Oleh; Zakiyah Almanaf
Sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah perumpamaan yang tepat bagi orang yang ditimpa bencana yang tidak berkesudahan. Mungkin hal serupa inilah yang sedang menimpa saudara kita di Palu dan Donggala. Donggala berduka dan duka yang tak berkesudahan. Bencana alam yang merenggut banyak kehidupan, harta dan semua yang ada sampai tak bersisa. Seolah semua itu belum cukup untuk derita mereka. Duka lara mereka belum usai, penanganan belum nyata dirasakan perbaikan masih jauh dari harpan. Kini mereka harus dihadapkan pada kenyataan pahit, bencana susulan yaitu bencana kemanusiaan.
Sungguh manusia yang kehilangan nurani yang mampu menorehkan luka diatas sayatan luka yang masih menganga. Namun ternyata manusia mati rasa itu ada dan nyata. Dalam dekapan duka Palu dan Donggala terselip kisah duka tentang perilaku manusia yang memanfaatkan kondisi yang crowded dengan aksi trafficking. Bermantel kemanusiaan bertopeng pengiriman bantuan ternyata ada kejahatan yang disembunyikan. Ditengah terpisahnya nyawa manusia, terpisahnya dengan sesama keluarga ada sekelompok orang yang mengambil keuntungan dengan menculik anak-anak korban untuk kemudian dijual.
Sindikat perdagangan anak mengincar anak-anak korban gempa Sulawesi Tengah, yang di evakuasi ke Makasar, Sulawesi Selatan. Setidaknya hingga kekinian terdapat satu kasus seorang anak korban gempa kota Palu, Sulteng nyaris menjadi korban sindikat tersebut. Suara.com, Kamis (4/10/2018).
Dalam situasi bencana, jatuhnya korban jiwa merupakan potensi yang tidak bisa dipungkiri. Termasuk anak-anak yang rentan menjadi korban perdagangan anak pasca bencana alam. Seperti halnya yang terjadi di Palu. Menurut LPA belajar dari pengalaman diatas harusnya semua pihak lebih memproteksi anak-anak yang terpisah dari orangtua atau keluarga mereka agar tidak menjadi korban perdagangan dan eksploitasi anak.
Bencana senantiasa menyisakan duka, termasuk buat anak-anak. Banyak sekali hak mereka yang terampas, hak mendapatkan penghidupan yang baik misalnya. Ini sulit didapatkan oleh anak korban bencana, terpisah atau kehilangan keluarga menjadikan anak-anak kehilangan jaminan untuk penghidupan yang baik. Karena saat ini negara tidak mampu mengambil peran penjaga dalam memberikan hak anak.
Hak berikutnya yang ikut hilang hak mendapatkan nafkah, hak pendidikan dan kasih sayang, hak keamanan semua ikut tergerus hilang. Mereka butuh penjagaan setelah keluarga yang menjadi penjaga utamanya hilang. Tindakan tanggap darurat dan evakuasi diberikan bukan hanya sekedar memberikan rasa aman dari bencana dan memberikan makanan pokok saja. Tapi masyarakat dan negara harus bekerjasama membantu korban dan menjaga keamanannya termasuk untuk anak-anak. Perlindungan yang diberikan dengan memenuhi semua hak anak menjadi sebuah kewajiban. Sehingga upaya tanggap darurat adalah upaya serius penyelematan dan perlindungan sampai dengan mereka mendapatkan kembali penghidupan yang layak.
Tentu saja dalam kapasitasnya steak holder lah yang memiliki wewenang dalam hal ini. Penguasa harus supaya anak korban bencana bisa tetap mendapatkan hak-haknya. Negara wajib turun untuk mengontrol penuh dan memastikan semua korban bisa dievakuasi dengan baik, semua kebutuhan mereka terpenuhi, mereka dipertemukan dengan keluarganya. Negara tidak bisa lepas tangan menyerahkan semua pengurusan pasca bencana hanya kepada lembaga-lembaga sosial yang justru menjadi pembuka jalan untuk masuknya berbagai kejahatan memanfaatkan kondisi yang terjadi. Negara harus tempil menjadi pemeran utama dan penanggungjawab melindungi seluruh korban tidak terkecuali anak.