Memang benar akhir-akhir ini ukhuwah Islamiah mulai merosot. Salah satu penyebabnya karena berbeda pilihan dalam ajang Pilpres 2019. Sebelumnya juga ada beberapa hal yang menyebabkan rennggangnya ukhuwah di antara kita. Di antaranya perbedaan penentuan awal akhir Ramadhan dan yang terbaru adalah pertikaian suporter tim sepak bola akibat ashabiyah/fanatisme. Sangat disayangkan yang terjadi kemudian adalah saling ejek, fitnah, bahkan adu fisik.
Sebenarnya renggangnya ukhuwah Islamiah ini sudah sejak lama terjadi. Perbedaan suku bangsa, ras, dan wilayah menjadi alasan untuk tidak peduli kepada sesama saudara muslim. Salah satu penyebabnya karena saat ini umat Islam terbagi-bagi menjadi puluhan negara dalam wilayah negara kesatuan (nation state). Akibatnya, Umat Islam hanya sibuk mengurusi wilayah dan kehidupannya sendiri. Ketika umat Islam di luar negaranya mengalami penderitaan, merasa itu bukan urusannya.
Selain itu, saat ini umat diikat oleh ikatan-ikatan yang tidak shahih. Ikatan tersebut membuat umat hanya mementingkan kepentingan dan urusannya sendiri. Di dalam Kitab Nidzhamul Islam Karya Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani, saat ini umat diikat oleh beberapa ikatan. Pertama, ikatan kebangsaan (nasionalisme). Ikatan ini muncul ketika ada ancaman dari pihak asing yang mengancam negerinya. Namun ketika ancaman tersebut hilang, maka hilang pula kekuatan ikatan ini. Kedua, ikatan kesukuan (sukuisme). Ikatan ini semacam ikatan kekeluargaan namun lebih luas. Ikatan ini membuat manusia ingin berkuasa dari mulai tingkat yang rendah sampai yang tinggi. Dan seringkali ikatan ini menimbulkan pertentangan dan perselisihan di antara mereka.
Ketiga, ikatan kemaslahatan. Orang-orang bersatu hanya karena memiliki kemaslahatan yang sama. Ketika ikatan sudah tercapai, maka orang-orang tersebut membubarkan diri. Adapun yang keempat adalah ikatan kerohanian. Aktivitasnya hanya terlihat dari kegiatan spiritual saja. Ikatannya bersifat parsial (terbatas pada aspek kerohanian semata), tidak nampak dalam kancah kehidupan.
Seluruh ikatan tersebut tak layak menjadi pengikat antar manusia. Terbukti dengan kondisi kaum Muslim yang terpuruk meskipun jumlahnya banyak. Lalu ikatan apa yang dapat mengikat manusia dan menyatukan mereka? Ikatan tersebut tak lain adalah ikatan mabda. Mabda adalah aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Peraturannya dapat mengatur seluruh aspek kehidupan. Namun, tak ada mabda yang shahih atau benar kecuali mabda Islam.
Adapun dari segi khilafiah, Islam tidak mempermasalahkan hal-hal yang bersifat furu’iyyah/cabang. Contoh masalah fiqih ibadah seperti shalat dan thaharah. Namun, untuk masalah ushul/pokok semestinya tidak boleh berbeda. Contoh masalah sistem kepemimpinan dan pemerintahan dalam Islam. Penerapan aturan Islam dalam cakupan negara harus dipahami sebagai sebuah kewajiban. Kewajibannya tidak diragukan lagi. Begitu pun dengan ide-ide dan syariah Islam yang mulia. Semua sudah jelas dalil kewajibannya.
Untuk itu, umat harus memahami maana yang boleh berbeda dan yang tidak boleh berbeda. Khilafiyah yang diperbolehkan jangan sampai merenggangkan ukhuwah. Diharapkan kedepannya ukhuwah Islamiyah ini akan senantiasa terjaga. Ukhuwah menjadi sebuah keharusan untuk dapat mempersatukan umat. Begitu pun dengan para Ulama. Memang sudah seharusnya berperan dalam memperkuat ukhuwah Islamiyah dan mempersatukan umat. Dengan persatuan umat, insya Allah kebangkitan Islam dapat terwujud. Wallahu a’lam bish-shawab. [Ni]
Nina (Kalam : Komunitas Pena Islam)
Ibu Rumah Tangga, Cipacing-Jatinangor
*foto : diambil dari english.khamenei.ir