Oleh: Indriani SE, Ak
(Penulis dan Pemerhati Ekonomi)
"Indonesia berpeluang mengantongi investasi senilai Rp200 triliun dari kesepakatan kerja sama di Indonesia Investment Forum (IIF) di Bali. IIF ialah satu dari rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018." (cnnindonesia.com, 8/10)
PT Bank Mandiri Tbk mengkoordinasikan investasi langsung senilai Rp 200 triliun di 21 proyek Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kesepakatan kerja sama investasi tersebut dilakukan dalam rangkaian acara Indonesia Investment Forum (IIF) 2018 yang diinisiasi oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN melalui Bank Mandiri.
Forum investasi yang berlangsung di Hotel Conrad Nusa Dua Bali, Selasa (9/10) ini, diselenggarakan untuk mengoptimalkan pertemuan tahunan IMF dan World Bank di Bali. Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rohan Hafas mengatakan, forum ini sangat penting untuk menciptakan sinergi antara investor, pemangku kepentingan dan berbagai peluang investasi yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Di sela pertemuan delegasi-delegasi IMF dan World Bank, Bank Mandiri membantu mengkoordinasikan forum investasi Indonesia ini, dimana nantinya ratusan investor akan mengeksplorasi potensi-potensi investasi di Indonesia,” kata Rohan dalam keterangan yang diterima Kontan.co.id, Senin (8/10).
Pada forum investasi tersebut, juga akan ada penandatanganan investasi langsung dari 21 proyek Badan Usaha Milik Negara. “Total nilai investasinya mencapai sekitar Rp 200 triliun dan ini merupakan investasi langsung dimana 95% diantaranya berasal dari luar negeri,” ujar Rohan.
Tawaran Utang dalam Balutan Investasi
Mengamati perkembangan ekonomi Indonesia hari ini. Tentu bukanlah sesuatu hal yang baru, manakala ada tawaran investasi yang sedemikian masif. Mengingat SDA indonesia yang kian berlimpah. Hingga mendapatkan gelar negeri zamrud khatulistiwa. Dimana kala tongkat dibenamkan ke dalam tanah, bukan sesuatu hal yang mustahil akan tumbuh subur dan menghasilkan bongkahan emas. Demikianlah gambaran kekayaan yang luar biasa atas negeri ini.
Daya tarik inilah yang sejatinya menjadikan negara maju, baik asing dan aseng menginginkan untuk menguasainya. Maka, berbagai cara diupayakan agar kekayaan negeri berkembang seperti Indonesia tidak lepas dari cengkeramannya. Salah satunya adalah tawaran investasi yang sejatinya hanyalah wajah manis dari utang. Ibarat racun yang dikemas layaknya madu. Penampilannya manis namun mematikan.
Sebagaimana yang diketahui bersama. Keberadaan utang Indonesia yang mengalami kenaikan setiap tahunnya, tentu bukanlah sesuatu yang baru bagi rakyat Indonesia. Hanya saja, menjadi sebuah pertanyaan yang menggelitik, apakah utang ini akan dibiarkan kian menggunung? Dan dapatkah dibayar dengan lunas tanpa menyisakan beban bagi rakyat Indonesia?
Mengamati akan perjalanan utang di Indonesia, yang setiap tahun bukannya berkurang, namun cenderung naik dengan demikian signifikan. Memberikan gambaran bagaimana sejatinya sistem ekonomi kapitalis menjadikan utang itu sebagai sebuah keniscayaan. Bahkan pada akhirnya, menjadikannya sebagai sebuah kebutuhan. Dimana menyisakan konsekuensi yang bersyarat dari utang tersebut.
Utang dalam Sistem Kapitalisme
“Utang negara (Inggris: Sovereign debt) adalah utang yang dijamin oleh pemerintah, sering disebut sebagai utang luar negeri. Dalam rangka mengumpulkan uang, pemerintah akan menerbitkan obligasi dan menjualnya kepada investor asing (pemberi pinjaman). Obligasi adalah instrumen utang yang harus dibayar kembali pada waktu tertentu (bisa selama sepuluh tahun atau satu tahun) dengan pokok utang ditambah bunga. Untuk membayar utang, pemerintah harus mengembalikannya dalam mata uang asing saat ia menjual obligasi”. (Wikipedia)
Kalau kita telaah lebih mendalam, ideologi kapitalisme sebagai basis kekuatan yang dikembangkan dunia terutama Amerika, Eropa dan negara-negara maju, punya pengaruh yang kuat terhadap utang ini. Karena dalam kapitalisme, utang telah menempati peran penting melalui mekanisme ekonomi kapitalis.
Dalam konteks negara, khususnya negara berkembang seperti Indonesia, tingkat utang pemerintah yang tinggi yang didanai oleh utang luar negeri bisa menurunkan pengaruh politis negara dalam percaturan global. Bahkan risiko terbesar yang harus dihadapi negara yaitu berujung pada hilangnya kedaulatan negara. Karena kita bisa mengetahui bagaimana asing bisa mendikte sebuah negara yang mempunyai beban utang sangat tinggi melalui syarat-syarat yang mereka ajukan dalam memberikan utang.
Demikianlah kapitalisme telah menjadikan utang sebagai alat baru untuk menguasai Indonesia. Sebagaimana yang kita pahami bersama, bahwa “tidak ada makan siang gratis” dalam sistem Kapitalisme-Neoliberal saat ini. Artinya, melalui utang inilah, Indonesia diikat dengan semua kepentingan Barat.
Utang, Penjajahan Gaya Baru
Sejatinya bagi negara yang menjadikan Kapitalisme sebagai Ideloginya baik secara penuh maupun sebagian, maka akan ada konsekuensi untuk mengemban atau menyebarluaskannya. Karena sejatinya demikianlah Kapitalisme telah menjadikan Imperialisme sebagai Thoriqoh (metode) dalam mengemban Ideologinya.
Maka, apabila sebelumnya penjajahan itu nyata karena bersifat fisik. Berbeda halnya dengan imperialisme gaya baru. Dimana penjajahan yang digunakan adalah melalui gaya soft, baik melalui pemikan (ide-ide yang disebarluaskan) maupun melalui utang.
Sehingga, melalui utang inilah, Barat sebagai negara imperialis, berupaya untuk menjajah dan mencengkeram negeri-negeri Islam agar senantiasa bergantung dan kehilangan independensinya sebagai sebuah negara. Baik itu di negeri-negeri Islam yang mayoritas muslimnya maupun yang minoritas.
Ditambah lagi, apabila memahami bagaimana konstalasi politik Barat dalam sistem Kapitalisme. Di mana utang merupakan alat yang diluncurkan untuk mengikat agar kebijakan Dalam dan Luar Negeri negara berkembang, khususnya negeri-negeri Islam sesuai dengan keinginkan Barat.
Utang Luar Negeri Mengandung Riba
Sedikit mengutip akan definisi riba menurut Wikipedia. Dimana dijelaskan bahwa, “Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, tetapi secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam”.
Melihat akan fakta terkait utang Indonesia, sungguh sangat miris. Bagaimana bisa negara dengan Sumber Daya Alam yang berlimpah, namun harus terlilit utang beserta bunga yang sedemikian besar? Padahal yang harus dipahami bersama, bahwa skema utang yang ditawarkan oleh para kapitalis baik asing maupun aseng dengan berlindung di balik “topeng” kerja sama ataupun investasi tersebut disertai bunga atau riba yang dalam pandangan Islam hukumnya haram. Dan ini akan mengundang murka dari Allah SWT, Sang Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta.
Inilah konsekuensi yang harus diterima oleh negeri-negeri Islam saat menerapkan sistem yang tidak bersumber dari Syariat-Nya. Bahkan para penguasa Muslim saat ini tidak mempunyai pemikiran produktif, sehingga tidak mempunyai alternatif pendapatan negara maupun pembayaran utang luar negeri, kecuali dengan mengemis dari Luar Negeri lagi.
Islam mengharamkan penguasaan kafir atas umat Islam
Sejatinya Islam telah memiliki sistem ekonomi yang unggul melalui sistem ekonomi Islam, yang menjadikan Syariat-Nya sebagai pedoman. Ditambah terdapat sebuah instrumen berupa Baitul Mal yang mengelola keuangan dengan tepat dan sesuai sasaran.
Ditambah, dalam Islam, utang akan menjadi alternatif terakhir, di saat kondisi daulah benar-benar dalam keadaan darurat.Dimana Baitul Mal dalam keadaan defisit atau kosong kasnya. Namun, itupun diprioritaskan berutang pada kaum muslim yang memiliki kelebihan harta. Bukan kepada kaum kafir, terlebih kaum kafir “Harbi Fi’lan” yang memusuhi dan memerangi Islam secara nyata.
Sehingga, sudah saatnya negeri-negeri Islam bersatu, berlepas dari sekat-sekat nasionalisme dan mengembalikan kemuliaan umat Islam dengan diterapkannya Syariah Islam. Sebab ketiadaan syariat-Nya telah menjadikan negeri-negeri Islam berada di jurang kehancuran yang sedemikian parah. Maka keberadaan Khilafah sebagai institusi yang menerapkan Syariat-Nya adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim.
Sejatinya, kaum kafir berkeinginan untuk menguasai negeri-negeri Islam, karena keserakahan, kebencian dan kesombongannya. Namun, Allah tidak akan memberikan barang secuil kekuasaan pun kepada kaum kafir atas kaum muslim.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi “teman kepercayaanmu” orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imran: 118)
“,,,dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai (memusnahkan) orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisaa: 141)
Wallahu’alam bish shawab.