Menyuburkan Syirik Mengundang Murka


Oleh: Kunthi Mandasari (Member Akademi Menulis Kreatif Regional Jawa Timur)


Semakin kesini pesona wisata semakin diminati. Tak heran jika saat ini banyak bermunculan destinasi wisata baru. Dengan mengusung konsep modern yang kekinian atau malah konsep etnik budaya lokal. 

Misalnya upaya mengangkat kembali ritual sesajen penyembuhan suku Kaili yang berada di pantai Talise, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Ritual ini digunakan ratusan tahun lalu sebelum mengenal dokter dan rumah sakit. Cara terampuh bagi masyarakat untuk menyembuhkan. 

Beda lagi dengan pemerintah kabupaten Probolinggo yang berharap Festival Gunung Slamet (FGS) ditetapkan Kemenpar sebagai agenda pariwisata nasional. Hal ini dilakukan guna melestarikan budaya dan promosi pariwisata di lereng sebelah timur Gunung Slamet. Jika mengacu pada tahun-tahun sebelumnya rangkaian acaranya meliputi prosesi pengambilan air dari Tuk Sikopyah dilakukan pada hari pertama dan selanjutnya disemayamkan sebelum ruwatan, namun dalam kegiatan kali ini dilakukan pada hari kedua dan langsung ruwatan. Dengan demikian, kegiatan pada hari pertama FGS 2018 diisi berbagaia atraksi bernuansa religi, (republika.co.id,30/09/2018).

Islam sendiri tidak melarang adanya eksistensi pariwisata. Karena Islam memandangnya untuk mentadaburi ciptaan Allah SWT. Membangun kesadaran mengenai alam dan mengenal Allah SWT melalui ciptaan-Nya. Guna meningkatkan keimanan kepada-Nya. Serta selama pariwisata tersebut tidak melanggar syariah.

Sayangnya pariwisata yang digadang-gadang mampu menambah wisatawan justru jauh dari syariah. Dengan alasan menyuguhkan budaya lokal yang berbeda dari destinasi lainnya, yang justru membuka peluang pendangkalan akidah. Mendorong masyarakat kembali pada paham animisme dan dinamisme. Dan keberadaannya menarik masyarakat masuk ke dalam lembah kesyirikan. Membawa kembali masyarakat ke jaman jahiliyah dimana tak mengenal Allah SWT sebagai Tuhan yang berhak disembah dan meminta segala sesuatu.

Dengan dibalut dengan konsep Islam yaitu wudhu dan rebana, menyamarkan dari pandangan umat yang masih banyak belum paham Islam. Dan tentunya dianggap sah-sah saja. Bukti nyata bahwa masyarakat telah termakan propaganda barat melalui 3F (Food, Fun & Fashion).  Masyarakat dilenakan oleh kebahagian semu, memilih wisata berdasarkan nafsu. Mencari label hit dan beda. Dimana semakin beda semakin dicari. 

Padahal dengan menyuburkan kesyirikan berarti mengundang murka Allah SWT. Masih segar dalam ingatan peristiwa tsunami yang menghantam kota Palu hari Jumat sore, (29/09). Dimana masyarakat setempat yang sedang asyik menantikan acara pembukaan fetsival 'Pesona Palu Lomoni' yang digelar di pantai anjungan Nusantara, Kota Palu. Ada seribuan warga yang berkumpul, termasuk pelajar yang akan ikut mengisi acara festival itu. 

Diperkirakan korban meninggal dunia akibat gempa-tsunami di Palu dan sekitarnya telah mencapai 1.571 orang dan sebanyak 1.000 lainnya mungkin terkubur reruntuhan rumah dan bangunan (bbc.com, 05/10/2018).

Cukuplah musibah sebagai pembelajaran. Teguran bertubi-tubi sebagai pengingat diri. Mulai dari gempa Lombok yang berlangsung ratusan kali, hingga tsunami Palu dan Donggala. Pengingat bahwa kita adalah hamba yang lemah dan tidak memiliki kekuatan apapun tanpa pertolongan Allah SWT. Dan sepatutnya taat kepada terhadap seluruh perintah-Nya.

Namun untuk merealisasikan itu semua diperlukan campur tangan negara untuk memberikan kebijakan, peraturan dan pengawasan. Bukan hanya dalam pariwisata tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan yang memang saling berkaitan.

Pariswisata sebenarnya berpotensi sebagai pemasukan bagi negara. Tentunya dengan memperhatikan tata kelola yang berlandaskan syariat. Misal diperlukan perhotelan dan akomodasi yang sesuai syariah, menjamin adanya makanan dan minuman halal. Ketersediaan hotel yang tidak disalah gunakan untuk kegiatan maksiat. Serta cinderamata yang halal dan tidak mengandung unsur syirik. Bahkan tempat makan pun memperhatikan hukum ikhtilat.

Tentunya semua itu dapat terwujud kalau Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai negara. Bukan dalam sistem sekularisme yang menumbuhsuburkan syirik yang mengundang murka. Insya Allah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak