belakang dengan sistem kapitalisme - sekularisme, sistem Islam adalah sistem kehidupan yang bersumber dari wahyu Allah SWT. Aktivitas apapun harus bersandar pada hukum syara. Termasuk dalam pengelolaan dunia pariwisata. Syariat Islam merupakan patokan utama. Kearifan lokal harus menyesuaikan syariat, bukan malah sebaliknya. Artinya budaya dan kearifan lokal yang bertentangan dengan syariat Islam wajib dihilangkan.
Pariwisata dalam pandangan Islam sebagai ajang taqarrub ilallah/kesadaran akan Kemahabesaran Allah (yang berbentuk keindahan alam bersifat natural dan anugerah dari Allah SWT) dan penanaman nilai tentang kehebatan Islam dan umatnya yang mampu menghasilkan produk madaniah yang luar biasa (berupa peninggalan bersejarah dari peradaban Islam).
Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), bidang pariwisata difungsikan menjadi dua:
Pertama, objek wisata berupa keindahan alam bisa dijadikan sarana dakwah. Karena baik muslim maupun non-muslim ketika melihat keindahan alam akan takjub. Diharapkan yang beriman tambah kokoh keimanannya dan yang belum beriman akhirnya meyakini Dzat yang menciptakan alam semesta.
Kedua, objek wisata berupa peninggalan bersejarah dan peradaban Islam untuk syiar Islam. Sebagai bukti bahwa Islam pernah berada dalam masa kejayaan ketika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Dengan dijadikannya bidang pariwisata sebagai sarana dakwah dan syiar Islam oleh Khilafah, maka Negara Khilafah tidak akan mengeksploitasi bidang ini untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Ini tentu berbeda, jika sebuah negara menjadikannya sebagai sumber perekonomiannya, maka apapun akan dilakukan demi kepentingan ekonomi dan bisnis. Meski untuk itu, harus mentolelir berbagai praktik kemaksiatan. Yang berujung pada murkanya Allah SWT. Na'udzubillahi mindzalik.
Wallohua'alam bi ash-showab.