Mencari Pewaris Nabi Ditengah Politisasi Ulama

Oleh: Tri S, S.Si

(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)

Hari ini hubungan ulama dengan umat Islam terbangun tampak kuat dalam tataran spiritual dan saat umat Islam dihadapkan pada sejumlah persoalan hidup, umat Islam masih menjadikan ulama sebagai ‘penasihat spiritual’ mereka. Begitupun dalam ibadah ritual atau tradisi keagamaan, mereka tetap merujuk pada ulama. Namun hal ini tidak otomatis terjadi dalam kaitannya dengan pilihan politik sementara kepemimpinan politik kadang dibiarkan diambil oleh para politikus yang sekuler. 

“Sesungguhnya Ulama adalah pewaris para Nabi. Sungguh para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak”. [HR.Tirmidzi]

Hadis tersebut bermakna bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Yang meneruskan pesan agung dari Rasul Muhammad SAW pada umat. Penyambung lidah risalah dari generasi ke generasi.

Akhir zaman ini memang begitu banyak nampak kerusakan dan kesesatan. Termasuk di dalamnya ada ulama-ulama su’(rosak). Mereka adalah ulama yang menyebarkan kesesatan di tengah umat. 

Menyerukan Islam Rahmatan Lil Alamin tetapi tetap lantang menyuarakan sekularisme, liberalisme, mengatakan semua agama sama, membataskan Islam hanya sebatas ibadah ritual, sehingga menolak penerapan syariat Islam kaffah. Mereka menganggap hanya dirinya yang benar. Sedang lainnya tidak berhak masuk syurga jika tanpanya. Pelik dan menyesakkan. Di saat ulama yang sepatutnya menjaga Diin ini, justru mendorong umat terjun pada jurang kesesatan. 

Umat butuh kehadiran ulama untuk menjaga umat dari tindak kejahatan, pembodohan  dan penyesatan yang dilakukan oleh kaum liberalis melalui gagasan, keyakinan dan sistem hukum yang bertentangan dengan Islam. Karena itu, ulama juga harus mampu menjelaskan kepada umat Islam tentang kerusakan semua pemikiran dan sistem yang cacat seperti kapitalisme, komunisme, pluralisme, sekularisme, dsb.

Ulama yang layak kita ikuti dimasa huru-hara ini adalah ulama yang tidak mendatangi pintu penguasa. Seperti yang Rasulullah SAW  bersabda”Barangsiapa mendatangi pintu penguasa maka Ia akan terfitnah”. [HR. Abu Dawud]

Tentunya larangan tersebut adalah untuk ulama yang membenarkan tindakan atau kebijakan penguasa yang bertentangan dengan Alquran , Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Para ulama yang benar adalah mereka yang lantang menyuarakan kebenaran ditengah umat. Membangkitkan semangat umat untuk menegakkan Kalimatullah. Memenuhi hak-hak Allah atas langit dan bumi. Tidak takut dengan penguasa yang zalim, yang tidak mau menerapkan hukum Allah di atas muka bumi. Kezuhudannya tidak dapat dibeli dengan uang sebanyak apapun. Bahkan kekuasaan paling tinggi. Sebab kecintaannya terhadap keterikatan pada hukum Allah tidak sebanding dengan dunia dan seisinya. 

Ulama juga menjadi pengontrol penguasa. Peran dan fungsi ini hanya bisa berjalan jika ulama mampu memahami konstelasi politik global dan regional. Ulama juga harus mampu menyingkap makar dan permusuhan kaum kafir dalam memerangi Islam dan kaum Muslim. Dengan ungkapan lain, ulama harus memiliki visi politis-idiologis yang kuat. 

Maka tidak ada yang lain yang harus kita lakukan kecuali bersatu dengan para ulama. Menguatkan pegangan kepada tali agama Allah. Bersama-sama memperjuangkan segera tegaknya syariat Islam yang mulia. Agar kemuliaan ulama dan umat kembali Berjaya. Sehingga mampu menerangi peradaban dengan Islam. [Tri S]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak