Jangan Nodai Hari Santri!

Oleh : Irianti Aminatun, Dra. (Komunitas Penulis Bela islam)

Peringatan Hari Santri 22 Oktober 2018 menyisakan Ironi dan kepedihan. Bagaimana tidak Peringatan Hari Santri yang semestinya menjadi moment untuk mencetak generasi berkualitas, justru ternodai oleh ulah pemuda banser yang membakar bendera Tauhid. Bendera kemuliaan Islam.

Gagalnya Sistem Pendidikan Sekuler

Ulah tidak terpuji dari pemuda Banser yang membakar bendera Tauhid sesungguhnya hanyalah contoh  kecil dari buruknya pemahaman generasi muda  terhadap Islam. Tawuran pelajar, LGBT yang juga melanda anak-anak muda, pergaulan bebas, perzinahan, korupsi adalah peristiwa sehari-hari yang melingkupi generasi muda negeri ini. Ini adalah bukti bahwa sistem pendidikan sekuler telah gagal mencetak generasi berkualitas, berakhlak mulia, serta peduli terhadap umat.

Kegagalan ini tentu erat kaitannya dengan sistem demokrasi sekuler yang diadopsi di negeri ini. Jiwa dari demokrasi adalah kebebasan. Kebebasan berakidah, kebebasan berprilaku, kebebasan berpendapat dan kebebasan kepemilikan. Tujuan hidupnya adalah meraih sebesar-besar kenikmatan materi dan jasadi. Maka orientasi pendidikannyapun tak jauh dari sistem yang menaunginya.

 Yang perlu juga difahami, sistem pendidikan sekuler adalah alat bagi Barat untuk  memaksa kaum muslimin agar terus  mengadopsi panduan berfikir Barat. Tujuannya untuk melanggengkan penjajahannya di negeri-negeri islam. Ini sebagaimana dinyatakan oleh Misionaris Samuel Marinus Zwemer (1867-1952) mengatakan kepada teman-temannya dalam konferensi yang diselenggarakan di al-Quds Islamiyah “Wahai saudara-saudara sekalian sungguh dalam periode ini, yang dimulai dari sepertiga abad ke 19 sampai sekarang, kami telah menguasai program pendidikan di wilayah kekuasaan Islam...terima kasih kepada saudara-saudara sekalian, kalian telah menyiapkan generasi yang tidak lagi menyadari adanya hubungannya dengan Allah, tidak ingin mengetahuinya, serta mengeluarkan orang islam dari keislamannya”. Inilah yang dikehendaki Barat, generasi Muslim yang tidak mengenal Islam.

Dalam sistem demokrasi, Agama Islam dipelajari di sekolah-sekolah tak terkecuali di sekolah Islam, sebatas materi spiritual dan etika seperti Barat memahami agamanya. Islam hanya dipelajari satu aspek saja yaitu aspek spiritual, jauh dari kehidupan dan hakikat kehidupan. Ilmu-ilmu kehidupan dan nilai-nilai kehidupan yang diajarkan bersumber dari akal manusia. Nilai HAM, demokrasi, kebebasan inilah yang dijunjung tinggi.

Pendidikan sekuler juga memutus mata rantai kenabian dan risalahnya. Mempelajari Sirah Rasul tak ubahnya belajar sejarah, tidak berefek pada konstruksi kehidupan yang hendak dibangun sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah, baik di ranah individu, keluarga, masyarakat maupun negara.   Bahkan mempelajari Sirah Rasul/Nabi  hanya diposisikan seperti mempelajari sejarah kehidupan Napoleon atau Otto Van Bismark.  Sejarah Islam didistorsi, sejarah islam diajarkan hanya dengan menonjolkan sisi-sisi keburukannya yang sengaja direkayasa.

Dengan model pendidikan semacam ini wajar kalau generasi muslim tidak faham terhadap ajaran agamanya sendiri. Jadilah prilaku-prilaku hina, membakar bendera Tauhid, LGBT, tawuran, perzinahan, pergaulan bebas mereka lakukan tanpa merasa bersalah.

Kembali ke pangkuan Islam

 Berharap generasi Muslim menjadi generasi khoiru umah dalam sistem demokrasi akan sangat sulit terealisasi.

Generasi islam akan menemukan jati dirinya sebagai hamba Allah dan sebagai genera terbaik, hanya jika mereka mengambil kembali sistem Pendidikan islam. Sistem pendidikan islam disusun dari sekumpulan hukum-hukum Islam. Kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah islam. Mata pelajaran serta metodologi penyampaian pelajaran seluruhnya disusun tanpa adanya penyimpangan sedikitpun dalam pendidikan dengan azas akidah islam.

Strategi Pendidikan islam adalah membentuk pola pikir Islami dan jiwa Islami. Seluruh mata pelajaran yang akan diajarkan disusun atas dasar strategi tersebut. Sedangkan tujuan pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Islam (shakhsiyyah Islamiyah) dan membekalinya dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan membentuk kepribadian Islam  dilarang.

Dalam pandangan islam, pendidikan adalah kebutuhan asasi yang ketersediaannya menjadi tanggung jawab negara. Negara akan menyiapkan seluruh sarana dan prasarana pendidikan secara cuma-cuma agar seluruh warga negara mendapat pendidikan dan tujuan pendidikan bisa terealisasi. Tapi negara yang bisa merealisasikan konsep seperti itu hanyalah negara yang lahir dari konsep Islam yaitu negara khilafah.

Karenanya yang bisa kita lakukan saat ini dan di lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah menyiapkan dan mendidik generasi muda  dengan aqidah islam  dengan keyakinan yang kokoh. Kita memiliki  tanggungjawab untuk membentuk kemampuan anak anak kita dalam membuktikan kebenaran akidah islam dengan keyakinan mutlak, dengan memberi mereka bukti-bukti rasional konkrit yang menunjukkan seratus persen kepastian tentang keberadaan Allah SWT sebagai Pencipta dan bahwa Rasulullah adalah hamba yang diutus Allah membawa risalahNya untuk panduan hidup manusia. 

Kepastian dan keyakinan inilah yang akan membuat surga dan neraka menjadi realitas yang tetap dipelupuk mata generasi kita. Begitu pula pertanggungjawaban kepada Allah menjadi konsep yang kuat di dalam benak mereka, yang mengarahkan mereka untuk menjalani kehidupan sesuai dengan hukum-hukum Allah dan batas batasNya.

Penting bagi kita menciptakan kerinduan pada surga dalam diri mereka . Kerinduan ini yang akan mengangkat mereka di atas kesenangan dunia yang sementara dan memungkinkan mereka untuk menerima peraturan Islam diterapkan pada kehidupan mereka. Rasulullah SAW bersabda : “Demi Allah, tidaklah dunia itu dibandingkan akhirat kecuali seperti salah seorang dari kalian yang mencelupkan jarinya ini ke lautan. Perhatikan, jari tersebut kembali membawa apa?” (HR Muslim).

Pendidikan semacam ini , akan memberikan mereka sebuah tujuan mulia untuk diperjuangkan. Tujuan yang tidak akan pernah menyia-nyiakan energi mereka, yaitu membangun Dien Islam menjadi sebuah otoritas, mengikuti Sunnah Nabi SAW dengan memperjuangkan kembalinya negara Khilafah yang berdasarkan metode kenabian.

Khilafah  adalah kepemimpinan yang akan berfungsi sebagai penjaga sejati identitas anak-anak kita. Khilafah adalah sebuah negara yang akan membina mereka dalam nilai-nilai Islam yang mulia dan menghasilkan lingkungan yang akan terus mengingatkan mereka tentang pertanggungjawaban mereka kepada Allah SWT dan pentingnya berjuang untuk kehidupan akhirat.

Sebuah negara yang memiliki sistem media dan sistem pendidikan yang akan mempromosikan ide-ide dan tindakan yang benar, memelihara ketakwaan generasi muda dan kecintaan mereka terhadap Dien mereka. Negara ini akan menciptakan banyak sekali generasi muda berkepribadian Islam, yang menjadi contoh prilaku mulia dan merupakan hamba Allah yang setia.

Diantara contoh generasi berprilaku mulia itu adalah Mush’ab bin Umair. Dalam perang Uhud Mush’ab ditugasi oleh Rasulullah untuk membawa panji ar-Rayah (bendera Tauhid). Ibnu Qami’ah sang musuh islam menghunus pedang dan mengayunkan pedangnya menghantam tubuh Mush’ab. Hanya sekali tebasan, tangan kanan Mush’ab yang sedang memegang panji terlepas dari tubuhnya. Panji Tauhid ar Rayah hampir saja jatuh ke tanah. Dengan sigap Mush’ab menangkapnya sehingga panji Tauhid itu kembali berkibar dengan gagahnya di bawah langit Uhud.

 Mush’ab masih memberikan perlawanan meski dengan satu tangan yang tertinggal. Ia masih berdiri dengan tegak melawan musuh-musuh islam. Ibnu Qami’ah kembali maju dan mengayunkan pedangnya ke arah Mush’ab. Kali ini pedangnya menyasar tangan kiri Mush’ab. Dengan sekali tebasan tangan kiri Mush’ab yang memegang panji kembali lepas dari tubuhnya, hampir saja panji itu jatuh ke tanah. Namun Mush’ab tak ingin melihat nama Allah, Tuhan yang menciptakannya dan nama RasulNya yang mulia yang telah memberinya jalan cahaya islam itu jatuh ke tanah. Dengan segera Mush’ab melabuhkan badan dan merangkul tiang panji Tauhid dengan lengannya yang masih tersisa, ia lalu kembali menegakkan panji tersebut di tengah tengah pertempuran.

Mush’ab tak lagi memperhatikan apa yang menimpa dirinya. Saat itu yang ia lakukan adalah bagaimana agar panji Tauhid yang diamanahkan oleh Rasulullah SAW kepadanya tetap berkibar, meski ia harus kehilangan kedua tangannya bahkan nyawanya.

Bagi Mush’ab, amanah yang diberikan kepadanya untuk memegang panji Tauhid adalah kehormatan yang tak ternilai oleh apapun.

Melihat keteguhan Mush’ab, Ibnu Qami’ah sekali lagi kembali mengarahkan kudanya ke arah Mush’ab. Kali ini ia tidak lagi menggunakan pedangnya. Ia mengambil sebuah tombak dengan besi runcing yang mengkilap tajam diujungnya. Ibnu Qami’ah datang menusuk Mush’ab dari arah belakang. Darah segar mengalir deras dari tubuh Mushab, kemudian jatuh berkucuran membasahi pasir Uhud. Tubuh bangsawan berwajah tampan itu mulai melemah dirangkul ajal, matanya yang indah mulai meredup dan kini tertutup untuk selamanya.

Ali bin Abi Thalib yang melihat Mush’ab telah terbaring diatas tanah dan wafat sebagai syuhada Uhud, mengambil panji Tauhid tersebut kemudian mengibarkannya di tengah pertempuran.....

Itulah contoh generasi yang lahir dari pendidikan islam. Generasi yang faham bahwa hidup dan mati adalah ujian untuk menguji siapa diantara mereka yang paling baik amalnya. Dan generasi seperti ini akan hadir kembali ketika kita menghadirkan kembali sistem pendidikan warisan Rasulullah SAW yang mewujud dalam sistem Khilafah.

Wallahu a’lam bi showab



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak