Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
DS laki-laki (34) warga jalan Sumba Kecamatan Sananwetan Kota Blitar, kembali ditangkap polisi saat hendak mengirim sabu-sabu. (Mayangkaranews,04/10/2018).
DS ditangkap saat akan mengirimkan pesanan sabu-sabu di wilayah Kanigoro Kabupaten Blitar. Polisi yang sudah membuntuti pelaku sejak dari rumahnya, langsung menyergap saat DS berhenti di pinggir jalan di wilayah Kanigoro. Saat digeledah, polisi menemukan barang bukti sabu-sabu dari pelaku. Polisi kemudian menggeledah rumah pelaku dan menemukan sejumlah barang bukti diantaranya sabu-sabu seberat 0,79 gram, ganja seberat 57,19 gram dan pil psikotropika sebanyak 39 butir. Sementara itu, DS mengaku mendapatkan barang haram ini dari seorang bandar yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Madiun. DS berkomunikasi dengan bandar melalui ponsel, kemudian barang dikirim dengan sistem ranjau. Barang ini kemudian diletakkan di suatu tempat dan diambil DS. DS juga mengaku kecanduan dengan barang-barang terlarang ini.
Akibat perbuatannya ini, DS dikenakan pasal berlapis diantaranya pasal 111, 112 dan 114 Undang-Undang RI No 35 tahun 2009 tentang narkotika dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
Syariat Islam memerangi dan mengharamkan segala hal yang memabukkan dan segala bentuk narkoba dengan berbagai macam dan jenisnya yang beragam. Karena barang-barang itu mengandung bahaya yang nyata bagi manusia, kesehatan, akal, kehormatan, reputasi, prestos, dan nama baiknya.
Hukum narkoba dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang adalah haram selain untuk tujuan medis dalam kondisi terpaksa atau kebutuhan. Keharaman narkoba dan penyalahguanaan obat-obatan terlarang sama seperti keharaman minuman keras yang diharamkan berdasarkan nash-nash al-quran dan hadist yang bersifat pasti.
Fuqaha sepakat bahwa pengonsumsi narkoba tanpa udzur dan alasan yang dibenarkan seperti kepentingan medis, maka ia dikenai sangsi hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir tersebut bisa dengan kecaman, dipukul, dipenjara, dipublikasikan, dikenai sangsi denda berupa harta, dan bentuk-bentuk hukuman ta’zir lainnya sesuai dengan kebijakan hakim yang menurutnya bisa memberi efek jera baik bagi pelaku dan orang yang lain.
Fuqaha hanafiyah dan malikiyah memperbolehkan hukuman ta’zir itu sampai berupa hukuman bunuh. Mereka menyebutnya dengan istilah hukuman bunuh sebagai bentuk kebijakan yang pas dan tepat. Artinya, jika hakim melihat ada kemaslahatan sesuai dengan kondisi dan situasinya. (Tri S)