Keberlangsungan Pendidikan Anak Pasca Bencana

Oleh : Fadhilah UH 

(Women Movement Institute)


  Trauma dan rasa takut, sering menghantui anak-anak korban bencana gempa Palu-Donggala. Kesedihan begitu mendalam dan kehilangan anggota keluarga menjadi catatan kehidupanya. Banyak pula anak-anak yang akhirnya keluar Palu kembali ke kampung halaman. Seperti 59 anak usia sekolah terpaksa kembali ke Desa Titik, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan.


  Data dari Pemkab Lamongan menyebutkan, setidaknya terdapat 59anak yang terdiri atas 37 siswa SD, 13 siswa SMP, dan 9 siswa SMA/SMK. Kabag Humas dan Protokol Pemkab Lamongan, Agus Hendrawan mengungkapkan anak-anak ini akan dipersilahkan untuk melanjutkan pendidikan, bahkan secara cuma-cuma di Lamongan. Mereka memang sengaja dibebaskan dari urusan administrasi dan biaya.(https://m.detik.com/news/berita-jawa-timur-d-4248997/anak-korban-gempa-tsunami-sulteng-sekolah-gratis-di-lamongan).


  Langkah Pemkab Lamongan, sebagai pihak yang mengurusi urusan umat patut diapresiasi. Sudah seharusnya Pemkab memberikan pelayanan publik berupa pendidikan kepada semua anak, tanpa membedakan dalam kondisi bencana atau tidak. Hal ini disebabkan pendidikan menjadi kebutuhan asasi yang wajib dipenuhi negara. Jika SDM dibangun optimal, maka anak-anak yang mengeyam pendidikan akan mampu berdaya dan sumbagsih pada negara.


  Upaya keberlangsungan pendidikan bagi anak terdampak bencana harus pula diikuti dengan upaya lain. Berikut yang bisa dilakukan oleh pemerintah atau lembaga yang berwenang dalam pendampingan.


Pertama, trauma healing. Rasa trauma dan ketakutan inilah yang perlu dihilangkan secara berangsur. Pihak berwenang bisa mengajak psikiater, pendongeng, pendidik, dan lainnya untuk membantu anak-anak pulih secara pikiran.


Kedua, menanamkan aqidah yang sahih kembali kepada anak. Menjelaskan bahwa setiap bencana yang terjadi atas kehendak Allah. Misalnya gempa. Bumi ini milik Allah dan Dia berkehendak memerintahkan lempengan bumi untuk bergeser yang bisa menimbulkan goncangan. Pun tsunami, air laut yang pasang dan memasuki daratan juga digerakan Allah. 


Peristiwa bencana bagi manusia—termasuk anak-anak—juga dapat dijadikan pelajaran bahwa ini menjadi tanda akhir zaman. Orang beriman pasti menggunakan akal dan pikirannya untuk taat. Jika bencana ini sebagai adzab berarti manusia harus segera bertaubat. Jika bencana sebagai ujian, berarti manusia diminta sabar dan terus berikhtiar menangkal dengan tawakal.


Ketiga, mengajak anak-anak untuk tetap semangat dalam menghadapi masa depan. Tak lupa disiapkan model pembelajaran tanggap bencana. Tujuannya, ketika bencana datang tiba-tiba ada upaya penyelamatan diri. Hal yang paling penting menjaga alam dan lingkungan agar berjalan sesuai perintah Allah Swt.


Keempat, menyiapkan kehidupan anak-anak dalam menyongsong masa depan. Jika ada anak yang keluarganya meninggal, si anak harus ditanamkan menjadi anak yang soleh dan solehah. Sebab dengan itu, keluarga yang wafat senantiasa mendapat kiriman amal jariyah dari anaknya.


Pewujudan anak soleh dan solehah tentu dimulai dengan menanamkan pendidikan aqidah yang kuat. Ditambah dengan penguasaan sains dan teknologi agar anak mampu mengarungi kehidupan dunia dengan sebaik-baiknya. Karakter yang diwujudkan harus memiliki kepribadian yang islami.

 

  Negara bersama jajaran pemerintahan bawahnya harus benar-benar memperhatikan pengurusan pendidikan anak-anak. Negara harus melindungi mereka dari ancaman perdangangan anak, pendangkalan aqidah, penyesatan pemikiran, dan upaya pemberangusan generasi. Ketika urusan anak-anak bisa dipenuhi oleh negara, maka tak lama lagi Indonesia bisa hebat muncul generasi emas. Generasi yang taat pada Allah dan Rasul-Nya dan siap berjuang untuk agamanya.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak