Nasib Guru Honorer dalam Pandangan Islam

Oleh: Tri S, S.Si

(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi) 

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta pekerja honorer tak memaksakan kehendak untuk mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2018. Pasalnya, ada aturan yang harus dipatuhi untuk menjadi PNS. (News.okezone.com, 20/09/2018). 

Diketahui, ratusan guru honorer mendadak mogok kerja di beberapa daerah. Mereka meminta syarat usia dan tingkat pendidikan dihapuskan agar dapat mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2018. 

Moeldoko menyarankan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Syafruddin untuk mencarikan solusi dari masalah itu. Menurut dia, pekerja honorer harus memahami ada aturan untuk menjadi seorang PNS. Sehingga, aturan tersebut harus dipenuhi. 

Wacana pemerintah yang akan mengangkat guru honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tentu menjadi angin segar bagi ratusan ribu guru honorer yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Guru honorer sendiri adalah guru tidak tetap yang belum berstatus sebagai calon pegawai negeri sipil. 

Seperti yang kita ketahui, nasib guru honorer saat ini masih sama dengan kondisi beberapa tahun kebelakang. Dengan gaji yang jauh dibawah upah minimum, bahkan banyak dari mereka yang hanya mendapat upah di bawah Rp 500.000, mereka harus bertahan hidup ditengah-tengah harga kebutuhan pokok yang terus meroket. Dengan kesempitan ekonomi tersedot, banyak guru honorer yang akhirnya mencari penghasilan tambahan dengan bermacam-macam cara. 

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud, Hamid Muhammad menyatakan ada 250 ribu guru honorer yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), guru yang berumur maksimal 33 tahun dan lulusan sarjana.

Namun, muncul pertanyaan baru, bagaimana nasib guru honorer yang telah berusia di atas 33 tahun, padahal bisa saja mereka telah mengabdikan diri bertahun-tahun untuk mendidik generasi muda Indonesia?

Disisi lain banyaknya guru honorer di Indonesia –yang mencapai 800 rubu- menjadi PR tersendiri untuk pemerintah (liputan.com). Pemerintah harus menentukan dengan cermat kriteria guru honorer yang akan diangkat menjadi PNS. Karena tidak dipungkiri, ada orang yang menjadi guru hanya untuk mengejar status PNS dan mendapat pensiunan semata. Rendahnya motivasi ini dikhawatirkan tidak meningkatkan kualitas mengajar guru tersebut. 

Di satu sisi, dunia pendidikan kita membutuhkan guru. Tapi di sisi lain, negara lalai dalam menjamin kesejahteraan mereka. 

Padahal menurut Islam, negara berkewajiban mengatur segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Seorang Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertnggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Berkaitan dengan pengaturan pendidikan, yang seharusnya dikelola oleh negara bukan hanya apa kurikulumnya, metode pengajaran, atau tidak hanya mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah dan gratis, tetapi juga menjamin kesejahteraan para pendidiknya, yaitu guru. Bahkan disebuah riwayat diceritakan, khalifah Umar bin Khaththab member upah pada guru sebesar 15 dinar ( 1 dinar = 4,25 gram emas, sekitar 29 juta rupiah). 

Begitu mulianya profesi guru dalam pandangan Islam. Sudah sepatutnya guru honorer yang selama ini antara ada dan tiada di mata pemerintah mendapatkan haknya. Karena banyak diantara mereka yang memiliki kualitas mengajar yang setara dengan guru tetap. 

Tentunya kesejahteraan guru berkaitan dengan kemampuan negara melakukan pengelolaan pada SDA yang dimiliki negara dan menjadi salah satu sumber daya alam (SDA) maupun harta negara bisa secara optimal disalurkan kepada rakyat, termasuk untuk memberi   upah yang layak bagi guru. Sehingga untuk mewujudkan kesejahteraan guru sangat diperlukan kesinergisan dengan bidang lain, salah satunya sistem ekonomi yang mampu mengoptimalkan SDA. [Tri S]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak