Oleh : Ummu Audah
(Anggota Revowriter)
Ribuan guru honorer dan guru tidak tetap di Kabupaten Blitar, Jawa Timur mogok mengajar sejak Senin (24/9/2018). Mereka berunjuk rasa di Kantor DPRD, Rabu (26/9/2018), mendesak pemerintah mengubah Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) Nomor 36 Tahun 2018 tentang Batasan Umur untuk Menjadi CPNS Jalur Honorer Maksimal 35 Tahun. Mereka juga mengadakan aksi untuk mengetuk hati pemerintah daerah terkait kesejahteraan dan nasib guru honorer. Sebab, selama ini mereka hanya diberi honor sekitar Rp.150.000 per bulan. Mereka juga menuntut pemerintah untuk memberikan kemudahan mengikuti sertifikasi seperti guru PNS. ( www.inews.id).
Sejumlah anggota Polres Blitar turun tangan mengajar ke sekolah-sekolah. Mereka menggantikan posisi guru honorer yang tidak masuk kelas karena mengikuti aksi demonstrasi dan mogok massal. Total ada sekitar 150 anggota polisi yang masuk ke sekolah di 16 kecamatan di Kabupaten Blitar. Mereka mengajar di sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP).
Kejadian guru honorer mogok masal adalah sesuatu yang memprihatinkan. Prihatin akan nasib KBM yang ditinggalkan, sekaligus prihatin atas nasib guru honorer yang tak diperhatikan sehingga menuntut mereka untuk terjun sendiri ke lapangan dalam rangka memperjuangkan perbaikan hidupnya.
Apa yang dialami oleh guru honorer merupakan bukti rapuhnya pengelolaan pendidikan dari sisi kesejahteraan pendidik. Guru honorer dibutuhkan tenaganya dan waktunya, namun eksploitasi itu tak berbalas sepadan. Masih banyak yang mendapatkan gaji sangat jauh di bawah UMR dan belum mendapat sertifikasi. Walhasil problem kesejahteraan ini tetaplah menjadi boomerang bagi totalitas pendidikan
Disatu sisi, nurani pada masing-masing honorer memanggil untuk memberikan yang terbaik bagi siswanya. Pada beberapa sekolah tertentu, jumlah PNS memang sangat sedikit, sedhingga keberlangsungan KBM juga bergantung pada adanya tenaga honorer
Sayangnya upaya guru honorer kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Janji memperbaiki nasib mereka hanya keras saat kampanye tiba. Setelahnya suara mereka masuk vote, nasibnya kembali diabaikan.
Koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk menyolusi nasib guru honorer dalam waktu cepat. Pertama, pemerintah hendaknya mampu mengupayakan agar guru honorer ini mendapat bantuan gaji standar UMR masing-masing daerah. Dananya bisa dikoordinasikan pada masing-masing pemegang kebijakan APBD. (www.mayangkaranews.com)
Kedua, pemerintah harus merombak sistem kepegawaian, minimal mengubah dan mempermudah jalur guru honorer agar bisa jadi PNS sehingga mereka yang lama mengabdi tidak gigit jari menunggu keberuntungan. Dalam hal ini langkah koordinasi Forum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia atau APKASI semoga bisa dilaksanakan.
Perlu ada perubahan paradigma pendidikan. Kacamata yang melihat pendidikan hanya sebagai unsur pelengkap ekonomi (persiapan tenaga kerja murah) harus dihilangkan. Pendidikan harus dilihat sebagai bagian penting pembentuk peradaban, sehingga elemen pembangunnya (guru dan siswa) harus benar-benar diperhatikan, termassuk dalam urusan kesejahteraan.
Sistem kapitalis mengajarkan modal sedikit untung banyak, dalam hal ini kalau bisa keluar dana penggajian sedikit tapi bisa banyak produksi tenaga kerja. Sehingga jika tetap bergantung pada sistem kapitalis, maka problematika guru honorer akan terus berlangsung.
Peran pendidik sebagai bagian integral pendidikan mencetak generasi penerus peradaban harus dimuliakan. Layaknya sistem Islam di Masa Nabi dan Umar RA yang memberikan gaji tinggi bagi guru, maka minimal seperti itulah perlakuan yang seharusnya. Namun, ilusi belaka jika tidak ditopang oleh sistem Islam yang direapkan secara keseluruhan.