Oleh: Arin RM, S.Si
(Member TSC)
Hari Santri Nasional 2018 kembali diperingati. Penetapannya di tanggal 22 dilatarbelakangi oleh landasan filosofis ketidakrelaan KH Hasyim Asy'ari atas penjajahan yang dialami negeri ini sehingga mengumandangkan seruan jihad dalam rangka memuliakan negeri dan mengusir pendzaliman penjajahan. Tentu kedamaian bagi negeri dan masyarakat lah yang hendak dicapai dengan pengusiran para penjajah itu. Maka sangat baik jika semangat ulama kenamaan tersebut diselipkan dalam tema peringatan hari santri tahun ini.
Namun, egeri ini justru terasa panas ketika hari santri tiba. Penyebabnya adalah perihal video yang menayangkan aksi Pembakaran kalimat tauhid. Suasana panas ini terbaca oleh MUI dan juga media, hingga laman cnnindonesia.com (23/10/2018) menuliskan headline terkait dengan redaksi "Aksi Bakar Bendera Banser, Semua Pihak Diminta Menahan Diri". Sungguh apa yang dilakukan oknum itu di hari santri ini adalah insiden yang mementahkan tema "Bersama Santri Damailah Negeri".
Sangat di sayangkan. Ulah sebagian oknum itu jelas mengkhianati ketinggian tsaqafah yang dimiliki santri. Padahal jika mereka lurus, mereka akan membenarkan apa yang pernah dimuat di website nu.or.id pada 26 Desember 2017. Dengan judul "Warna dan Bentuk Bendera Nabi Muhammad", web tersebut menjelaskan dalil gamblang bahwa ar Royah dan al Liwa adalah bendera Rasulullah. Artinya bendera tauhid itu adalah bendera umat Muhammad, bukan bendera golongan tertentu sebagaimana fitnah oknum selama ini. Bahkan MUI pun menjelaskan bahwa bendera itu adalah bendera umat Islam
Pun jika mereka konsisten terhadap landasan filosofis yang mengilhami lahirnya hari santri, maka justru semangat jihad lah yang lahir. Jihad memerangi kekufuran beserta antek-anteknya yang melanggengkan penjajahan gaya baru. Penjajahan berbalut liberalisme sekular yang memberangus kekokohan iman secara perlahan. Penjajahan yang menjadikan arahan Barat lebih ditaati ketimbang seruan iman yang mengajak pada diterapkannya konsekuensi tauhid. Penjajahan yang melahirkan sosok berbaju santri tapi pola pikir dan pola sikapnya alergi dengan syariat Islam. Yang berhasil melahirkan sosok keras terhadap sesama muslim tapi justru lembut kepada kafir. Hingga ada yang berbelok arah menjadi hobi dangdutan dan suka membubarkan pengajian.
Dan indikator berhasilnya penjajahan ini jelas nampak pada lancangnya oknum tertentu membakar Panji Nabi Muhammad tepat di hari santri. Padahal Panji Nabi yang mereka bakar itu adalah kemuliaan bagi Islam. Dahulu panji itu penyemangat iman di medan jihad. Panji itu pula yang menjadikan musuh bergetar ketakutan. Dan Panji Rasulullah itu pula yang dijaga dengan sepenuh jiwa raga oleh Mushab bin Umair, Zaid bin Haritsah, Ja'far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah.
Tentu di antara sekian banyak umat Islam Indonesia, masih ada yang memuliakan Panji tersebut sebagaimana generasi sahabat terdahulu. Umat Islam ini tidak akan rela jika kemuliaannya dihina. Terlebih Ibnu Rajab dalam Kalimatul Ikhlas mengatakan, ”Kalimat Tauhid (yaitu Laa Ilaha Illallah, pen) memiliki keutamaan yang sangat agung yang tidak mungkin bisa dihitung.” Lalu beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keutamaan kalimat yang mulia ini. Di antara yang beliau sebutkan kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ merupakan harga surga.
”Barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621). Di riwayat lain disebutkan bahwa kaiimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah kebaikan yang paling utama. Abu Dzar berkata: ”Katakanlah padaku wahai Rasulullah, ajarilah aku amalan yang dapat mendekatkanku pada surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”Apabila engkau melakukan kejelekan (dosa), maka lakukanlah kebaikan karena dengan melakukan kebaikan itu engkau akan mendapatkan sepuluh yang semisal.” Lalu Abu Dzar berkata lagi,”Wahai Rasulullah, apakah ’laa ilaha illallah’ merupakan kebaikan?” Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”Kalimat itu (laa ilaha illallah, pen) merupakan kebaikan yang paling utama. Kalimat itu dapat menghapuskan berbagai dosa dan kesalahan.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq beliau terhadap Kalimatul Ikhlas, 55)
Maka menjadi sebuah keniscayaan jika pada akhirnya gelora jihad kembali membahana di seantero dunia sebagai reaksi atas dibakarnya kalimat mulia ini. Darah iman yang mendidih mengkulminasi dalam beragam aksi masa menuntut penyelesaian kasus ini dengan adil. Namun semuanya dilakukan dengan damai, sebab sebagaimana ruh jihad sesungguhnya, bahwa pengerahan pasukan adalah opsi terakhir ketika sasaran memilih beriman atau patuh terlebih dahulu. Terlebih sasaran kali ini adalah saudara muslim yang perlu dirangkul dan diluruskan, maka kekerasan tidaklah dimainkan. Dan mereka yang melek dalil tentu lebih siap menggemakan jihad tersebab kalimat pembeda iman mereka diusik. Bahkan khusus di Indonesia, Aksi bela tauhid mewarnai seluruh pelosok tanah air. Kibaran ar Royah dan Al Liwa mengangkasa. Seolah menegaskan: satu kau bakar, sejuta kami kibarkan.
Kaum muslimin memang sekarang diibaratkan sebagai raksasa yang tertidur. Maka tak perlu mengusik berlebihan. Sebab ketika dia bangun, tentu akan segera memperbaiki kerusakan yang ada di sekitarnya. Akan segera melumat habis pembuat kerusakan hingga ke akar-akarnya. Namun, sekiranya telah tiba masanya raksasa itu akan bangun dan tersadar secara total. Rangkain peristiwa beberapa tahun terakhir semoga menjadi indikator nya. Ketika penzaliman terhadap ulama meningkat, persekusi bertebaran, ajaran Islam dikriminalisasikan, disitulah umat mulai disatukan. 2016-2017 Aksi Bela Islam berulangkali. 2018 ini Aksi Bela Tauhid di berbagai penjuru negeri. Maka tidak menutup peluang jika tahun-tahun berikutnya adalah aksi tuntutan penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Dan pada saat itulah mujahid baru bertaburan, memekikkan gelora jihad untuk meluaskan jangkauan Islam. Menyingkirkan penghalang fisik bagi penyebaran sinar Islam. Semoga segera. [Arin RM].