Oleh : HM. Ismail Yusanto
Belum berakhir duka Lombok, kini hadir duka Palu. Kali ini lebih dahsyat. Tak hanya gempa bumi, tetapi juga tsunami. Nyaris seluruh rumah dan bangunan hancur-lebur. Sebagian besar infrastruktur luluh-lantak. Lebih dari 1000 orang wafat. Sebagian karena tertimpa reruntuhan bangunan akibat gempa bumi. Sebagian lagi diterjang tsunami. Sebagiannya lagi tertimbun lumpur. Banyak korban hilang. Belum ditemukan hingga saat ini. Karena itu jumlah korban meninggal kemungkinan akan terus bertambah.
Bencana seolah tak pernah mau beranjak dari negeri ini. Gempa bumi di berbagai daerah terus terjadi. Susul-menyusul. Tragedi demi tragedi seolah tak ingin meninggalkan tanah air ini. Duka-nestapa seolah tak mau beranjak dari bumi katulistiwa ini.
Bagian dari Ujian
Semua bencana ini tentu harus disikapi secara tepat oleh setiap Muslim. Dalam hal bencana karena faktor alam, seperti gempa bumi dan tsunami, sikap kita jelas. Semua itu merupakan bagian dari sunatullah atau merupakan qadha’ (ketentuan) dari Allah SWT. Tak mungkin ditolak atau dicegah. Di antara adab dalam menyikapi qadha ini adalah sikap ridha. Juga sabar. Baik bagi korban ataupun keluarga korban. Bagi kaum Mukmin, qadha’ ini merupakan ujian dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut dan kelaparan. Juga dengan berkurangnya harta, jiwa dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (TQS al-Baqarah [2]: 155).
Orang berakal akan menjadikan sikap sabar sebagai pilihannya dalam menyikapi bencana/musibah. Ia pun ridha terhadap qadha’ dan takdir Allah SWT yang menimpa dirinya tanpa berkeluh-kesah. Ia meyakini bahwa sebagai manusia ia tak mampu menolak qadha’. Semua ini sudah merupakan ketentuan Allah SWT. Karena itu ia wajib menerima qadha’ dan takdir Allah SWT (Al-Jazairi, Mawsû’ah al-Akhlâq, 1/137).
Penghapus Dosa
Selain sebagai ujian, bencana apapun yang menimpa seorang Mukmin, besar atau kecil, sesungguhnya bisa menjadi wasilah bagi penghapusan dosa-dosanya. Rasulullah saw. bersabda:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
Tidaklah seorang Muslim tertimpa musibah (bencana) berupa kesulitan, rasa sakit, kesedihan, kegalauan, kesusahan hingga tertusuk duri kecuali Allah pasti menghapus dosa-dosanya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Tentu, dosa-dosa terhapus dari orang yang tertimpa musibah jika ia menyikapi musibah itu dengan keridhaan dan kesabaran (Lihat: Ibn Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn, 1/272; As-Samarqandi, Tanbîh al-Ghâfilîn, 1/255).
Akibat Dosa dan Kezaliman Penguasa
Dalam kasus Gempa Palu khususnya, sebetulnya ada faktor di luar qadha’ yang memperparah bencana. Bahkan menimbulkan “bencana” baru. Sayangnya hal itu tidak diantisipasi oleh Pemerintah sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat. Akibatnya, korban gempa bumi maupun tsunami demikian banyak. Pasalnya, Pemerintah cenderung lalai bahkan abai. Pemerintah, misalnya, tak segera memperbaiki atau mengganti alat pendeteksi tsunami yang konon sudah sejak tahun 2012 tidak berfungsi. Pencabutan peringatan dini tsunami oleh BMKG juga cenderung terburu-buru. Faktanya, tsunami benar-benar terjadi sesaat setelah Gempa Palu. Akibatnya, banyak orang tak sempat menyelamatkan diri dari terjangan tsunami sehingga mereka banyak yang jadi korban.
Yang juga mengakibatkan korban bertambah banyak adalah Pemerintah tak segera melakukan upaya tanggap darurat. Akibatnya, banyak korban gempa bumi dan tsunami yang masih hidup ditimpa kelaparan karena tidak segera mendapatkan bantuan makanan, obat-obatan dan logistik yang mereka butuhkan. Penderitaan mereka makin bertambah saat mereka kesulitan mengakses air bersih, listrik dan transportasi yang juga tak segera dicarikan solusinya oleh Pemerintah.
Parahnya, meski memakan korban ribuan orang dan mengakibatkan kerusakan parah di sana-sini, Pemerintah enggan menetapkan Gempa Palu sebagai bencana nasional. Yang tak kalah parah, Pemerintah—sebagaimana banyak diinformasikan di berbagai media sosial—malah terkesan memberikan “perintah” kepada korban gempa untuk melakukan penjarahan toko-toko di sekitar di lokasi gempa demi memenuhi kebutuhan mereka dengan alasan darurat. “Perintah” ini nyatanya menimbulkan persoalan baru. Pasalnya, para penjarah banyak yang datang dari luar Palu. Barang-barang yang dijarah pun bukan sekadar bahan makanan. Sebagian mereka ada yang menjarah toko emas, toko elektronik, termasuk SPBU. Bahkan ada yang membobol ATM.
Jelas, semua ini makin memperparah keadaan. Makin menambah jumlah korban. Semua ini seolah menjadi “bencana” baru yang sebetulnya tak seharusnya terjadi. Alias bisa dihindari. Semua ini antara lain akibat kesalahan, dosa dan kemaksiatan para penguasa dan pejabat negara. Mereka tampak tidak amanah dalam mengurus rakyat. Tidak profesional. Bahkan cenderung bertindak zalim terhadap rakyat. Mereka malah sibuk berdebat. Sibuk membantah sana-sini. Menyatakan bahwa tak ada penjarahan di Palu. Menuding info tentang FPI yang cepat tanggap membantu korban bencana di Palu sebagai hoax. Juga hal-hal lain yang cenderung kontraproduktif. Jelas, semua itu merupakan tindak kezaliman penguasa terhadap rakyat.
Sebetulnya, kezaliman penguasa bukan saja dalam hal kebijakannya yang cenderung mengabaikan nasib rakyat saat tertimpa bencana. Banyak kebijakan penguasa yang cenderung makin menambah penderitaan rakyat seperti: terus menaikkan harga BBM, tariff listrik, iuran BPJS, tarif tol, dll. Di sisi lain, sumberdaya alam milik rakyat terus dibiarkan dikuasai oleh pihak asing. Akibatnya jelas, rakyat terus ditimpa aneka bencana seperti kemiskinan, pengangguran, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, dll.
Semua bencana ini, sebagaimana dinyatakan al-Quran, hanyalah akibat dosa dan kemaksiatan manusia. Akibat mereka tidak mengamalkan dan menerapkan syariah-Nya. Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan tangan (kemaksiatan) manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan (kemaksiatan) mereka itu agar mereka kembali (ke jalan-Nya) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Teladan Khalifah Umar ra. dalam Mengatasi Bencana
Imam al-Haramain (w. 478 H) menceritakan bahwa pada masa Umar ra. pernah terjadi gempa bumi. Khalifah Umar ra. segera mengucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Saat itu bumi sedang berguncang keras. Khalifah Umar ra. lalu memukul bumi dengan cambuk sambil berkata, “Tenanglah engkau, bumi. Bukankah aku telah berlaku adil kepadamu.” Seketika bumi pun behenti berguncang.
Imam al-Haramain menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi. Sebabnya, Khalifah Umar ra. adalah Amirul Mukminin secara lahir dan batin. Beliau adalah khalifah Allah bagi bumi dan penduduknya (Yusuf al-Nabhani, Jâmi’ Karamâti Al-Awliyâ’, 1/157–158).
Alhasil, keadilan Umar ra. sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi sanggup menjadikan bumi “bersahabat” dengan manusia.
Sebaliknya, kezaliman penguasa bisa menyebabkan bumi terus berguncang. Saat menafsirkan QS ar-Rum ayat 41 di atas, Imam Ibnu katsir mengutip pernyataan Abu al-Aliyah terkait perusakan bumi. Kata Abu al-‘Aliyah:
مَنْ عَصَى اللَّهَ فِي الْأَرْضِ فَقَدْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ لِأَنَّ صَلَاحَ الْأَرْضِ وَالسَّمَاءِ بِالطَّاعَةِ
Siapa saja yang bermaksiat kepada Allah di bumi maka sungguh ia telah merusak bumi. Sungguh kebaikan bumi dan langit adalah dengan ketaatan (kepada Allah SWT) (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, 6/320).
Segera Bertobat!
Karena itu satu-satunya cara untuk mengakhiri ragam bencana ini tidak lain dengan bersegera bertobat kepada Allah SWT. Tobat harus dilakukan oleh segenap komponen bangsa, khususnya para penguasa dan pejabat negara. Mereka harus segera bertobat dari dosa dan maksiat serta ragam kezaliman. Kezaliman terbesar adalah saat manusia, terutama penguasa, tidak berhukum dengan hukum Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak memerintah/berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan, mereka adalah para pelaku kezaliman (TQS al-Maidah [5]: 5).
Karena itu pula tobat terutama harus dibuktikan dengan kesediaan mereka untuk mengamalkan dan memberlakukan syariah-Nya secara kâffah dalam semua aspek kehidupan (pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, pendidikan, sosial, dsb). Jika syariah Islam diterapkan secara kâffah, tentu keberkahan akan berlimpah-ruah memenuhi bumi. Mengapa? Karena penerapan hukum Islam atau syariah Islam secara kaffah adalah wujud hakiki dari ketakwaan. Ketakwaan pasti akan mendatangkan keberkahan dari langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Andai penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan membukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) sehingga Kami menyiksa mereka sebagai akibat dari apa yang mereka perbuat (TQS al-A’raf [7]: 96).
WalLahu a’lam.