Oleh : Ooy Sumini
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan impor beras yang diperintahkan oleh pemerintah tak sebanding dengan jumlah gudang penyimpanan Bulog. "Kalau saya penuhi ya perintah kemarin dari Menko dan Mendag bahwa impor satu juta, mau ditaro dimana beras itu? Kecuali Mendag menyediakan gudang atau kantor Beliau mau dijadikan gudang beras", ujarnya. Menurut Budi, pemerintah tak usah memaksakan jika impor memang belum dibutuhkan. Beliau menjelaskan bahwa produksi beras yang dihasilkan saat ini sangat besar dan hingga akhir tahun diperkirakan belum membutuhkan impor beras. Menanggapi hal itu Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan urusan sewa menyewa gudang bukanlah urusannya (Tempo.co 18/09/18).
Polemik impor pangan tidak akan terjadi jika Kementerian Perdagangan mau mendengarkan masukan dari Perum Bulog dan Kementerian Pertanian sebelum mengeluarkan kebijakan impor. Begitu menurut Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bidang ekonomi Umar Syah sebagaimana keterangan tertulis yang diterima redaksi (RMOL.CO 23/09/18). Yang terpenting adalah menurunkan ego sektoral, terutama Kementerian Perdagangan yang kerap merasa menjadi leader untuk masalah impor ekspor dan mengabaikan Kementerian teknis yang membidangi masalah itu," tuturnya.
Kebijakan impor beras yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan juga pernah diprotes oleh Menteri Pertanian. Menteri Pertanian Amran menyatakan bahwa stok beras di pasar maupun Bulog masih di atas proyeksi kebutuhan.
Kisruh impor pangan bukan sekedar soal ego sektoral, tapi karena penerapan sistem kapitalis memang manjadi alat para penguasa yang berkolaborasi dengan pengusaha untuk mencari keuntungan secara legal. Menurut ekonom Rizal Ramli, "kebijakan impor muncul di saat musim panen, ini sistem yang kejam sekali. Para kartel menguasai seluruh komoditas terkait kebijakan impor yang muncul ini". Ujar Rizal dalam diakusi bertajuk "Polemik Impor Beras" bersama anggota komisi VI DPR Ramdhani dari fraksi Nasdem, Kamis 20 September 2018.
Bahkan mantan Menko Perekonomian itu menyebutkan praktek yang dilakukan para kartel itu seharusnya tergolong subversif. Meski tidak menyebutkan berapa nilai rente yang diraup para pelaku kartel itu, mantan kepala Bulog tersebut mengatakan nilainya sangat luar biasa. Bahkan bisa membeli sejumlah stasiun televisi nasional. Rizal Ramli mengusulkan agar pemerintah menghapus siatem kuota impor yang selama ini menyuburkan praktik kartel. Menurutnya, sudah saatnya pemerintah memberlakukan sistem tarif dalam impor bahan pangan agar tidak membuat negara merugi.
Dalam pidato kampanye Jokowi berjanji akan menghapus kartel mafia. Tapi ketika Jokowi berkuasa orang-orangnya menempel di pemerintahan. Akibatnya presiden Jokowi pun tudak berkutik menghadapi tekanan impor.
Maraknya pemburu rente dalam bisnis pengadaan pangan adalah akibat penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Sesuai dengan doktrin kapitalisme, negara berwenang membuat aturan dalam mengatur semua urusan rakyat. Wewenang dilegalkan melalui pembuatan aturan dan undang-undang. Hal itu sangat dimungkinkan karena penerapan sistem demokrasi kapitalis memberikan wewenang membuat hukum kepada manusia, yakni pemerintah dan wakil rakyat. Karena itu, jika terlanjur ada peraturan dan undang-undang yang menghambat (para pemilik modal), maka peraturan dan undang-undang itu tinggal diubah saja, itulah yang terjadi selama ini.
Hal itu tidak akan terjadi jika syariah Islam diterapkan secara secara total dan menyeluruh. Dalam sistem Islam, aturan atau hukum yang berlaku adalah aturan buatan Allah, dan itu untuk kebaikan rakyat atau seluruh manusia. Siapapun tidak bisa mengubah ketentuan hukum ini sebab dalam Islam kedaulatan ada di tangan syariah. Manusia sama sekali tidak punya wewenang untuk membuat hukum. Pemerintah justru berkewajiban menerapkan hukum syariah. Dengan penerapan syariah, janji seperti yang diucapkan Jokowi sebelum jadi presiden itu tidak akan terjadi.
Dengan ketentuan hukum seperti itu, maka para pemburu rente tidak akan berkeliaran. Penguasa, pejabat, dan politisi tidak bisa memperdagangkan kekuasaan dan pengaruhnya. Jika pun masih ada yang bisa menyalahgunakan kekuasaan dan pengaruh untuk memperkaya diri atau orang lain maka mekanisme syariah bisa membetantasnya. Diantaranya dengan mekanisme yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khathab, yaitu melalui pencatatan kekayaan para penguasa dan pejabat serta melakukan audit secara berkala. Jika didapati kekayaan yang tidak sewajarnya, pemiliknya harus membuktikan bahwa kekayaannya diperokeh secara sah. Jika tidak, maka kekayaan itu bisa disita dan dimasukkan ke kas negara.
Apakah semua kebobrokan di atas layak untuk dipertahankan dan dilanjutkan? Tentu tidak. Semua kebobrokan itu harus diakhiri dengan menyudahi penerapan sistem dan hukum jahiliyah itu, lalu diganti dengan penerapan sistem dan syariah Islam secara total serta menyeluruh.
"Hukum jahiliyahkah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah SWT bagi orang-orang yang yakin?" (TQS al-Maidah [5]:50)
Wallahu a'lam bi ash-Shawab