Kontemplasi saat Musibah Silih Berganti

Oleh: Fitria Miftasani, M.Si 

(Dosen dan Ibu Rumah Tangga)

Belum kering luka akibat musibah yang terjadi di Lombok, Indonesia kembali diguncang oleh gempa dan disusul oleh Tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Gempa berkekuatan 7,4 SR menggucang daerah tersebut kemudian disusul oleh Tsunami yang memporak porandakan daerah sekitar pantai. Akibat gempa ini ribuan orang dilaporkan meninggal dunia kebanyakan karena tertimpa reruntuhan bangunan dan terkena Tsunami. Musibah kali ini benar-benar dahsyat karena ada wilayah yang hilang karena ditelan bumi. Video amatir banyak merekam kondisi mencekam saat gempa dan tsunami dan terlihat rumah bergerak seperti terbawa air. Banyak musibah yang tidak sesuai prediksi bahkan diluar nalar terjadi yang membuat kita kembali berkontemplasi. Fakta bahwa manusia itu sangat lemah adalah fakta adanya. Rumah, gedung, jembatan, jalan yang dibuat bertahun tahun dengan kokohnya, hancur seketika oleh Tsunami yang singkat. 

Musibah gempa ini seharusnya membuat seluruh penduduk negeri merenung. Seperti yang pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab. Di kota Madinah, salah satu tanah paling suci di muka bumi, gempa juga datang menyambangi. Madinah adalah kota terbaik yang akan menyaring dan mengusir kotoran sosialnya. Umar, adalah khalifah yang hidup di kurun terbaik setelah Rasulullah saw. Ketika terjadi gempa, Umar bin Khattab mengumpulkan orang-orang dan berpidato di hadapan mereka, “Wahai penduduk Madinah, alangkah cepatnya kalian berubah. Demi Allah kalau sampai terjadi lagi gempa, aku akan pergi dan tidak mau lagi hidup bersama kalian”. Umar menyikapi gempa dengan keimanan dan langsung menyuruh penduduk bertaubat. 

Gempa adalah salah satu pertanda dekatnya hari kiamat sehingga patut bagi kita untuk berinstrospeksi. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda; “Tidak terjadi hari kiamat dan sehingga dihilangkannya ilmu, banyak gempa bumi.” (HR. Bukhari, no 978)

Bencana alam membawa berbagai pesan. Pesan bagi para penguasa untuk menakar sejauh mana membuat jarak dengan syariat-Nya. Pesan bagi penduduk negeri, apakah selama ini maksiyat dilakukan dan tak mau berhenti. Pesan bagi kita semua untuk tunduk, pasrah, dan menyadari bahwa kita ini lemah dan tak memiliki kuasa atas alam.

Imam Ibnu Qayyim berkata; “Kadang-kadang dalam satu kesempatan, Allah SWT mengizinkan bumi untuk menghembuskan nafasnya, maka terjadilah gempa dahsyat. Lalu muncullah rasa takut dan tunduk pada diri hamba-hamba-Nya, pasrah dan meninggalkan maksiyat menggantikannya dengan khusyu’ kepada Allah dan penuh rasa penyesalan”

Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh setiap elemen di negeri ini dalam menghadapi bencana. Pertama, sebagai individu masyarakat kita perlu meningkatkan ketakwaan. Sifat takwa membentengi diri dari kemaksiyatan yang umum terjadi saat ini seperti riba, pergaulan bebas yang berujung pada perzinahan, pembunuhan, dan banyaknya kerusakan yang terjadi karena ulah manusia sendiri. Sifat takwa juga membuat kita merasa selalu diawasi sehingga enggan berbuat maksiyat sehingga jika Allah memanggil kita kembali kepada-Nya kita dalam kondisi yang Husnul Khotimah. Insya Allah. Kedua dari sisi masyarakat, sikap saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran harus kembali dilakukan. Menasehati penguasa dan berdakwah dalam rangka amar ma’ruf nahyi mungkar patut dilakukan sebagai seorang Muslim. Penduduk negeri harus menasehati pemimpinnya ketika ada program kerja pemerintah yang tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Sikap saling tolong menolong, empati, kepada para korban bencana juga harus terus dipupuk. Ketiga, yang terpenting adalah peran penguasa. Tanggung jawab penguasa harus kembali sebagai pengurus urusan rakyat bukan asing atau bahkan mementingkan perutnya sendiri. Penguasa harus menjadi yang terdepan dalam membantu korban bencana alam. Penguasa harus bertakwa dan fokus untuk memperbaiki kondisi negeri tanpa terpasung oleh kepentingan asing dan kepentingan lainnya. 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak